Setelah jadi wakil rakyat, gaya hidup Bang Kempul berubah drastis. Kesibukannya luar biasa padat. Ia memang sering mangkir dan selintutan pada agenda yang “kering” dan melelahkan, tapi selalu hadir pada acara-acara “basah” yang mengalirkan kerincing dhuwit ke koceknya. Mobil mewahnya yang nongkrong di garasi siap memanjakan ke mana pun lelaki muda berjidat licin itu pergi. Rumah dinasnya magrong-magrong, lengkap dengan segenap perabot dan fasilitas serba mewah. Busana yang membungkus tubuhnya pun harus bikinan luar negeri yang konon bisa membuat pemakainya pede dan bergengsi.
>Kursi dan jabatan telah membikin hidup Bang Kempul serba enak dan kepenak. Memanjakan naluri hedonis, seperti jalan-jalan ke luar negeri atau menghambur-hamburkan uang rakyat di hotel berbintang merupakan kejadian biasa dalam kamus politiknya. Dia lebih suka mengakrabi dunia “selebritis” ketimbang berada di tengah-tengah rakyat yang kelimpungan dijerat kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Sebagai politisi muda, Bang Kempul tergolong “orator” ulung”. Kata-kata yang meluncur dari belahan bibirnya bak mitralyur yang siap membidik lawan bicara. Banyak kaum eksekutif dan pengusaha dibikin tak berkutik menghadapi argumennya yang cerdik, “licin”, dan melingkar-lingkar pada saat acara dengar pendapat digelar. Tapi sayang, kelebihannya itu tak dimaksimalkan untuk total dan suntuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Mungkin, di gedung wakil rakyat yang megah itu juga bertebaran “Bang Kempul” yang lain; bergaya koboi, bernafsi-nafsi, oportunis, dan infantil. Tidak aneh ketika pemerintah menaikkan harga BBM, lsitrik, dan telepon dalam waktu yang (nyaris) bersamaan beberapa waktu yang silam, yang jelas-jelas membikin beban rakyat makin sempoyongan, tak sepotong kata pun meluncur dari bibir “Bang Kempul”. Mulutnya seperti terkunci. Kebijakan ironis di tengah krisis itu pun jalan terus.
Perubahan gaya hidup Bang Kempul yang cenderung “nyelebritis” itu tak urung mengundang pergunjingan miring bagi orang-orang yang pernah mengenalnya. Jauh sebelum jadi wakil rakyat, Bang Kempul hanyalah bagian dari wong cilik yang hidup serba susah.
“Hebat dan luar biasa! Seperti lakon Petruk Dadi Ratu saja! Jarang lho, orang yang bisa bernasib seperti dia!” celetuk kawan lama Bang Kempul suatu ketika dalam sebuah obrolan di warung kopi.
“Makanya, belajarlah politik pada dia, siapa tahu Sampeyan bisa mengikuti jejaknya!” sahut temannya yang lain sembari menghembuskan aspa rokok.
”Boro-boro belajar, mau ketemu dia saja susahnya bukan main! Pernah aku datang ke Jakarta, bukannya diterima dengan baik, melainkan justru diusir secara halus dengan dalih sibuk, macem-macemlah! Yeah, bagi dia, orang macam kita-kita ini sudah nggak dianggap lagi!”
“Sebagai orang penting, kan nggak setiap saat orang bisa menemuinya tanpa melalui izin dan aturan protokoler!”
“Masak dengan kawan lama harus begitu! Apa sih susahnya menyuruh Satpam mengizinkan masuk ke rumahnya? Memang dasar sombong, mentang-mentang berpangkat, kawan lama dilupakan!”
“Itulah perilaku orang kalau sudah di atas, Mas, lupa sama yang di bawah!” seloroh Yu Ginah, penjual kopi, yang sedari tadi ikut nguping sembari menyorongkan bibirnya yang bergincu tebal. “Wong cilik seperti kita ini, paling-paling ya hanya bisa ngudarasa melihat polah tingkah orang-orang politik yang mburu kesenangannya sendiri!” kanjutnya.
Mereka terus saja “menelanjangi” perilaku Bang Kempul yang dianggap sebagai patron legislatif yang telah lupa akan kedalaman dan kesejatiannya sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya. Kursi terhormat yang didapat “atas nama” rakyat itu telah ditafsirkan menurut selera dan kepentingan sesaat, demi memanjakan nafsu dan ambisi kekuasaan semata.
Dalam perspektif budaya, perilaku anomali politik yang menghinggapi tokoh semacam Bang Kempul merupakan salah satu fenomena melik nggendhong lali yang sering digambarkan dalam ikon Petruk Dadi Ratu yang tengah mabuk kekuasaan dengan memangku seorang perempuan cantik sembari menenteng minuman keras. Adagium ini, paling tidak memberikan gambaran bahwa orang yang tengah berada dalam lingkaran kekuasaan cenderung lupa (lali) terhadap asal-usul dan makna kesejatian hidup, serta bernafsu (melik) memanjakan naluri kesenangan inderawinya.
Dalam konteks demikian, dibutuhkan pencerahan dan pembebasan sikap melik nggendhong lali itu dengan selalu ingat (eling), waspada, hati-hati menjalani hidup agar tidak mudah terjebak dalam kubangan nafsu yang meninabobokan. Pujangga Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha, wanti-wanti berpesan dan sekaligus memberikan warning bahwa begja-begjane kang lali isih begja kang eling lawan waspada (seuntung-untungnya orang yang lupa masih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada). Ini artinya, dalam setiap dimensi ruang dan waktu, manusia –lebih-lebih mereka yang tengah berkuasa—senantiasa dituntut memiliki rasa ingat dan waspada yang bermuara pada upaya pemuliaan nilai-nilai hidup dan kehidupan.
Persoalannya sekarang, apakah para politisi atau penguasa negeri ini mampu menjadikan sikap ingat dan waspada sebagai simpul untuk membelenggu liarnya sifat lupa dalam nafsu kekuasaan? Pertanyaan ini menjadi penting dan relevan dikemukakan, sebab perjuangan manusia melawan kekuasaan pada hakikatnya adalah perjuangan melawan lupa sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh pengarang Cekoslovakia, Milan Kundera. Nah, bagaimana?
HAHAHA..NM NY SAMA. LAM KNL AJA PAK GURU
pak.guru 0rang mn??bener2 guru y..
BULAN TAK SEINDAH KELIHATANNYA.. ”’MEMIMPIN”’ TAK SEMUDAH MELAKSANAKANYA..BUKAN BEGITU P.GURU
@ SAWALI:
Salam kenal juga kawan. Wah, syukurlah, ternyata nama kita sama. Mudah2an membawa berkah, yak. Betul sekali, jadi pemimpin memang bukan hal yang mudah. Selain amanah, juga harus bisa menyingkirkan pamrih dan kepentingan2 sempit. OK, salam.