Sertifikasi Guru, Sebuah “Indonesia” yang Tertinggal

Ketika pemerintah meluncurkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), angin segar berhembus di ruang-ruang guru dan dosen. Pasalnya, mereka akan mendapatkan penghasilan yang “menggiurkan”. Pemerintah akan memberikan tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Namun, untuk mendapatkan tunjungan profesi, seorang guru harus memiliki sertifikat pendidik yang tentu saja tidak mudah untuk mendapatkannya lantaran memang dibikin “sulit” dan “rumit”. Walhasil, bisa dihitung dengan jari guru di Indonesia yang berjumlah sekitar 2.700.000 yang bisa menikmati tunjangan tersebut. Misalnya saja, untuk bisa mengikuti uji sertifikasi, seorang guru harus bisa mengumpulkan dokumen portofolio sekitar 850 poin. Wah, bisa bertumpuk-tumpuk dokumen yang mesti dikumpulkan oleh seorang guru. Dan sudah pasti, hanya guru yang memiliki “jam terbang” tinggi alias masa kerja yang cukup lama yang bisa menyodorkan bukti portofolio semacam itu. Itu pun kalau guru yang bersangkutan pandai-pandai mengarsipkan semua dokumen, seperti sertifikat, SK, ijazah, surat tugas, de-el-el. Kalau tidak, ya, mohon maaf, terpaksa harus lebih banyak berlatih menahan kesabaran.

Stop Pengadaan Seragam Sekolah!

Mohon maaf kalau dalam beberapa hari ini blog “Jalur Lurus” tanpa postingan terbaru. Bukan apa-apa. Hanya kebetulan saja selama sepekan ini (25 s.d. 31 Juli 2007) saya “ketiban sampur” mengikuti Workshop ToT Bintek KTSP SMP di Hotel Mars, Jalan Raya Puncak Cipayung Bogor. Sebenarnya dari rumah saya sudah menyiapkan HP CDMA agar bisa saya gunakan secara online. Sayangnya kabel data lupa dimasukkan ke dalam tas oleh istri saya. Ya sudah, akhirnya dengan seribu maaf, saya tak bisa posting selama sepekan. Meskipun demikian, saya sempatkan menuliskan beberapa tulisan selama di Bogor. Bukan hal-hal yang berkaitan dengan masalah workshop, melainkan persoalan pendidikan yang masih sering menjadi hambatan bagi “wong cilik” dalam mendapatkan akses dan layanan pendidikan yang memadai dalam dunia persekolahan kita, terutama yang berkaitan dengan masalah seragam sekolah bagi anak-anak mereka.

Jika Cerpen Dicemari Limbah Politik

Suara Merdeka edisi Minggu (18/2/2001) memuat cerpen berjudul “Dialog Kambing di Pasar Hewan” (DKPH) karya T. Atmawidjaja. Cerpen itu betutur tentang sekelompok kambing dengan beragam karakter di sebuah pasar hewan…

Jika Penyair Menjadi Seorang Narcisus

TAMPAKNYA, Nurdien H. Kistanto benar-benar "berang" atas serangan kritik yang ditujukan kepada kumpulan pusinya Sajak Orang-Orang Desaku (SOOD). "Keberangan" Nurdien bisa dimaklumi lantaran sebagai penyair, ia butuh legitimasi, butuh dipahami…

Menguak Absurditas Cerpen Danarto

Berdasarkan pengakuannya sebagai sastrawan, Danarto tergolong lamban dan sangat tidak produktif. Dalam kurun waktu 12 tahun (1975-1987) hanya muncul tiga buku kumpulan cerpen, yaitu Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), dan…

Antologi Sastra

Paling tidak dalam paro dekade terakhir muncul fenomena baru dalam jagat kesastraan Indonesia mutakhir. Yakni, memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya lahir sebuah…