Membangun Tradisi Demokrasi Lewat Pendidikan

MASA-MASA yang sarat keterpasungan akibat gaya kekuasaan rezim Orde Baru yang represif dan otoriter telah lewat. 20 Mei 1998 telah dicatat oleh sejarah negeri ini sebagai momentum “mahapenting” di mana seluruh kekuatan reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa berhasil mendobrak sebuah kekuatan tirani yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Era reformasi pun menggelinding ke permukaan. Harapan akan lahirnya sebuah iklim demokrasi yang sehat dan dinamis membayang di setiap kepala. Kran demokrasi dibuka lebar-lebar.

Kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat mendapatkan ruang dan waklu yang leluasa untuk berekspresi. Demonstrasi dan unjuk rasa menjadi pemandangan rutin sehari-hari di seluruh penjuru tanah air tanpa rasa takut untuk digebug dan dijebloskan ke penjara. Puluhan partai politik bermunculan. Sebanyak 48 partai politik bertafung di tengah-tengah kancah Pemilu 1999 yang dinilai banyak pengamat merupakan Pemilu paling demokratis setelah Pemilu 1955. Para cendekiawan yang selama ini berada di puncak menara gading akademis pun turun gunung, ikut-ikutan meramaikan panasnya pertarungan di atas panggung politik.

Bejibun jumlah elite politik kita yang memiliki kualifikasi pendidikan S1, S2, dan S 3, bahkan tidak sedikit yang bergelar profesor. Dengan banyaknya cendekiawan dan orang-orang berpendidikan yang menggeluti dunia politik diharapkan mampu menciptakan iklim yang segar dan kondusif bagi pertumbuhan demokrasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan kehadiran mereka dinilai hanya sebatas “penggembira”, gagal memainkan peran yang optimal dalam melahirwujudkan sebuah tatanan demokrasi yang elegan, matang, dan dewasa. Teori-teori polilik yang gencar mereka gembar-gemborkan di atas mimbar akademik, tak lebih hanya sebuah retorika dan slogan belaka. Sangat beralasan jika muncul sebuah opini bahwa tinggi rendahnya kualifikasi pendidikan seseorang belum tentu menjadi jaminan untuk menjadi seorang kampiun demokrasi yang sanggup bermain politik secara jujur, ksatria, arif, dan elegan.

Persoalannya sekarang, kenapa mereka yang sudah dah demikian kenyang menimba ilmu lewat bangku pendidikan gagal menciptakan atmosfir demokrasi yang sehat dan dinamis? Ada apa dengan dunia pendidikan kita sehingga menjadi loyo dan tak berdaya dalam menghasilkan demokrat-demokrat sejati? Upaya apakah yang mesti dilakukan agar dunia pendidikan kita mampu melahirkan demkorat-demokrat sejati sehingga kelak mereka mampu tampil sebagai demokrat terhormat dan disegani?

Pembusukan Nilai Demokrasi
Secara jujur harus diakui, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terjebak dalam suasana “fasis”, terpasung dalam cengkeraman rezim penguasa yang otoriter, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi serta daya saing bangsa. Pendidikan tidak diaraahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh, lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, religi, dan budi pekerti.

Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, emosi dan spintual. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi dan nurani menjadi nihil. Mereka menjadi “robot-robot” zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri.

Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai pola indoktrinasi, komando, dan penyeragaman yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich. Dalam konleks demikian, tidak berlebihan jika dunia pendidikan kita dinilai telah memiliki andil yang cukup besar dalam melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, penjilat, hedonis, besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai.

Dunia persekolahan kita –kata YB Mangunwijaya dalam buku Pasca-Indonesia, Pasca Einstein (1999)– tidak mengajar anak didtk untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai, taat kepada komando. Sedangkan, bertanya –apalagi berpikir kritis-praktis–adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus. Jikalaupun ia diajari sesuatu, maka sesuatu itu diajarkan tanpa disesuaikan dengan konteks sosial-budayanya.

Suasana pembelajaran yang “salah urus” semacam itu, tegas Rama Mangun, telah membikin cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah kepada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun/perompak/penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak dan bertopeng seolah-olah semakin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang.

Selain itu, proses pembelajaran yang berlangsung dalam dunia pendidikan (nyaris) tak pernah berupaya serius dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai demokrasi kepada para peserla didik. Bahkan, yang terjadi adalah sebuah proses pembusukan nilai-nilai demokrasi di mana para pelajar, mulai dari tingkat SD hingga SLTA, telah dibiasakan untuk menjadi “anak Mami” yang manis, manutan. dan ditabukan untuk berbeda pendapat. Ruang belajar telah berubah fungsi menjadi tembok pemasung yang membelenggu kebebasan berpikir, berkreasi, bernalar, berinisiatif, dan berimajinasi. Beratnya beban kurikulum yang harus dituntaskan telah membikin proses belajar mengajar jadi kehilangan ruang dan waktu untuk berdiskusi, berdialog, berdebat, dan bercurah pikir, guru menjadi satu-satunya sumber belajar.

Sementara itu, di tingkat perguruan tinggi, mahasiswa dibutakan dari persoalan-persoalan politik praktis, mesti berkutat memburu ilmu di puncak mimbar akademis, untuk kemudian dijadikan “robot” penguasa dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam kondisi demikian, mana mungkin keluaran pendidikan kita mampu menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang untuk bercurah pikir dan berdiskusi secara terbuka, menarik, dan menyenangkan?

Proses Pencerahan
Idealnya, pendidikan harus mampu memberikan proses pencerahan dan katharsis spiritual kepada peserta didik sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan yang berhasil ditimbanya, mereka diharapkan dapat menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, tole-ansi, dan kedamaian hidup.

Problem-problem eksistensi kita, menurut Anton Naben (2001), adalah krisis moral yang merambah hampir di semua lini kehidupan dengan segala dampaknya. Kita membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual dan apresiasi tinggi terhadap nilai-nilai demokrasi, yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan. Yang menabur benih kerukunan bila terjadi silang sengketa, yang memberikan kepastian bila terjadi kebimbangan. Yang menegakkan kebenaran jika terjadi beragam bentuk penyelewengan dan kesesatan. Yang menjadi pembawa terang di tengah kegelapan hidup.

Ke depan, dunia pendidikan kita harus bersikap antisipatif dengan memberikan sentuhan perhatian yang cukup berarti terhadap upaya pengakaran nilai-nilai demokrasi dan spiritual siswa. Yang tidak kalah penting, guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan hendaknya mampu menjadi figur keteladanan di hadapan peserta didik. Sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari senantiasa berbasiskan nilai demokrasi, religius, dan transendental. Sikap pendidik –meminjam istilah M. Nashir Ali (1979)– harus demokratis, lebih ‘concientious’, lebih mawas diri, merasakan betul hendaknya secara halus resonansi antara jiwa pendidik dan anak didik. Semangat pemurnian jiwa (mawas diri) dari pendidik, otomatis akan menular ke jiwa anak didik. Dengan kemauannya sendiri, ia akan mengikuti arahan sang guru, bukan ketakutan yang merangsang gerak jiwanya, melainkan rasa kasih, hormat, dan ikatan batin dengan pendidiknya.

“Historia magistra vitae”, sejarah adalah guru kehidupan. Belajar pada sejarah masa lalu di mana dunia pendidikan telah dijadikan alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dengan “membunuh” nilai-nilai demokrasi, kini sudah saatnya dunia pendidikan kita mulai membangun tradisi demokrasi dalam arti yang sesungguhnya, benar-benar menjadi “kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan paripurna, demokratis, memiliki tingkat kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial yang andal.

Jika hal ini bisa diwujudkan, bukan mustahil negeri ini kelak akan dihuni oleh demokrat-demokrat ulung yang mampu memainkan peran kehidupannya secara simpatik, jujur, amanah, dan rendah hati. Kalau toh harus terjun ke dunia politik, mereka mampu “bermanuver” secara cerdas, memiliki kepekaan terhadap kepentingan dan hati nurani rakyat, tidak tergoda untuk melakukan tindakan konyol yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara. ***

No Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *