Surat Buat Mak di Kampung

Mak, saya tahu kalau Mak nggak mungkin baca surat ini. Selain luput dari sentuhan bebas 3 buta (baca, tulis, dan hitung), di kampung nggak ada internet. Saya juga tahu kalau hari ini Mak sedang bercengkerama dengan alam desa yang masih ramah, belum tercemar limbah dan polusi pabrik. Saya juga tahu kalau Mak belakangan ini lebih banyak duduk di depan kotak ajaib. Menghabiskan siswa waktu di kala anak dan cucumu mengadu nasib di perantauan. Saya juga bisa memahami kalau Mak sedang kesepian. Ingin selalu bersama, hidup dalam satu atap bersama anak, menantu, dan cucu. Tapi apa boleh buat, Mak. Tuhan sudah memiliki skenario kehidupan bagi setiap hamba-Nya. Mohon maaf, Mak, kalau sudah hampir seperempat abad ini, aku tidak lagi bisa mendampingi dan menemani Mak. Tidak bisa seperti ketika Mak menyaksikan kenakalanku waktu SD dan SMP.

Mak, saya jadi ingat ketika Mak harus bersusah-payah mencari pinjaman hutang untuk biaya sekolahku waktu kuliah di sebuah institusi yang disebut-sebut sebagai lembaga pencetak calon guru. Waktu itu, keluarga kita benar-benar sedang hancur. Ayah sakit keras. Tak berdaya melawan virus kelumpuhan yang terus menggorogoti tubuhnya. Hingga sekarang, aku juga tidak tahu, virus apa yang bersarang di tubuhnya, hingga akhirnya Ayah tak kuasa melawannya. Ayah harus berpulang menghadap ke haribaan-Nya. (Semoga Ayah tenang di alam-Nya sana, diterima semua amal baiknya, dan diampuni segala dosanya.) Aku juga tahu kalau Mak saat itu sedang dalam keadaan bingung. Tapi, kalau harus berhenti kuliah, aku juga tidak sanggup melakukannya. Cita-cita untuk memenuhi dunia panggilan sebagai seorang guru sudah merajam darah dan jiwaku. Alhamdulillah, berkat jerih-payah Mak, akhirnya kuliahku selesai juga.

Mak, aku sudah sangat rindu untuk bertemu. Sekadar bisa mengambilkan segelas air putih, mencarikan handuk, atau mengganti channel TV yang Mak suka. Tapi, aku belum bisa melakukannya. Mohon maaf, kalau itu hanya bisa kulakukan setahun sekali ketika lebaran tiba.

Mak, aku pingin sedikit bercerita tentang peran dan fungsi keluarga pada zaman sekarang yang sering disebut-sebut orang dengan istilah globalisasi alias kesejagatan. Mak, agaknya sekarang ini sudah banyak keluarga yang mengalami pergeseran nilai dalam memaknai fungsi keluarga.

Yang pernah aku baca dari berbagai buku, sosok Ibu adalah orang yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan, pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak. Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban, ‘”pusat” pembentukan nilai, atau “‘pancer” penafsiran makna kehidupan, tak seorang pun menyangsikannya. Hanya Malin Kundang saja yang arogan dan menihilkan peran seorang ibu dalam membesarkan dan “memanusiakan” dirinya. Dan itu sudah Mak lakukan dengan sempurna.

Tapi Mak, seiring gerak roda peradaban, peran ibu sebagai pencerah peradaban semakin berat tantangannya. Setidaknya ada dua tantangan mendasar yang harus dihadapi oleh seorang ibu di tengah dinamika peradaban global. Pertama, tantangan dari dalam lingkungan keluarga yang harus tetap menjadi sosok feminin yang lembut, penuh perhatian dan kasih sayang, serta sarat sentuhan cinta yang tulus kepada suami dan anak-anak. Kedua, tantangan di luar “pagar” rumah tangga seiring tuntutan zaman yang semakin terbuka terhadap masuknya nilai-nilai mondial dan global yang menuntut dirinya untuk bersikap maskulin.

Nah, lho, Mak. Berat sekali tantangan Ibu-ibu pada zaman sekarang, kan? Mereka diharapkan dapat menyikapi dan menyiasati dua tantangan mendasar itu. Mereka jelas dituntut untuk semakin memaksimalkan perannya, memberdayakan potensi dirinya sehingga mampu tampil feminin dan maskulin sekaligus dalam menerjemahkan dan menginternalisasi selera zaman yang mustahil dihindarinya sebagai seorang ibu yang hidup pada era kesejagatan. Ini artinya, fitrah seorang ibu tidak hanya “dicairkan” dalam lingkup domestik, tetapi juga harus ditebarkan pada ranah publik, seiring dengan semakin kompleks dan rumitnya masalah-masalah yang harus diatasi.

Maaf, Mak. Istilah-istilah semacam itu mungkin banyak yang tidak Mak pahami. Tapi, itu perlu aku kemukakan agar juga bisa menjadi bahan renungan bagi Ibu-ibu yang lain. Yang masih aku ingat, seorang Ibu menjadi “ruh” keluarga yang akan menjadi penentu ”mati hidupnya” sebuah paguyuban batih (keluarga), menjadi “pelepas anak panah” keluarga sesuai sasaran bidik yang dituju. Paling tidak, seperti yang dikemukakan oleh Yaumil Agus Achir, ada delapan fungsi keluarga, yakni fungsi sosial budaya, cinta kasih, perlindungan/proteksi, reproduksi, sosialisasi, pendidikan, ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan. Meskipun tidak mutlak menjadi tanggung jawab ibu sepenuhnya, kedelapan fungsi keluarga tersebut akan terwujud dalam tataran praktik hidup apabila diimbangi dengan kesiapan, kemampuan, dan kesanggupan seorang ibu dalam menjalankan fitrahnya di lingkup domestik.

Tapi, Mak, arus modernisasi yang demikian gencar menawarkan pergeseran dan perubahan pranata-pranata hidup dan nilai-nilai luhur baku, agaknya memiliki imbas yang cukup kuat terhadap masyarakat dalam menginternalisasi dan mengapresiasi fungsi keluarga. Keagungan sebuah keluarga sebagai entitas sosial dalam menyosialisasikan nilai-nilai luhur kepada para anggotanya, dinilai mulai semakin luntur. Para anggota masyarakat dalam mengapresiasi fungsi keluarga mengalami pergeseran dan perubahan. Keluarga tidak lagi dipandang sebagai “institusi” dan yang menjadi satu-satunya wadah yang cukup akomodatif dan adaptif terhadap selera dan atmosfer zaman yang sulit diduga.

Kondisi tersebut, mungkin ya Mak, juga dipengaruhi oleh pergeseran peran orangtua, yang semula diyakini sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap upaya pewarisan nilai dan tradisi, kini telah tereduksi sebagai pihak yang secara biologis sekadar menghadirkan seorang anak ke muka bumi. Bahkan, dalam banyak hal, orangtua sekadar dipahami sebagai pihak yang hanya memiliki otoritas ekonomi dalam rentang waktu tertentu hingga anak dinilai dewasa.

Seiring dengan itu, Mak, pandangan anak terhadap orangtua pun tidak lagi “sakral” dengan bentuk penghormatan yang optimal dan proporsional. Hubungan anak dengan orangtua melulu sebagai hubungan darah “kekerabatan” yang kehilangan basis moral dan spiritualnya. Tidaklah mengherankan kalau generasi masa kini menjadi sulit menerima petuah dan nasihat luhur orangtua. Mereka telah memiliki “referensi” tersendiri yang cocok dengan gejolak naluri purbanya.

“Anak buah” teknologi yang begitu canggih mentransfer berbagai bentuk kemasan informasi dan hiburan, menyebabkan anak-anak menjadi rentan terhadap imaji kekerasan, kemanjaan, kemunafikan, dan hipokrit. Anak menjadi kehilangan kepekaan terhadap makna kearifan hidup. Sikap sabar, tawakal, tabah, telaten, dan tahan uji telah menjelma ke dalam sikap hidup instan, kehilangan naluri “proses” dalam mendapatkan sesuatu. Kota-kota besar yang sarat gebyar materi akhirnya menjadi “ladang” subur bagi tumbuhnya generasi-generasi zaman yang menanggalkan sikap responsifnya terhadap iklim spiritual. Terjadi proses dereliginasi (pendangkalan agama), pembonsaian nilai-nilai kemanusiaan, dan involusi budaya di kalangan generasi muda. Bukan hal yang mustahil kalau sudah tak terbilang lagi jumlah remaja kita yang terjebak ke dalam lembah seks bebas, pesta “pilsetan”, penyalahgunaan obat terlarang, tindak kekerasan, dan kriminal, atau ulah amoral lainnya.

Fenomena yang penuh pengingkaran terhadap ajaran agama dan moral tersebut jelas membutuhkan intensitas peran ibu sebagai pencerah peradaban dalam lingkup keluarga, yang pada gilirannya nanti akan benar-benar mampu melahirkan generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, maju, mandiri dan tahan uji, sehingga kelak sanggup menghadapi kerasnya tantangan peradaban di era global.

Mak, kadang-kadang aku juga cemas menyaksikan fenomena banyaknya kaum ibu yang berbondong-bondong meninggalkan rumah, menggeluti peran publiknya sebagai perempuan karier. Mampukah mereka memaksimalkan perannya di ranah domestik atau keluarga, ya, Mak? Sanggupkah sang ibu mengembalikan fungsi keluarga yang ideal di tengah kesibukannya menggeluti profesinya?

Mak, aku juga pernah dengar dari para pejuang feminisme, kalau kaum Ibu juga dituntut untuk memberdayakan potensi dirinya, mewujudkan kebutuhan akan prestasi, dan mengaktualisasikan motivasi intelektualnya.

Kalau menurut pendapat awamku, Mak, kaum ibu idealnya menjadi sosok androgini; bisa tampil maskulin di ranah publik dengan capaian prestasi yang seimbang dengan kaum pria, sekaligus tidak menanggalkan sifat femininnya di ranah domestik yang tetap menjaga kelembutan, sikap keibuan, dan ketulusan kasih sayang terhadap suami dan anak-anak. Dengan sosok androgini ini, kaum ibu tetap akan mampu memaksimalkan perannya sebagai pencerah peradaban; peran luhur dan mulia yang sudah teruji lewat sejarah peradaban yang panjang, walaupun sang ibu sibuk meniti karier di panggung publik. Hanya saja, kaum pria mestinya tidak bersikap “arogan”, mempersempit ruang gerak kaum ibu di sektor publik, serta mau memberikan legitimasi terhadap kemampuan dan “kekuatan” internal kaum ibu.

Mitos konco wingking yang memosisikan kaum perempuan (ibu) sebagai makhluk kelas dua harus dibebaskan. Perlu keberanian kaum pria untuk mengakui posisi dan martabat kaum perempuan sebagai mitra yang benar-benar sejajar dengan dirinya. Sudah bukan saatnya lagi pembagian peran semata-mata didasarkan pada bias gender dan jenis kelamin minded, melainkan pada tingkat kapabilitas dan kredibilitasnya dalam mengakses peran. Dan alhamdulillah, semua peran itu telah Mak lakukan dengan sempurna, meski Mak bisa dibilang tak paham apa itu sosok androgini.

Mohon maaf, Mak, kalau surat ini terlalu panjang. Hanya sebatas inilah yang bisa aku lakukan untuk mengenang jasa dan pengorbananmu yang tak mungkin bisa aku balas, bahkan dengan darah dan nyawaku sekalipun. Terima kasih, Mak, dan mohon Mak berkenan menerima sembah sujud dan sungkemku dari jauh. Dirgahayu Hari Ibu, Mak!

————————

Tulisan ini saya publikasikan dalam rangka memeringati Hari Ibu, 22 Desember 2007.

No Comments

  1. Emak, memang tiada duanya untuk urusan dengan makhluk, kita tak akan pernah memiliki kelapangan keluasan untuk membalas jasa emak pada kita..

    saya jadi terharu mengingat kebodohan dan ketololan atas apa yang menjadi kebekuan saya dalam berkomunikasi…

    terasa dosa sya sangat banyak pada emak saya..
    jadi terharu pak!

  2. Mudah2an saja saya tak menjadi laki2 yang menjadikan ibu dari anak saya hanya sekedar konco wingking, tapi lebih menjadikannya sebagai ibu yang patut dibanggakan oleh anak saya baik di rumah maupun di luar rumah..

    Terima kasih untuk semua perempuan di muka bumi yang menyandang pengorbanan dengan darah dan air matanya hanya untuk cinta dan kasihnya pada dunia..

  3. Hebat Pak Guru, kejujuran dari apa yang sedang ter-jadi saat ini. Banyak yang benar-benar me-nafi-kan ke-berada-an orang tua-nya sendiri, apalagi seorang Ibu.

    Hanya saja yang aku sering sesali, aku juga sering melihat banyak seorang Ibu, yang tidak menempat-kan diri-nya sebagai seorang Ibu, dan bukan-kah seorang Ibu tidak hanya terkoneksi secara biologis saja, tapi juga secara moral 🙄

    *jadi inget ama Mama* 😥

  4. Menyentuh sekali…
    Saya jadi ingin menanggis. Bila setiap anak bisa menulis surat yang sama seperti ini kepada Emak…
    Tak sanggup terusin komentarnya. kasih seroang Ibu benar-benar luarr biasa.

  5. @ gempur:
    Walah, Pak Gemur komen vertamax langsung hetrix, hehehehehe 😆 Sepakat banget, Pak. Tak seorang pun yang bisa mengingkari besanrya jasa dan pengorbanan seorng Ibu.

    @ caplang™:
    Walah, biasa2 saja kok Bung Caplang. Sayangnya juga Mak nggak bisa baca, yak!

    @ extremusmilitis:
    Itu juga kenyataan yang terjadi pada zaman sekarang, Bung Militis. Agaknya makin banyak juga Malin Kundang-Malin Kundag baru, yak!

    @ hanna:
    Walah, makasih Mbak Hanna, yak!

    @ tobadreams:
    Makasih juga Bung Huta, yak.

    @ Ersis WA:
    Makasih Pak Ersis. Kunjungan Bapak sudah merupakan kehormatan buat saya.

  6. Ass, wah tulisan menyambut hari ibu yah pak..jadi sedih nih ingat mama yang tlah tiada…hanya doa yang bisa Fira berikan mengenang mama yang tlah lama meninggalkanku sejak kecil.
    Wassalam…

  7. [?] Ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah: “wahai rasul, siapakah orang yang harus saya hormati di dunia?”
    [+] Rasulullah menjawab: “ibumu.”
    [?] “Setelah itu siapa lagi ya Rasul?”, tanya sahabat lagi
    [+] Rasulullah menjawab lagi: “ibumu. ”
    [?] Sahabat, “Setelah itu siapa?”
    [+] Rasul, ” ibumu.”
    [?] Sahabat, “Dan setelah itu siapa?”
    [+] Barulah Rasulullah menjawab: “bapakmu”

    Selamat hari Ibu …

  8. @ fira:
    Bener, Mbak. Oh, moga2 almarhumah bisa tenang di alamnya sana. Kita doakan bersama-sama.

    @ deKing yang biasa-biasa:
    Wah, bener sekali Pak deKing. Sabda Rasulullah perlu kita ingat terus dan kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

  9. huhuuh bener juga pak, seorang ibu sepertinya tidak memerlukan kata2 yang tertulis ataupun terucap dari seorang anak untuk tahu kalau anaknya menghormatinya karna seorang ibu tahu benar siapa anaknya.
    surat yang dibuat oleh sebagian besar blogger pada hari ibu ini sebenarnya untuk dia sendiri. mengingatkan dirinya untuk tetap berbakti kepada orang tuanya meski orang tuanya tak pernah memintanya untuk itu.

    hormat saya untuk anak yang berbakti seperti bapak.

  10. Saya juga ingin nulis surat kayak gini buat mama di kampung… 😥
    Kasihan mama…. hanya berdua dengan adik di rumah… ahhh… kapan aku bisa pulang…

    Selamat Hari Ibu. 🙂

  11. quote……Mak, kadang-kadang aku juga cemas menyaksikan fenomena banyaknya kaum ibu yang berbondong-bondong meninggalkan rumah, menggeluti peran publiknya sebagai perempuan karier. Mampukah mereka memaksimalkan perannya di ranah domestik atau keluarga, ya, Mak? Sanggupkah sang ibu mengembalikan fungsi keluarga yang ideal di tengah kesibukannya menggeluti profesinya?…..
    —————————————————————————

    Pak Sawali, seorang ibu memang menentukan kadar pendidikan anak-anaknya, kedamaian keluarga, serta ketenangan keluarganya. Ibu juga sebagai perekat anggota keluarga, menjembatani ayah dan anaknya jika terjadi perbedaan pendapat.

    Saya tak sependapat tulisan diatas (yang saya quote), karena saya dibesarkan oleh ayah ibu berkarir diluar rumah (ayah ibu guru), bude dan bulik saya semuanya pekerja. Kalaupun tak bekerja formal, mereka membantu bertani diladang, yang juga waktunya disisihkan untuk mencari sesuap nasi dan mendidik keluarganya.

    Dilingkungan saya, justru yang kedua ortunya bekerja, anak-anaknya mengenyam pendidikan yang baik, bahkan di kompleks tempat tinggal saya, kebanggaan keluarga adalah bukan karena rumah dan mobilnya banyak, tetapi anaknya diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan mendapat pekerjaan atau berwirausaha yang berhasil. Ibu tetap harus mendidik anak-anaknya, bahkan jika ibu itu harus berkarir di luar rumah. Seorang ibu harus menunjukkan kinerja double, bahkan triple jika ingin menduduki posisi jabatan yang sama, karena jika hanya sama, akan diutamakan untuk laki-laki.

  12. Ibu saya. alhamdulillah kini masih sehat walafiat dahulu pernah berkata kepada saya, bahwasannya orangtua khususnya seorang ibu seyogianya tidak usah meminta balasan kasih dari anaknya karena memang kasih orang tua sepanjang jalan sedangkan kasih anak sepanjang galah, itu memang sudah alamiah, namun jikalau kamu ingin membalas cinta ibumu maka cintailah anak2mu kelak sebesar ibumu mencintaimu saat ini.
    Seorang anak tidak pernah berhutang apapun kepada kedua orang tuanya, justru kedua orangtuanyalah yang berhutang kepada anaknya sejak si anak lahir hingga menjadi orang yang mandiri karena si anak memang tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Ibu yang baik adalah ibu yang pandai memberi kepada anak2nya bukanlah ibu yang pandai meminta kepada anak2nya. Begitu kata ibuku waktu itu.
    Kini setelah aku jadi orang tua aku sadar, aku harus siap jikalau anak2ku tidak mencintaiku sebesar aku mencintai anak2ku.

    Happy Mothers Day for all the great mothers nationwide! 🙂

  13. @ bedh:
    OK, makasih Mas Bedh, yak!

    @ rozenesia:
    Tulis aja Mas Gun sebagai bentuk penghormatan kita di hari Ibu.

    @ edratna:
    Makasih, Bu, masukannya. Jawaban saya juga ada tuh, Bu, di postingan.

    Kalau menurut pendapat awamku, Mak, kaum ibu idealnya menjadi sosok androgini; bisa tampil maskulin di ranah publik dengan capaian prestasi yang seimbang dengan kaum pria, sekaligus tidak menanggalkan sifat femininnya di ranah domestik yang tetap menjaga kelembutan, sikap keibuan, dan ketulusan kasih sayang terhadap suami dan anak-anak. Dengan sosok androgini ini, kaum ibu tetap akan mampu memaksimalkan perannya sebagai pencerah peradaban; peran luhur dan mulia yang sudah teruji lewat sejarah peradaban yang panjang, walaupun sang ibu sibuk meniti karier di panggung publik. Hanya saja, kaum pria mestinya tidak bersikap “arogan”, mempersempit ruang gerak kaum ibu di sektor publik, serta mau memberikan legitimasi terhadap kemampuan dan “kekuatan” internal kaum ibu.

    @ tiaracell:
    Walah, hanya blog begini doang. OK, makasih kunjungannya, yak!

    @ Yari NK:
    Makasih Bung Yari info tambahannya. Emang bener, Bung, tak seorang ibu pun yang mengharapkan balas jasa dari anak2nya.
    OK, selamat hari ibu juga.

  14. Pantesan hari bapak tidak ada yaa karena memang di Qur’an juga tidak ada surat Ar Rijal (lelaki) yang ada An Nisa (wanita)…

    ——————
    salut pak Sawali, seorang guru memang bagus sekali memiliki sensivitas yang tinggi. Dari kata-kata kejujuran ini bisa ditebak *halah* pak guru kita adalah juga produk dari seorang ibu yang cinta akan kedamaian… 🙂

    Sambil melirik @deKing ku cupakan:

    selamat hari ibu, damailah dunia damailah Indonesia… !

  15. Kasih IBU kepada beta
    tak terhingga sepanjang masa
    hanya memberi tak harap kembali
    bagai sang surya menyinari dunia

    begitu banyak kata-kata yang mengagumi sosok Ibu,
    Ibu tak pernah angkuh karena itu semua.
    salam kenal. saya link blognya, thanks

  16. @ sungai:
    OK, makasih Bung Pandapotan.

    @ kurtubi:
    Emang nggak ada Hari Bapak yak Mas Kurt, hehehehehe 😆 Aduh, emang bener, mas, saya terlahir dari rahim seorang Makku tercinta yang cinta kedamaian.

    @ hadi arr:
    Sepakat banget, salam kenal juga, Bung.
    OK, silakan, kita malah bisa tukar link, biar makin banyak teman.

    @ Moerz:
    Harus Mas Moerz, jangan seperti *halah* Malin Kundang, yak!

  17. Pada suatu ketika saat saya masih di bangku Sekolah Calon Guru Almarhum ayah sakit (stroke),Uang kuliah harus di bayar Kakak kakak masih belum mapan pekerjaannya.
    Ibu bilang pada saya agar menjual dinding papan rumah untuk membayar uang kuliah.
    Duh betapa nelangsanya saat itu…dengan penuh pengorbanan Ibu merelakan apa yang punya walau seadanya agar Sekolah saya jalan terus.
    Selamat Hari Ibu….Sungkem padamu Ibu…Semoga Ibu selalu diberi kesehatan ….dari putramu yang lagi merantau.

    Terimakasih Mas Sawali telah mengingatkan saya untuk selalu berdarma bakti pada Ibu.

    ——————–
    Sama2, mas, agaknya kita senasib, yak, hehehehehe 😆 Betapapun juga Ibulah yang telah menghidupi dan membesarkan kita. Sembah sujud dan sungkem sangat layak, bahkan harus, kita lakukan kepada ibu kita.

  18. Walaupun “berkedok” surat kepada Mak, namun sasaran tembaknya sangat luas…
    Mulai dari Ibu itu sendiri, anak, kaum wanita juga pria-nya sekaligus :mrgreen:
    Bukan main paman Sawal
    haibat….
    _____________________________________
    Ah ya, meski telat…
    “selamat hari ibu”

  19. @ zulfaisalputera:
    walah, hanya curhat doang pak zul, makasih, yak!

    @ abee:
    Oh, bisa melepas rindu, dong!
    *emang bener, nggak ada hari bapak, sih!*

    @ rezco:
    hahahahaha 😆
    *tersipu, merunduk*

    @ goop:
    walah, mas goop senangnya terlalu berlebihan, nih!
    OK, makasih yak Mas Goop!

  20. Wah saya jadi kangen bertemu Mak alias ibu saya… terharu…. sedih..

    Saya yakin Mak adalah orang yang paling tulus cintanya pada diri kita di dunia ini…

    Selamat hari Mak… 😀

  21. @ mathematicse:
    Oh, nggak usah sedih, Pak Jupri. Insyaallah nanti pasti bisa melepas rindu dg ibunda kalau sodah tiba saatnya, Pak. Bersabar dulu, yak.

    @ ndoro kakung:
    Wahm dapat kunjungan kehormatan dari ndoro kakung nih. Matur nuwun, ndoro kakung sampun kersa rawuh wonten gubug kula.
    Walah, agaknya ndoro kakung hobi ndengerin lagunya Iwan Fals, yam ndoro. Salut, deh!
    Matur nuwun ndoro kakung.

  22. Emak, emang nomer satu selalu, mmm… kedua deng setelah Allah SWT.

    Menyentuh sekali Pak. Walaupun emakku seorang wanita karir tapi tidak pernah sekalipun melalaikan kewajibannya kepada suami dan anaknya ini. Selalu sanggup menjadi penenang dan pendamai sejati di tengah keluarga.

  23. @ Ibu & Sebuah Pengakuan:
    Terima kasih Mas Peyek atas link baliknya, yak!

    @ Dhan:
    Bener banget Mas Dhan. Tak seorang pun yang bisa mengelak dan mengingkari makna pengorbanan seorang ibu. Kecuali Malin Kundang, hehehehe :mrgreen:

    cK:
    Makasih Mbak Chika. Bener banget, Mbak.

  24. baca cerpen si mas saya terharu dan tersentuh sebab posisi saya adalah sebagai anak dan sebagai mak apalagi saya istilah keren nya sih single parent bahasa kasar nya janda gitu hihihi . saya coba bercermin ke diri saya sendiri duluuuu masa masih muda ehmm rasanya saya dah tua hik hik saya memang marah sama ibu ( mak saya) saya menyalahkan mak mak saya.saya ada empat mak karena bapak saya ada 4 istri dan saya dari yang paling muda bapak sama ibu kandung saya cerai dari saya bayi lagi dan saya dibesarkan oleh ibu tiri saya yang mandul tapi sukses secara ekonomi walaupun beliau buta huruf. setelah tahun tahun berlalu dan saya makin dewasa dan akhir nya menjadi istri dan ibu dan menjadi single mom saya baru merasakan kayak apa sih berat nya jadi ibu . baru saya tahu dan saya nyesal banget dengan semua yang pernah saya lakukan terhadap ibu ibu saya. saya bangga ada banyak ibu termasuk saya bangga dengan ibu kandung saya walau saya terlahir dari luar pernikahan tapi saya tetap bangga pada ibu saya yang memilih di cemooh masyarakat dan memilih membiarkan saya menghirup udara dunia daripada aborsi
    memilih menanggung malu daripada berdosa sebab membunuh
    rasa sayang pada ibu ibu saya makin besar terutama pada ibu kandung saya
    dan sebagai seorang ibu rasanya walaupun anak anak saya masih kecil tapi mereka tahu betapa besar rasa sayang sama mereka saya selalu bilang sama mereka mommy mungkin bukan ibu yang terbaik tapi mommy coba jadi yang terbaik untuk kalian
    hidup diluar negeri kayak begini jauh dari saudara jauh dari ibu buat saya makin menghargai apa yang ada
    cuma anak anak saya yang ada untuk jadi obat waktu sedih dan down atau homesick
    dan doa ibu nun di tanah air
    dan harapan saya anak anak saya jadi anak anak yang soleh anak anak yang boleh berguna untuk sesama agama dan bangsa nya
    sebagai anak dan ibu i just want to said thanks for what u write that so lovely

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *