Sekolah Bukan Ajang Indoktrinasi

Seiring dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang terus bergerak menuju arus globalisasi, problem dan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia persekolahan kita makin rumit dan kompleks. Sekolah tidak hanya dituntut untuk mampu melahirkan generasi-generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga diharapkan dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas secara emosional dan spiritual.

Dengan kata lain, sekolah dituntut untuk mampu melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna”. Namun, melahirkan generasi yang “utuh” dan “paripurna” semacam itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan “kemauan politik” para pengambil kebijakan untuk menjadikan dunia pendidikan sebagai “panglima” peradaban, sehingga negeri ini mampu menjadi bangsa yang terhormat dan bermartabat dalam percaturan dunia internasional pada era global. “Kemauan politik” tersebut harus diimbangi dengan semangat dan motivasi segenap komponen dan stakeholder pendidikan, sehingga tidak hanya sekadar menjadi slogan dan retorika belaka.

Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 diakui telah melahirkan kebebasan dan keterbukaan di segenap aspek dan ranah kehidupan. Urusan pendidikan yang semula berada dalam genggaman tangan pemerintah pusat, kini mulai dikonsentrasikan ke daerah-daerah melalui kebijakan otonomi daerah yang dianggap lebih aspiratif dan akomodatif terhadap keberagaman dan tuntutan daerah. Namun, era reformasi tidak akan memberikan imbas positif terhadap mutu pendidikan apabila tidak diikuti dengan perubahan paradigma, sikap mental, dan kultur para pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan di tingkat praksis.

Diakui atau tidak, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terpasung di persimpangan jalan, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara “utuh” dan “paripurna”, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, emosi, dan spiritual. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani, menjadi nihil. Mereka dianggap menjadi “robot-robot” zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistik, dan mau menang sendiri.

karikatur_erdogan_kopftuchstreit.jpg

Dengan nada sinis, Andrias Harefa (2000) mengemukakan bahwa sekolah telah dipisahkan dari soal-soal nyata sehari-hari. Ia telah berubah menjadi semacam “sekolah militer”, ajang indoktrinasi, dan “kaderisasi” manusia-manusia muda yang harus belajar untuk “patuh” sepenuhnya kepada “sang komandan”. Tak ada ruang yang cukup untuk bereksperimentasi, mengembangkan kreativitas, dan belajar menggugat kemapanan status-quo yang membelenggu dan menjajah jiwa anak-anak muda. Tak ada upaya yang dapat dianggap sebagai upaya “membangun jiwa bangsa”.

Selama mengikuti proses pembelajaran di sekolah, peserta didik (nyaris) tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan nilai yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian. Mereka diperlakukan bagaikan “tong sampah” ilmu pengetahuan yang harus menerima apa saja yang dijejalkan dan disuapkan oleh para guru.

Hal itu diperparah dengan munculnya kebijakan pemerintah masa lalu yang cenderung sentralistis dan otoriter, sehingga membrangus dan mengebiri fungsi sekolah sebagai pusat pendidikan nilai religi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, moral, kemanusiaan, dan semacamnya. Segala macam bentuk praktik pendidikan telah dipola dan diseragamkan dari pusat, sehingga sekolah tidak memiliki peluang untuk menumbuhkembangkan potensi genius-local.

Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.

Dalam konteks demikian, pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hipokrit, hedonis, dan besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai. Makna pendidikan substansial, yaitu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya secara “utuh” dan “paripurna” melalui sebuah proses yang dialogis, interaktif, efektif, menarik, dan menyenangkan, nyaris tak pernah bergaung dalam dunia pendidikan kita. Dari tahun ke tahun, atmosfer pembelajaran di sekolah tak lebih “memenjarakan” peserta didik untuk bersikap serba patuh, pendiam, miskin inisiatif, dan kreativitas.

Mengapa atmosfer pembelajaran dalam dunia persekolahan kita terpasung dalam situasi monoton, kaku, dan membosankan, sehingga gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral seperti yang didambakan oleh masyarakat? Paling tidak ada dua argumen yang dapat dikemukakan. Pertama, diterapkannya sistem single-track yang “membutakan” peserta didik dari persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya, sehingga tidak memiliki sikap kritis dan responsif terhadap persoalan-persoalan hidup.

Kedua, para pengambil kebijakan menjadikan dunia pendidikan –meminjam istilah Zamroni (2000)- sebagai engine of growth; penggerak dan loko pembangunan. Agar proses pendidikan efisien dan efektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori. Namun, disadari atau tidak, kebijakan semacam itu justru membikin dunia pendidikan menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi dengan munculnya berbagai kesenjangan kultural, sosial, dan kesenjangan vokasional yang ditandai dengan melimpahnya pengangguran terdidik.

Karena makin rumit dan kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan, dibutuhkan paradigma pendidikan masa depan yang dinilai lebih mampu menjawab tantangan zaman, yaitu paradigma pendidikan sistemik-organik yang menekankan bahwa segala objek, peristiwa, dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh.

Paradigma pendidikan sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan formal, sistem persekolahan, harus memiliki ciri-ciri: (1) pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching); (2) pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel; (3) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri; dan (4) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni, 2000).

Paradigma pendidikan sistemik-organik menuntut pendidikan bersifat double-tracks, yaitu pendidikan sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Dengan sistem semacam ini, dunia pendidikan kita diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah dengan cepat.

Dalam upaya mengimplementasikan paradigma pendidikan masa depan, peran guru sebagai pilar utama peningkatan mutu pendidikan jelas tidak boleh dipandang sebelah mata. Sudah saatnya guru diberi kebebasan dan keleluasaan untuk mengelola proses pembelajaran secara kreatif, “liar”, dan mencerdaskan, sehingga pembelajaran berlangsung efektif, menarik, dan menyenangkan. Sudah bukan saatnya lagi guru dipajang dalam “rumah kaca” yang selalu diawasi gerak-geriknya, sehingga guru yang dianggap “tampil beda” dalam mengelola proses pembelajaran “kena semprit” dan dihambat kariernya.

Dalam Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas (pasal 40 ayat 2) jelas dinyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ini artinya, guru tidak lagi berperan sebagai “piranti negara” yang semata-mata mengabdi untuk kepentingan penguasa, tetapi sebagai “hamba kemanusiaan” yang mengabdikan diri untuk “memanusiakan” generasi bangsa secara “utuh” dan “paripurna” (cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual) sesuai dengan tuntutan zaman.

Dalam konteks demikian, guru harus benar-benar menjadi “agen perubahan” dan menjadi sosok profesional yang senantiasa bersikap responsif dan kritis terhadap berbagai perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlangsung di sekitarnya. Guru –bersama stakeholder pendidikan yang lain– harus selalu menjadikan sekolah bagaikan “magnet” yang mampu mengundang daya pikat anak-anak bangsa untuk berinteraksi, berdialog, dan bercurah pikir dalam suasana lingkungan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Dengan cara demikian, tidak akan terjadi proses deschooling society di mana sekolah mulai dijauhi oleh masyarakat akibat ketidakberdayaan pengelola sekolah dalam menciptakan institusi pembelajaran yang “murah-meriah” di tengah merebaknya gaya hidup hedonistik, konsumtif, materialistik, dan kapitalistik.

Persoalannya sekarang, siapkah sekolah bersama para “penghuni”-nya menghadapi perubahan paradigma pendidikan, “bermetamorfosis” menjadi sebuah institusi yang responsif terhadap tuntutan zaman? ***

No Comments

  1. Nuwun sewu, badhe kulakan pertamax wonten mriki pikantuk mboten nggih Pakdhe Sawali? Amargi badhe maos komplet sampun kraos arip….

    “Mohon maaf, beli pertamax di sini boleh kan Pakde Sawali. Soalnya saya mau baca komplet sudah terlanjur ngantuk…”

  2. doktrin tunduk dan patuh itu kadang-kadang terbawa sampai kedunia kerja pak, dan akhirnya.. teteplah pekerjaan kita ini untuk menggemukkan mereka itu

  3. …pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakter khusus dan mandiri…

    Setuju Pak, tapi … hehehe …
    Saya menjadi ingat celetukan seorang kenalan saya yang kira2 seperti ini:
    “Lha masak guru yang disuruh memahami karakter siswa? Lha coba kalau satu guru mengajar di 3 kelas, ada berapa banyak karakter yang ditemui. Bukankah lebih mudah jika siswa2 yang memahami karakter guru…”

    Ya sepertinya beliau tsb memandang masalah tsb secara sempit. Menurut saya, memahami karakter siswa itu bukan berarti kita harus memahami karakter setiap individu tetapi pertama kita cari karakter umum dari siswa lalu kita cari karakter2 khusus yang mungkin ada. Tapi itu pendapat saya …

    Kenapa dunia pendidikan hanya meniru dunia bisnis dari segi komersialisasi-nya saja ya? Padahal di dunia bisnis, biasanya ada bagian Research and Development yang mengkaji karakter pasar (konsumen) sebelum melemparkan produk mereka. Alangkah indahnya jika dunia pendidikan benar2 menerapkan Research and Development. Ya seperti yang Pak Sawali sebut di atas bahwa guru juga sebagai “agen perubahan”, jadi semoga guru bisa bekerja di bidang RND tsb

  4. @ deKing yang katanya sudah tidak hiatus lagi:
    Wah, sepakat banget dengan Pak deKing. Benar sekali, guru juga perlu memahami karakter siswa agar mampu memberikan layanan yang sesuai dengan tipe2 belajar siswa. Ini tidak lantas berarti guru harus memahami karakter siswa secara individual, tetapi secara psikologis-pedagogis guru perlu menggunakan berbagai variasi dan gaya mengajar secara inovatif. Tentang komersialisasi dunia pendidikan, wah, ini agaknya juga menjadi salah satu “penyakit” dunia pendidikan kita, Pak. Tidak banyak orang yang mau “menghidupi “pendidikan”, tetapi justru “hidup” dari dunia pendidikan. Moga2 sistem RND yang diterapkan di dunia bisnis juga diterapkan dalam dunia pendidikan.

  5. Ya ya saya sependapat tentang ‘kemauan politik’. Tetapi, yang paling penting adalah ‘kemauan guru’. Apa pun alasan segala sesuatu dalam kondisi obyektif pendidikan Indonesia, jauh lebih baik (dari situasi lebih buruk dulu). Hingga, terpulang pada guru, the man behind the gun.

    Saya dapat fakta baru. Di sekolah —konon katanya– akan digiatkan TIK. E … gurunya pada gaptet. Memang kalau mencar kesalahannanti pada pemerintah lagi, namun guru harus aktif dong mengebangkan kemampuan. Kita sudah tau, orang-orang Jakarata (maksudnya pengelola pendidikan) berpikirnya pendek, jadi pandai-pandai kitalah mensiasati.

    Contoh, saya ketawa menagis ketika mensurvey guru yang ikutin program Karya Tulis Ilmia (KTI) lewat bimbingan internet. Gurunya saja belum fasih beremail … he he. Sampeyan bayangkan bagaimana berbombingan dengan para pendekar di pusat sana. Lucu memilkan, dan memalukan.

    Yang penting, proyek terus dikibarkan. Semua terpulang ke guru. Kondisi riel bangsa ya seperti itu. Kita masih dalam proses panjang menuju kemajuan, dan … itu tergantung respon guru. Salam.

  6. pendidikan sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya

    Setuju paman,

    pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hipokrit, hedonis, dan besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai

    Berarti perlu keseimbangan diantara nilai-nilai yang diajarkan ya Paman? sehingga bisa menjadi manusia yang utuh??
    Paradigma pendidikan sistemik organik, pada akhirnya menuntut guru yang “liar” bila meminjam istilah Paman Sawal, inovatif dan kreatif. Masalahnya kemudian, banyak kaum ayah saya itu yang masih sibuk memikirkan kebutuhan bulanan, saat ini memikirkan sertifikasi, bahkan ada yang masih sibuk dengan honorer dan guru bantu… Bagaimana ya Paman, menilik kondisi aktual ini??
    Maaf, malah menimbulkan pertanyaan baru…
    kados sampun cekap Paman, pareng rumiyin badhe nerasaken lampah, matur nuwun :mrgreen:

  7. pendidikan sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya

    Setuju paman,

    pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hipokrit, hedonis, dan besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai

    Berarti perlu keseimbangan diantara nilai-nilai yang diajarkan ya Paman? sehingga bisa menjadi manusia yang utuh??
    Paradigma pendidikan sistemik organik, pada akhirnya menuntut guru yang “liar” bila meminjam istilah Paman Sawal, inovatif dan kreatif. Masalahnya kemudian, banyak kaum ayah saya itu yang masih sibuk memikirkan kebutuhan bulanan, saat ini memikirkan sertifikasi, bahkan ada yang masih sibuk dengan honorer dan guru bantu… Bagaimana ya Paman, menilik kondisi aktual ini??
    Maaf, malah menimbulkan pertanyaan baru…
    kados sampun cekap Paman, pareng rumiyin badhe nerasaken lampah, matur nuwun :mrgreen:

  8. Jadi serba salah ya, Pak… Mau berubah jadi lebih baik kok kena semprit… Saya juga pernah kena, karena mengajak anak-anak belajar di luar kelas. Alasannya, karena tidak ada ‘koordinasi’ dengan rekan lain. Jangan keseringan begitu, katanya… bahaya buat karir nanti… 🙂

  9. sebetulnya, kalau di keluarga memperlakukan anggota keluarga secara sedeajat artinya terbuka dan jujur, apapun indoktrinasi di sekolah juga nggak akan laku tuh. Menurut saya loh

  10. @ Ersis WA:
    Makasih banget, pak Ersis. Bapak tak henti-hentinya memberikan apologi dan dorongan moril kepada guru untuk terus bersemangat dalam melakukan perubahan. Yak, semoga support Pak Ersis dibaca oleh temen2 guru sehingga terus tergerak untuk melakukan perubahan.

    @ mbelgedez:
    Walah, pertanyaan Mas Mbel kok bikin saya deg2an nih. Suda bisa menjadi agen perubahan apa belum, yak? Walah, agaknya idiom agen perubahan itu butuh kerja kolektif, hehehehe 😀 Ntar kalau sendirian malah terkena semprit betulan, hehehehe 😆

    @ goop:
    Betul sekali Mas Goop. Selama ini memang masih terkesan para guru sempoyongan dalam memikul beban ekonomi keluarga sehingga (nyaris) tidak memiliki kesempatan untuk memberdayakan profesinya. Tapi agaknya tingkat kesejahteraan guru makin lama makin membaik sehingga peluang untuk memberdayakn profesinya makin terbuka.

    @ suandana:
    Walah, kepala sekolahnya ya Pak yang membatasi ruang kreativitas guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Berdasarkan prinsip MBS yang saya ketahui, model manajemen kasek kayak begitu dah ndak njamani lagi, pak. Kalau menurut saya, jalan terus, Pak, untuk membuktikan bahwa inovasi pembelajaran akan lebih bermakna bagi anak2 ketimbang anak2 diperlakukan seperti napi yang dikerangkeng di dalam penjara kelas :mrgreen:

    @ caplang™:
    Walah, kalau cari letak kesalahannya, wah, bisa jadi lingkaran setan, Bung Caplang 😆 Yang pasti, pembenahan dunia pendidikan harus dilakukan secara kolektif dan holistik. Semua pihak harus memiliki komitmen *halah sok tahu* untuk meningkatkan mutu pendidikan.

    @ anggara:
    Setuju banget, pak Anggara. Penanaman nilai juga harus dilakukan di lingkungan keluarga.

    @ Imam Mawardi:
    Yak, betul Pak Mawardi, asalkan jangan sampai terjebak menjadi ajang indoktrinasi saja, hehehehe :mrgreen:

    @ caplang™:
    Walah, gimana nih menurut Bung Caplang kalau profil guru kayak image seperti itu. Sangar, yak?

  11. Membacanya saja sudah berfikir berat apalagi menulisnya ya?!

    Sepertinya memang ada benarnya Resi Ersis WA, kadang semua sepeti harus dikembalikan pada gurunya, contoh yang diberikan olehnya berkaitan dengan TIK itu benar-benar nyata terjadi.

    Pernah saya ikut workshop di Bogor, aduh kasian banget mas-mas teknisi dan fasilitatornya, mendampingi tanpa lelah hingga malam. Saya yang peserta pula, ikut-ikutan memfasilitasi teman sebelah saya yang dari hari pertama hingga terakhir menyebabkan saya tak mendapat kesempatan menyelesaikan kerjaan saya.. hehehehehehehe… gara-garanya sepele, untuk buka program saja harus dipandu langkah demi langkah… 10×10= capee deeehh.. 😉

    belum lagi pengalaman mengajarkan TIK di kalangan guru yang saya lakoni sejak 3 tahun lalu.. ampun pak, makan hati kadang-kadang.

    btw, pak sawali sudah bisa dianggap sebagai ‘agent of change’ kok pak! Sudah banyak yang diperbuat utnuk memajukan dunia ‘per-guru-an’ utamanya dalam ‘per-blog-an’

    hehehehehe
    para guru, SEMANGAT!!

  12. @ gempur:
    Oh, ternyata gaptek tak hanya di tingkat lokal, ya, Pak. Di Bogor setidaknya kan sudah di level nasional. Ternyata, jas bukak iket blangkon, hehehehe :mrgreen: Nggak ada bedanya dengan yang di daerah. OK, Pak, makasih, masih tetap semangat.

  13. Kalau kepala sekolah sih, sepertinya ingin menjalankan MBS yang baik, Pak… Rekan-rekan yang jabatannya di bawah beliau itu lah, yang kadang agak error… 🙂

  14. Pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hipokrit, hedonis, dan besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai

    Itukah wajah pendidikan kita pak Sawali? *miris on* saya percaya kalau pak sawali yang bicara. sebab pelaku dan pengamal….

    Pendidikan jadul kabarnya, si pelajar diwajibkan menulis dan memahami 4 bahasa.. ini kalau tidak salah yang bicara Pak Taufik Ismail. bayangkan kalau tidak salah, kita disuruh menlulis mulai SMA dan itu di akhir tugas saja. Otomatis bagaimana mau memahami keadaan sementara tuntutan akan nilai2 yang dihadirkan harus menyenngkan orang tua, guru dan entah siapa lagi.. 🙂

    Mencoba komentar serius tapi dasar otak sudah limbung, sama dengan Pak De nguwantuk sekali.. 🙂

  15. Persoalannya sekarang, siapkah sekolah bersama para “penghuni”-nya menghadapi perubahan paradigma pendidikan, “bermetamorfosis” menjadi sebuah institusi yang responsif terhadap tuntutan zaman?
    sebenernya kalo sayah liat sih, sekolah dan perangkatnya a.k.a guru dan murid setidaknya tidak diajak untuk “menghadapi perubahan” jaman, kebijakan pemerintah terhadap sekolah selama ini hanyalah untuk menghadapi jaman bukan untuk mempersiapkan siswa menjadi orang2 yang mampu tumbuh dan berkembang dalam kondisi siap untuk mengikuti dan merubah jaman.. tuntutan untuk menghadapi perubahan tidak akan selesai sebab perubahan akan terus berjalan, bagaimana siswa memandang setiap perubahan tidak dari permukaan tetapi memandang perubahan tersebut dari akar masalah yang dihadapi.
    pendidikan yang tidak menjadikan siswa sebagai objek pun memang sudah saatnya dirubah, tpi menghadapi ini tidak dapat dilakukan dengan perintah dari atas secara instan saja sih, harus bener2 disiapkan atau setidaknya dipisahkan antara produk lama dan produk baru yang mampu memutuskan sistem yang sudah bobrok didalam dunia pendidikan

  16. Saya jadi ingat cerita-cerita dosen saya mengenai yang namanya “penataran P4” zaman dulu itu. Apa itu sebegitu mengerikannya? 😛
    Apa itu benar-benar gerakan yang kebanyakan bersifat “cuci otak”? 😕

    Entah.

    Berubah? Sulit memang, tapi harapan selalu ada. 😀

    *pergi tidur, kecapean*

  17. Pembentukan watak dan kepribadian ya? Hmmmm…. sepertinya hal tersebut sangat abstrak ya pak Sawali? Masalahnya kita sendiri tidak tahu watak dan kepribadian macam apa yang dibutuhkan atau yang cocok buat anak2 didik kita atau bangsa ini.
    Sekarang misalnya ambil contoh, kita terapkan kepribadian yang cocok dengan bangsa Indonesia misalkan: Kekeluargaan. Nah, dari kepribadian kekeluargaan ini malah nanti cenderung untuk melahirkan manusia2 yang nepotisme yang sarat dengan KKN karena ya itu berakar dari sifat kekeluargaan yang salah kaprah! Itulah salah satu faktor kenapa KKN lebih subur di negeri kita dibandingkan di negara2 yg lebih individualis. Itu salah satu contohnya kenapa sebenarnya kita sendiri tidak yakin akan nilai2 yang akan diterapkan kepada anak didik kita walaupun itu kelihatannya cocok dengan akar budaya kita.

    Ya udah deh, saya jadi makin pusing nih, itu kan tugas pak Sawali sebagai pendidik! Huehehehe….. :mrgreen:
    Tapi saya yakin bahwa Pak Sawali adalah pendidik yg baik atau minimal Pak Sawali sudah berusaha yang terbaik buat kemajuan anak didiknya! Betul kan? 😀

  18. @ suandana:
    Walah, justru malah temen2 sendiri yang menjadi penghambat, ya, Pak Adit? Agaknya butuh pencerahan mereka ya, Pak :mrgreen: Yang ingin maju justru malah dihambat itu gimana? hehehehe :mrgreen:

    @ kurtubi:
    Bisa jadi fenomena itu benar, Mas Kurt. Coba sampeyan lihat hal itu pada realitas yang terjadi. Situasi korup, praktik kekerasan, dan macam2 sudah bukan rahasia lagi. Bukankah mereka konon juga merupakan produk dan output dari dunia pendidikan?

    @ almascatie:
    Ya, kalau semua pihak menyadari bahawa sekolah sebagai “agen perubahan”, Mas Almas, menurut hemat saya, semua pihak harus selalu siap untuk melakukan perubahan, termasuk bagaimana menyiapkan siswa menghadapi tantangan masa depan.

    @ rozenesia:
    Yak, saya kira CERITA itu ada benarnya Mas Roze. Penataran P4 tak lebih dari sebuah media indoktrinasi yang dicekokkan kepada para peserta.

    @ dobelden:
    Walah, bener banget, Mas.

    @ Yari NK:
    Walah, masih jauh dari ideal, Bung Yari. Untuk menjadi guru yang baik dan ideal banyak sekali persyaratannya. Menurut hemat saya, pendidikan perlu mendapatkan perhatian seluruh komponen bangsa, bukan hanya menjadi tanggung jawab guru saja, Bung, hehehehe 😆

  19. Di balik tulisan Bung Sawali ada kasus BLBI, hantu komunis, hantu Pancasila, hantu separatisme, monopoli dan oligarki, neo-feodal, neo-imperialisme, konsumerisme, illegal logging,….dll, dll…ini mengakibatkan persoalan pendidikan menjadi sangat rumit. Cape’ deh…

  20. “Persoalannya sekarang, siapkah sekolah bersama para “penghuni”-nya menghadapi perubahan paradigma pendidikan, “bermetamorfosis” menjadi sebuah institusi yang responsif terhadap tuntutan zaman?”
    hmmm….munkin harus secara bertahaf, pak? dimulai dari ferabotan sekolah sebangsa kefsek samfe fesuruh, terus dilanjutken ke murid-muridnya…

  21. @ tobadreams:
    Emang capek Bung Huta ketika masalah pendidikan menjadi semakin rumit dan kompleks karena ditengarai sudah tereduksi oleh kepentingan industri. Akibatnya jelas, orientasi pendidikan pun lebih terfokus bagaimana agar para outpur bisa secepatnya masuk pada dunia industri.

    @ Hoek Soegirang:
    Yak, betul sekali Mas Hoek, harus dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus seperti orang membalik telapak tangan.

  22. Baru muncul nih, Pak. Bertapa beberapa hari mencari ilham, wakakakaka.

    Aduh, Pak, saya bukan orang yang berpendidikan. Tidak bisa memberi banyak komentar untuk saat ini. Di sekolah kita di beri ilmu dan pengetahuan. Tapi, kita tidak dididik secara mentalitas.

    Pembentukkan watak dan moral bukan hanya tugas seorang guru tapi juga tugas para orangtua di rumah.

    Moga Pak Sawali bisa menularkan virus mendidik dan membimbing kepada para guru-guru lainnya.

  23. @ Hanna:
    Walah, pakai bertapa segala nih, Mbak Hanna, hehehehe 😆 Jangan lupa ilhamnya ditular-tularkan, Mbak, hehehehe 😀
    Yak, memang benar, Mbak, penanaman nilai moral bukan hanya tanggung jawab guru, melainkan juga tanggung jawab semua komponen bangsa. OK, makasih support-nya, Mbak.

  24. ada baiknya artikel ini dikirim ke koran pak macam Kompas atau Koran Tempo. atau sudah? dulu ada “pejuang-pejuang” yang ingin kurikulum budi pekerti masuk lagi. apa sekarang sudah ada lagi?

  25. @ sitijenang:
    Belum, Pak *maaf atau Ibu nih* hehehehe 😀 Tapi di blog malah memiliki jangkauan pembaca yang lebih luas, pak dan dapat dibaca setiap saat. OK, terima kasih kunjungan dan sarannya, Pak, salam.

  26. @ tuan rumah:
    betul, saya seorang bapak. btw tujuan pendidikan sekarang bukan lagi membentuk akhlak atau budi pekerti lewat ngelmu. semua mengarah ke industri, di mana di situ banyak mesin-mesin sing ra duwe isin. mangkono eh makanya, tidak sesuai dengan kaedah kehidupan, yang seperti bapak sebut di blog pak kurt “ngundhuh wohing pakarti”. lha mangkanya ada yang pengen, termasuk saya, untuk memasukkan ajaran budi pekerti, sebuah manifestasi lahiriah ajaran religi. mugi-mugi ngurus nagari mboten suwe-suwe sing nglali he he he… 😀

    kok enakan komentar daripada nulis sendiri?

  27. @ sitijenang :
    Oh, yak, agaknya benar, Pak. Pendidikan budi pekerti dalam dunia pendidikan kita agaknya sudah lama nggak bergaung. Tapi saya pikir tidak harus menjadi mapel tersendiri, tetapi diintegrasikan ke mapel yang sudah ada. Kalau jadi mapel tersendiri pun kalau penyajiannya bersifat dogmatis, indoktrinasi, dan teoretis, hanya akan sia2. OK, Pak, selamat berjuang.

Tinggalkan Balasan ke Hanna Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *