Menunggu “Lonceng Kematian” Lewat Ujian Nasional

Jika tidak ada aral melintang, Ujian Nasional (UN) mulai SD hingga SMA/MA/SMK, akan digelar serentak pada Mei 2008. Mendiknas telah mengeluarkan Permen Nomor 34 Tahun 2007 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/MA/SMALB) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2007/2008 pada 5 November 2007.

Jika dicermati, ada beberapa perubahan mendasar dibandingkan dengan pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2007/2008, selain terjadi penambahan mata pelajaran, juga terjadi peningkatan kriteria nilai kelulusan.

Mata pelajaran yang diujikan secara nasional pada tahun pelajaran 2007/2008 antara lain: 1) Mata Pelajaran UN untuk SMP, MTs, dan SMPLB meliputi; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA); 2) Mata Pelajaran UN SMA dan MA: (a) Program IPA: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi; (b) Program IPS: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi, Matematika, Sosiologi dan Geografi; (c) Program Bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Asing lain yang diambil, Sejarah Budaya (Antropologi), dan Sastra Indonesia; (d) Program Keagamaan meliputi; Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, dan Tasawuf/Ilmu Kalam; 3) Mata Pelajaran UN SMALB, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika; 4) Mata Pelajaran UN SMK, meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Kompetensi Keahlian Kejuruan.

Korpri dan Neofeodalisme dalam Birokrasi

Pada 29 November 2007, Korpri genap berusia 36 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, rentang usia tersebut bisa dibilang masih cukup muda. Usia yang identik dengan idealisme, tetapi tak jarang gampang tersulut emosi dan tensi tinggi. Wadah non-kedinasan bagi pegawai yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1971 ini –warisan rezim Orde Baru– dinilai makin eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya. Dengan doktrin “Bhinneka Karya Abdi Negara” didukung mobilitas andal, Korpri telah mampu menyamakan gerak, langkah, pikiran, dan tindakan para pegawai yang tersebar di segenap lini dan sektor kehidupan. Sungguh, bukan soal mudah mengakomodasi dan mengakumulasi beragam profesi dalam satu visi.

Meskipun demikian, secara jujur harus diakui, masih banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia yang belum bisa dibilang “dewasa”, Korpri dituntut untuk bisa bersikap arif dan dewasa dalam menangani masalah-masalah yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Ibarat sosok pemuda, Korpri harus sanggup memanggul beban idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian pegawai demi terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen dan penting untuk digarap.

Jagal Abilawa

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Sudah hampir sebulan ini aku dipusingkan oleh ulah Sumi, istriku, yang tengah hamil. Menurut para tetangga, istriku lagi nyidham, hal yang wajar dialami oleh perempuan yang sedang menjalani kodratnya. Dia minta dicarikan seorang tokoh dalam jagad pewayangan, Jagal Abilawa, salah satu kerabat Pandawa yang amat dikagumi lantaran keberanian dan ketegaran hatinya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Kalau sembarangan Jagal Abilawa, bagiku tak masalah. Aku bersahabat baik dengan banyak dalang dan perajin wayang kulit. Tentu, mereka dengan senang hati akan membantuku. Namun, yang diinginkan istriku, Jagal Abilawa yang usianya sudah mencapai usia ratusan tahun. Aku menganggap permintaan istriku merupakan sesuatu yang mustahil. Mana ada wayang kulit yang sanggup bertahan hingga umur ratusan tahun? Kalau toh ada, pasti sudah jatuh ke tangan para kolektor barang antik yang berkantong tebal. Tetapi, istriku tak peduli. Dia terus mendesakkan keinginannya untuk bisa dipertemukan dengan ksatria Jodipati yang perkasa itu.

Jagal Abilawa

Cerpen: Sawali Tuhusetya Sudah hampir sebulan ini aku dipusingkan oleh ulah Sumi, istriku, yang tengah hamil. Menurut para tetangga, istriku lagi nyidham, hal yang wajar dialami oleh perempuan yang sedang…

Gerah Gara-gara Guru

25 November telah ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional, bersamaan dengan HUT PGRI. Menurut rencana, puncak peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2007 akan dipusatkan di Pekanbaru, Riau, yang akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat teras pendidikan lainnya. Untuk ke sekian kalinya, guru dihadirkan di ruang publik. Upacara digelar di seantero negeri, mulai dari pusat ibukota hingga dusun-dusun terpencil. Semua siswa didik mengangkat tangan tanda hormat tingginya marwah guru dalam membimbing mereka meraih masa depan. Lirik Hymne Guru disenandungkan dengan rasa haru yang menyesak di dada. Para guru hanya bisa menunduk mendengarkan senandung pujian dan sanjungan. Tak kalah harunya menyaksikan siswa didiknya yang begitu tulus memberikan kado “Hymne Guru“.

Ya, ya, ya, ibarat serdadu, guru di medan pendidikan mengemban misi memerdekakan generasi bangsa dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Mereka berada di garda depan dalam “menciptakan” generasi-generasi muda yang cerdas, terampil, tangguh, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, berwawasan luas, memiliki basis spiritual yang kuat, dan beretos kerja andal, sehingga kelak mampu menghadapi kerasnya tantangan peradaban.

Gerah Gara-gara Guru

Oleh: Sawali TuhusetyaTanggal 25 November telah ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional, bersamaan dengan HUT PGRI. Menurut rencana, puncak peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2007 akan dipusatkan di Pekanbaru, Riau, yang…

Buku, Penulis, dan Penjara

Diilhami oleh tulisan Bangaiptop “Dukung Bersihar Lubis“, Mas Hoek, dan juga banner keren, buah kreasi Kang Anto Bilang, naluri saya sebagai penulis katrok tiba-tiba ikut-ikutan “memberontak”. Betapa kebebasan yang dijamin pasal 28 UUD 1945 di negeri ini masih silang sengkarut. Masih ada persoalan serius yang harus dituntaskan, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan.

Jujur saja, saya tidak kenal siapa Bersihar Lubis (BL). Pernah sesekali membaca tulisannya di TEMPO. Tulisan-tulisannya lugas, kritis, dan menusuk. Tulisan-tulisan khas yang biasa meluncur dari tangan para jurnalis. Namun, agaknya sikap lugas dan kritis BL berbuah petaka.

Teriakan “Bocah-bocah” Nakal

Kalau boleh saya ibaratkan sebuah rumah, blog saya ini sering diteriaki oleh orang-orang dari luar sana dengan identitas yang tidak jelas. Namanya saja teriakan; jelas bikin gemes dan nyeri di telinga. Saya sendiri tidak tahu siapa mereka. Untung saja ada Satpam Aki Ismet yang selalu siap berjaga-jaga di teras samping selama 24 jam non-stop setiap harinya. Hebat! Meski sudah “uzur”, Aki Ismet masih sigap dan bisa diandalkan. Si Aki berhasil menangkap “bocah-bocah” nakal itu dan langsung memborgolnya di ruang karantina. Berdasarkan laporan yang saya terima hingga hari Rabu, 21 November 2007 pukul 22.34 WIB, si Aki Ismet berhasil menangkap 852 “bocah” nakal itu lengkap dengan bunyi teriakan-teriakannya.

ikon-spam2.png

Revitalisasi Seni Rakyat di Tengah Peradaban Global

Seiring dengan dinamika zaman yang terus bergerak pada arus globalisasi, dunia kesenian diharapkan bisa ikut berkiprah dalam melakukan pencerahan terhadap peradaban yang “sakit”. Seni tidak cukup hanya dipahami sebagai produk estetika, tetapi juga mesti diapresiasi sebagai sebagai produk budaya yang mampu memberikan sesuatu yang bermakna bagi umat manusia. “Dulce et utile”, kata Horace.

Berkaitan dengan keberadaan seni rakyat yang hingga kini masih tumbuh subur di kantong-kantong seni, khususnya di daerah pedesaan, pada era global justru akan semakin dilirik dan diperhatikan sebagai “mutiara yang hilang”. Seni rakyat justru akan semakin penting dan strategis setelah manusia-manusia yang hidup pada masa post-modern sudah mulai jenuh dengan berbagai produk seni modern yang dinilai mulai kehilangan basis dan tuah falsafinya. Oleh karena itu, produk-produk seni rakyat perlu dikemas sedemikian rupa sehingga kehadirannya semakin dicintai dan dirindukan oleh publik.