MENYIKAPI ANGKA KERAMAT 4,26

Usai sudah hajat nasional berlabel Ujian Nasional (UN) yang paling menyita perhatian publik pendidikan itu digelar. Hasilnya pun sudah sama-sama kita lihat. Baik, di tingkat SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA, terjadi kenaikan persentase kelulusan yang dianggap “luar biasa”. Sampai-sampai Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang untuk pertama kalinya menggelar UN merasa bangga dan bertepuk dada atas keberhasilan itu. Persentase kelulusan sebesar 90% lebih dinilai sebagai awal meningkatnya mutu pendidikan nasional.

MENGEBIRI KARYA GURU

Dengan nada malu-malu, puluhan guru dari kelompok TK, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA “bersaing” untuk meraih predikat guru berprestasi. Dalam ajang Pemilihan Guru Berprestasi (PGB) yang digelar di aula Dinas P dan K Kabupaten Kendal, 2 Juni yang lalu itu, akan dipilih satu orang guru dari tiap-tiap kelompok untuk unjuk prestasi ke jenjang yang lebih bergengsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah.

MENGGUGAT UJIAN NASIONAL YANG ANTIREALITAS

Negeri kita sudah kenyang pengalaman menyelenggarakan Ujian Nasional (UN). Bertubi-tubi pula masukan dan kritik dari banyak kalangan dilontarkan. Banyak kalangan menilai, UN selama ini hanya menjadi ritual tahunan yang menjenuhkan; boros beaya, bikin guru stres, kondisi kelas sarat ketegangan, murid-murid pun hanya menjadi penghafal kelas wahid yang “buta” terhadap persoalan sosial, kemanusiaan, dan kebangsaan yang mencuat di atas panggung realitas kehidupan.

UJIAN NASIONAL DAN KEKUASAAN HEGEMONI NEGARA

Pada awal masa baktinya, Mendiknas, Bambang Sudibyo, banyak menuai kritik. Kapasitasnya sebagai ekonom dinilai kurang tepat untuk mengurus masalah pendidikan yang demikian rumit dan kompleks. Untuk membuktikan kelayakannya sebagai orang nomor satu di jajaran Depdiknas, dia mencanangkan tekad untuk melahirkan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan menyeluruh, yakni cerdas secara rohaniah, intelektual, sosial, emosional, estetika, dan kinestetik melalui sistem pendidikan nasional.

PERUBAHAN KURIKULUM DAN MARTABAT BANGSA

Sebagai anak bangsa, kita merasa sedih ketika menyaksikan saudara-saudara kita yang mengadu nasib di negeri orang sebagai TKW harus menjadi korban kekerasan –baik fisik maupun nonfisik. Nasionalisme kita terusik. Sudah merdeka 61 tahun lamanya, tetapi bangsa ini belum juga mampu memberikan penghidupan yang layak bagi warganya. Yang lebih menyedihkan, bangsa kita telanjur mendapatkan stigma sebagai negeri “penjual” tenaga kerja murah di negeri seberang. Belum lagi terhitung jutaan lulusan sekolah yang hidup menganggur akibat minimnya keahlian dan menyempitnya lapangan kerja.

PERUBAHAN KURIKULUM DI TENGAH MITOS GLOBALISASI

Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sudah enam kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK. Namun, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?

Jika Cerpen Dicemari Limbah Politik

Suara Merdeka edisi Minggu (18/2/2001) memuat cerpen berjudul “Dialog Kambing di Pasar Hewan” (DKPH) karya T. Atmawidjaja. Cerpen itu betutur tentang sekelompok kambing dengan beragam karakter di sebuah pasar hewan yang riuh. Dalam bahasa kambing yang sulit dipahami manusia, mereka (baca: para kambing) berdialog tentang nasib teman mereka yang disembelih, dijadikan tumbal akibat kebiadaban massa di Kendal beberapa waktu lalu. Darahnya digunakan untuk menandatangani pernyataan sikap sekelompok orang yang akan dikirim ke Jakarta sebagai respons terhadap situasi politik yang berkembang saat itu.

Romantika, Logika, dan Religiusitas

Nurdien H Kistanto, Sajak-sajak Orang Desaku, IKIN dan Penerbit Undip, Semarang 1996, V+45 halaman.

PROF. A. Teeuw pernah mengatakan puisi tak akan pernah tercipta dalam suasana kosong. Artinya, puisi akan senantiasa diwarnai oleh visi, persepsi, dan obsesi penyairnya dalam memandang kehidupan. Penyair bebas memilih gaya pengucapan sesuai dengan kepekaan intuitifnya.

Jika Penyair Menjadi Seorang Narcisus

TAMPAKNYA, Nurdien H. Kistanto benar-benar “berang” atas serangan kritik yang ditujukan kepada kumpulan pusinya Sajak Orang-Orang Desaku (SOOD). “Keberangan” Nurdien bisa dimaklumi lantaran sebagai penyair, ia butuh legitimasi, butuh dipahami cara dia berkesnian. Bukan caci-maki, apalagi hujatan yang menafikan nilai-nilai keberadaan manusiawi dalam memahami proses kretivitasnya.