“Fasisme” dalam Dunia Pendidikan

Secara jujur harus diakui, selama bertahun-tahun dunia pendidikan kita terjebak dalam suasana “fasis”, terpasung dalam cengkeraman rezim penguasa yang otoriter, tersisih di antara hiruk-pikuk dan ingar-bingar ambisi yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi serta daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh, lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, religi, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, emosi dan spiritual. Akibatnya, apresiasi keluaran pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan nurani menjadi nihil.

Mereka menjadi “robot-robot” zaman yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri. Tidak mengherankan jika sendi-sendi kehidupan negeri ini mudah digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarki, destruktif, bahkan mudah terkontaminasi oleh “virus” disintegrasi.

Dalam praktek pembelajaran di kelas, peserta didik –meminjam istilah YB Mangun Wijaya dalam buku Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein (1999)– tidak diajar untuk berpikir eksploratif dan kreatif, tetapi di-drill dan dibekuk agar menjadi penurut. Siswa yang baik telah dicitrakan sebaga “anak mami” yang serba sendika dhawuh dan pendiam. Imbasnya, cakrawala berpikir siswa menyempit dan mengarah pada sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun, perompak, penggusur yang menghambat kemajuan bangsa.

Erat hubungannya dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah makin meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang. Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal-budi, bahkan makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, seakan telah menjadi fenomena sosial yang mewabah dalam pranata kehidupan masyarakat kita.

khazanah-utama-putu.gifIdealnya, dunia pendidikan harus mampu memberikan proses pencerahan dan katharsis spiritual kepada peserta didik, sehingga mereka mampu menghilangkan sikap-sikap “fasis” sekaligus mampu bersikap responsif terhadap segala persoalan yang tengah dihadapai masyarakat dan bangsanya. Melalui pencerahan spiritual yang ditimbanya, mereka diharapkan menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi, dan kedamaian hidup. Kita sangat membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian yang menawarkan pengampunan jika terjadi penghinaan.

Kecerdasan spiritual mewujud dalam perilaku hidup yang diliputi kesadaran penuh, perilaku yang berpedomankan hati nurani, penampilan yang genuine tanpa kepalsuan, kepedulian besar akan tegaknya etika sosial. Sebaliknya, ketidakcerdasan spiritual mewujud dalam perilaku keagamaan yang monolistis, eksklusif, dan intoleran yang meninggalkan jejaknya pada korban konflik kekerasan berbau SARA, seperti yang belakangan ini sering kita saksikan.

Situasi sosial yang sarat dengan perilaku anomali dan ulah tak terpuji, mau atau tidak, harus menjadi bahan renungan bagi kita semua. Sebagai basis dan pusat pembentukan nilai, institusi pendidikan (baca: sekolah) harus mampu mengembalikan fungsinya sebagai pencerah peradaban, mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.

images1111.jpgPendidikan budi pekerti, meskipun tidak tersurat dalam kurikulum harus dihidupkan kembali di sekolah oleh para guru lintas mata pelajaran. Artinya, penanaman nilai budi pekerti tidak semata-mata menjadi tugas guru PPKn atau Pendidikan Agama saja, tetapi secara integratif perlu dijadikan bahan kajian yang tak terpisahkan dalam setiap mata pelajaran.

Kajian nilai budi pekerti, tidak sekadar disampaikan dalam bentuk teori, hafalan, atau “khotbah”, tetapi harus benar-benar menyentuh kedalaman dan hakikat emosional-spiritual yang mampu membuka ruang kesadaran nurani siswa di tengah konteks kehidupan sosial-budaya yang majemuk.

Yang tidak kalah penting, guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan, hendaknya mampu menjadi figur teladan dan anutan di depan para peserta didik. Guru dituntut untuk memiliki sikap demokratis, lebih mawas diri, sehingga secara tidak langsung akan menular ke dalam jiwa dan kepribadian peserta didik.

Di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang masih silang-sengkerut akibat konflik dan krisis multidimensi, sudah saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katharsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar- benar dimaknai secara substansial sebagai “kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan “paripurna”, cerdas emosionalnya sekaligus cerdas spiritualnya. ***

AddThis Social Bookmark Button

Comments

  1. Anak dididik keras, ketat, menjadi penurut bagai anak mami. Namun disatu sisi, bila dilepas jadi anak brangasan, bebinjat, dan sukak ndak tau aturan ato malah mungkin anti sosial.

    Jadi ???

  2. Anak dididik keras, ketat, menjadi penurut bagai anak mami. Namun disatu sisi, bila dilepas jadi anak brangasan, bebinjat, dan sukak ndak tau aturan ato malah mungkin anti sosial.

    Jadi ???

    (mongkin perlo pak guru Sawali untuk menanganinya….)

  3. Sebenernya pengen komen lagi.
    Tapi ntar sama cK dan HOEK sayah dikira mau Hat Trick…

    Ndak jadi komen lagi deh….

  4. “Di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang masih silang-sengkerut akibat konflik dan krisis multidimensi, sudah saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katharsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar- benar dimaknai secara substansial sebagai “kawah candradimuka” yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan “paripurna”, cerdas emosionalnya sekaligus cerdas spiritualnya.”

    Saya jadi pengen masuk kawah candradimuka lagi, tentu yang baru dan sesuai harapan ohm sawal, dan semua yang peduli…hingga akhirnya bisa menjadi bagian dari generasi yang utuh dan paripurna
    -semoga belum terlambat- :mrgreen:

  5. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh, lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, religi, dan budi pekerti.

    Memang kecenderungannya pendidikan seakan dibentuk untuk memenuhi kepentingan dunia industri. Dan jujur pak, banyak orang yang masuk sekolah dengan orientasi mempersiapkan diri agar kelak mudah mendapatkan pekerjaan. Meski ada juga yang tidak seperti itu.
    Membentuk keterampilan itu mungkin lebih mudah dibandingkan dengan membentuk pola pikir.

  6. @ mbelgedez:

    Anak dididik keras, ketat, menjadi penurut bagai anak mami. Namun disatu sisi, bila dilepas jadi anak brangasan, bebinjat, dan sukak ndak tau aturan ato malah mungkin anti sosial.

    Hahahaha 😀 Perlu tarik ulur, kali, yeee, Mas Mbel. Harus ada reward dan punishment, gitulah. Anak perlu diberi penghargaan saat berprestasi, tapi juga perlu dijewer saat muncul sikap agresifnya. Biar tahu aturan, hehehehe 😀 OK, salam.

    @ goop:
    Hehehehe 😀 Belajar sepanjang hayat, kata nenek moyang kita kan begitu, Mas goop. Jadi nggak ada istilah terlambat, kan? Ya ya ya, generasi yang utuh dan paripurna; cerdas intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. OK, salam.

    @ sigid:
    Itulah Pak Sigid, ironi yang berlangsung di dunia pendidikan kita hingga saat ini. Orientasi ke ranah nilai dan budi pekerti nggak masuk hitungan :mrgreen: ya, ya, ya, akibatnya, negeri ini banyak orang pinter, tapi banyak yang nggak bener :mrgreen: Setelah masuk dalam lingkaran kekuasaan cenderung korup. Ini tantangan besar yang butuh kesadaran kolektif semua komponen bangsa untuk melakukan perubahan, Pak Sigid. OK, salam.

  7. Saya tersentuh melalui kata2 ini :

    Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, emosi dan spiritual. Akibatnya, apresiasi keluaran pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan nurani menjadi nihil.

    Nice post pak …

    -Pendukung Kemajuan Pendidikan- 😀

  8. epa

    Mungkin bagi seseorang yang bukan seorang pendidik, ngomong ini itu emang gampang. Mereka tak pernah merasakan bagaimana menghadapi sekian banyak anak yang berbeda karak ter, berbeda sifat dan berbeda tingkat intelektualnya.Ups…sorry2 kok marah ya….habis aku paling g’ suka ada orang yang piktor terhadap para pendidik.

  9. Yang tidak kalah penting, guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan, hendaknya mampu menjadi figur teladan dan anutan di depan para peserta didik.

    Inilah menurut saya tuntutan yang terlalu berat kang. kebanyakan jika guru disalahpahami sebagai figur utama dan pertama. padahal dia juga manusia kang. Kyai, ustadz dan ulama, atau guru dalam berbagai disiplin, saya kira mereka tetap menjadi manusia biasa… bukan pemimpin komando.

    saya lebih setuju guru itu mbuntuti saja. mendorong saja… atau tut wuri handayani… dengan begitu, apapun kesalahan guru, kyai, pempmpin agama bukan semata2 sebagai kesalahan kendali …

    Dengna begitu, saya sih lebih cocok, guru itu dimaknai sebagai sahabatnya murid2… suka berempati kepada murid2.. ngobrol bercanda dan bergaul akrab dengna keluarganya, dengan teman2nya dan seterusnya… rasanya masalah anak2 akan sedikit punya sahabat yaitu sang Guru.. Saya pernah melihat film Amerika guru seorang Paket C, semuanya begitu akrab bergaul dan bercanda… bagian hidupnya mereka adalah bersama guru2 itu.

    contoh lagi seklah smp qoryah thoyibah.. mas yang ngajar dari UIN itu teman2nya murid. sakin betahnya, si murid sampe pada tidur di sekoalh belajar internt dan lain2 … eh maaf kepanjangan untuk tanggapan diskusi kita kang..

  10. @senymeva
    Ada seorang guru, mbak ia aslinya bukan guru, tapi sering menggantikan isterinya mengajar di Paket C, di antara mereka (para murid) adalah anak2 broken home. Kemiskinan ketiadaan biaya. hidupnya pengen jadi ornag2 kaya.

    Si guru ini, pendekatan mengajarnya dengan empati. Nyatanya mereka pernah disurvai bahwa cara ngajar guru itu disukai sama anak² murid. Dalam setiap tatap muka, saya berusaha menerangkan pelajaran dengna gaya ngeblog … santai dan bercanda dikit2. Nyatanya mereka hormat tanpa disuruh, mereka nurut dengan kesadaran… merekapun gampang mengungkapkan masalah2 dirinya…

    (itu sekedar sharing) untuk mendukung tesis tulisan di atas…

  11. @ Herianto:
    OK, makasih Pak Heri atas apresiasinya. Wah, Pak Heri Pendukung Kemajuan Pendidikan, bagus tuh. Mendukung banget. Idealnya, pendukung pendidikan itu tidak mlulu dari kalangan pendidik. Ini harus menjadi kerja kolektif semua komponen bangsa. Jika perlu, pendidikan harus menjadi “panglima” di negeri ini. OK, salam.

    @ epa:
    OK, makasih sekali support moralnya terhadap guru. Memang tugas guru sangat berat di tengah tantangan zaman yang demikian rumit dan kompleks. Keresahan Mbak sebagian telah dijawab oleh Mas Kurt. Kesimpulannya, tugas guru memang berat, tapi jangan sampai kehilangan idealisme untuk menciptakan kegiatan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Mudah2an saja para guru tetap memiliki komitmen dan tanggung jawab moral untuk mendidik anak2 bangsa negeri yang tengah menghadapi tantangan yang bgeitu rumit dan kompleks. OK. makasih, salam.

    @ santribuntet:
    Ya, ya, ya, pendapat Mas Kurt saya kira tidak salah. Sudah bukan zamannya lagi guru bersikap otoriter dan menganggap siswa hanya sebagai objek. Hehehehe 😀 Tapi kalau pendekatan yang digunakan kurang sesuai bisa juga membuat anak2 jadi salah urus. Guru memang harus akrab dengan siswa didiknya, tapi yang dimaksud Mas Kurt bukan dalam pengertian seperti dengan teman2 sebayanya, kan? Wibawa guru tetap penting saya kira Maa Kurt. Wibawa bisa muncul jika guru memberikan keteladanan. Gimana murid mau disiplin kalau gurunya aja nggak bisa memberikan teladan bagaimana menjaga disiplin dengan baik? Hehehehe :mrgreen: Dan saya yakin, keakraban guru tetap bisa terjalin dengan baik bersama anak2 didiknya, tanpa mengurangi wibawa guru sepanjang sang guru bisa memosisikan diri secara tepat dan proporsional. OK, Mas Kurt, makasih, salam.

  12. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, emosi dan spiritual.

    Nah Pak Sawali saya lihat ada dua keanehan dalam sistem pendidikan di negeri ini kalau saya membaca kalimat pak Sawali seperti di atas tsb.

    Pertama seharusnya sebagai bangsa timur bukankah (kalau benar apa yang dikatakan orang2 tua kita dan juga guru2 kita dulu!) secara naluriah pendidikan bangsa kita seharusnya lebih dekat kepada pengembangan kecerdasan hati, emosi dan spiritual?? Bukankah kita dari dulu adalah negara yang berasaskan keTuhanan yang Maha Esa? Dan bukankah kita terkenal dengan bangsa yang ramah dan murah senyum? Ataukah itu hanya semua saja ya Pak Sawali?

    Kedua Jikalau pendidikan kita lebih mementingkan kecerdasan, akal, intelektual, nalar, dsb. Tetapi kenapa juga tuh bangsa ini juga belum mampu menggunakan akalnya secara maksimal??, atau mungkin bisa jadi juga, tujuan pendidikan kita seperti di atas hanya tercapai pada segelintir orang saja, belum merata! Ini tentu dapat terlihat dari keterbelakangan kita di berbagai bidang dari negara2 tetangga. Nah bagaimana tuh pak Sawali? :mrgreen:

  13. Wah ralat:
    Tertulis:
    Ataukah itu hanya semua saja ya Pak Sawali?

    Seharusnya:
    Apakah itu hanya semu saja ya Pak Sawali?

  14. Perlu tarik ulur, kali, yeee, Mas Mbel. Harus ada reward dan punishment, gitulah. Anak perlu diberi penghargaan saat berprestasi, tapi juga perlu dijewer saat muncul sikap agresifnya. Biar tahu aturan

    ITULAH NYANG SAYAH TERAPKAN, BOSS….

    (sebenernya tadi pengen komen lagi….)

    SAYAH MENDIDIKNYA BENER-BENER ITEM PUTIH. KALO BERHASIL, SAYAH KASIH REWARD, KALOK KURANG AJAR NYANG KETERLALUAN, SAYAH NDAK SEGEN-SEGEN NABOK. SEDANGKAN HARI-HARI BIASA, SAYAH USAHAKAN PENUH CANDA DAN TAWA. MAKLUM, SAYAH TINGGAL SEHARIAN, BOSS…

    SYUKURLAH, SAMPAI SAAT INI FINE-FINE AJA TUH….

  15. Siswa yang baik telah dicitrakan sebaga “anak mami” yang serba sendika dhawuh dan pendiam. Imbasnya, cakrawala berpikir siswa menyempit dan mengarah pada sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun, perompak, penggusur yang menghambat kemajuan bangsa.

    Nah ini yang jadi masalah juga, pak, menurut saya. Ketika guru menawarkan metode untuk lebih terbuka dan bukan teacher-oriented lagi, murid malah memilih metode kuno yang cenderung “memaksa” mereka untuk iya-iya aja kalau guru lagi bicara.
    Sebenarnya ini muridnya yang memang ngga beres atau ada bagaimana?

    Salam, pak. Terima kasih dulu sempat ke blog saya. 🙂

  16. @ Yari NK:
    Pendapat pertama Bung Yari saya kira betul sekali. Sebagai bangsa Timur, nilai reilgius dan kesantunan mestinya sudah mendarah daging dari generasi ke generasi. Namun, agaknya faktar berbicara lain, Bung. Nilai2 luhur semacam itu agaknya sudah tereduksi oleh berbagai faktor dinamika zaman itu sendiri, bahkan pendidikan di dalam lingkungan keluarga pun agaknya juga telah mengelami pergeseran2 budaya. Tidak sedikit kan Bung Yari sekarang anak2 yang tidak hormat lagi pada orang tua?

    Ya, ya, ya, :mrgreen: kalau lebih mementingkan kecerdasan intelektual, kenapa juga tidak berdampak pada aspek2 kehidupan yang langsung berkaitan dengan akal dsan penalaran? Ya, ini pertanyaan menarik, Bung Yari. Tanpa bermaksud mengambinghitamkan rezim ORBA, tampaknya kemunduran dunia pendidikan sudah mulai terasa. Demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, nilai humaniora mulai disingkirkan. Ironisnya, penanaman nilai2 intelektual, akal, dan penalaran cenderung hanya kamuflase. Yang dikejar bukan substansi dan proses, melainkan hasil. Hal itu diperburuk dengan ujian yang terus bermasalah dari tahun ke tahun bahkan hingga sekarang. Bagaimana mungkin nilai2 intelektual bisa tumbuh dengan baik kalau model ujian hanya sekadar hafalan dengan soal2 pilihan ganda. Ini baru satu persoalan, belum ke soal2 yang lain, mulai dari sarana-prasarana, kompetensi guru, hingga kurikulumnya.
    *Maaf,kebanyakan nih, Bung Yari*
    OK, makasih, Bung Yari, salam.

    @ mbelgedez:
    Hahahaha 😀 Itu artinya Mas Mbel dah mengambil jalur lurus, eh, jalan yang benar. Emang ada kalanya anak perlu dijewer kalau memang perilakunya ada yang salah, tapi juga perlu diberi reward kalau perilakunya OK dan berprestasi.
    Syukurlah Mas Mbel kalau memang dengan cara semacam itu membuat anak-anak kita jadi baik.
    OK< makasih, Mas, salam.

    @ Xaliber von Reginhild:
    Ya, ya, ya. menurut hemat saya sih, guru masih memegang peranan yang amat penting. Sehebat apa pun kemajuan teknologi, peran guru tidak dapat tergantikan. Oleh karena itu, kalau guru benar2 mampu menerapkan inovasi pembelajaran secara menarik dan menyenangkan, saya kira, siswa pun akan lebih enjoy, terbuka, dan interaktif.
    OK, makasih juga, Bung, salam.

  17. pendidikan dan masyarat sudah berpisah bertahun2 namun tradisi ini terus dipertahankan oleh generasi demi generasi…
    arghhhh sayah pengen jadi guru aja ah
    😆

  18. @ almascatie:
    Ya, ya, ya, kayaknya begitu, ya, Mas. Padahal, sekarang ini lagi dikembangkan model manajemen pendidikan berbasis sekolah dan berbasis masyarakat. Artinya, antara sekolah dan masyarakat harus bisa bersinergo dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Wah, kalau dah terpisah-pisah, bisa jadi repot, tuh. Yak, mudah2an saja model manajemen yang sekarang tengah dikembangkan bisa mencapai tujuan dan sasarannya. OK, Makasih masukannya Mas Almas, salam.

  19. Again, and again… Nice posting, sir… 😀

    Nah ini yang jadi masalah juga, pak, menurut saya. Ketika guru menawarkan metode untuk lebih terbuka dan bukan teacher-oriented lagi, murid malah memilih metode kuno yang cenderung “memaksa” mereka untuk iya-iya aja kalau guru lagi bicara.
    Sebenarnya ini muridnya yang memang ngga beres atau ada bagaimana?

    IMO, ini karena ketidaksiapan murid yang sudah terbiasa didoktrin dengan mazhab bahwa guru yang banyak biacara, tiba-tiba dijejali mazhab baru bahwa murid harus aktif. Semisal ketika SD dan SMP, diberlakukan mazhab teacher-oriented, lalu ketika SMA ditawarkan mazhab baru yaitu student-oriented, murid saya rasa nggak benar-benar siap!

    Menurut saya, generasi yang sudah sedari awal mekakai mazhab student-oriented tidak akan memuntut, ah, yang namanya teacher oriented itu.

    …istilahnya ya, susah menetralisir racu yang udah lama ditanam di otak. :mrgreen:

  20. Duh, banyak salah ketik pak. 🙁
    …maklum, tengah malam. Ngantuk.

    biacara = bicara
    mekakai = memakai
    memuntut = menuntut
    racu = racun

    Yak, sekian. 😀

  21. @ rozenesia:
    Yak, pendapat Mas Roze saya kira tidak salah. Sulit memang melakukan perubahan terhadap kebiasaan yang sudah membudaya di kalangan siswa. Tapi, saya masih punya keyakinan, kuncinya masih terletak pada faktor guru. Jika gurunya siap untuk melakukan perubahan dengan sikap konsisten, amanah, dan mampu memberikan teladan, saya kira para murid akan lebih mudah untuk bersama-sama melakukan perubahan. OK, makasih,

  22. salam kenal pak,

    Apa betul pak, bahwa tujuan “Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal dan penalaran” telah tercapai.

    Kalau sudah mengapa sampai hari ini kita tidak mandiri, khususnya secara ekonomi, masih tergantung dari banyak negara lain. Belum punya produk sendiri yang dibanggakan bahkan banyak yang jadi TKI.

    Saya takutnya, kedua-duanya belum tercapai. Pendidikan hanya sekedar mendapat selembar ijazah, tapi belum mampu mengubah paradigma mental anak-anak didik.

    Indikasinya, masih banyak pendidik yang belum bangga dengan profesinya, bahkan ada yang menerima upah sama dengan buruh. Guru menjadi profesi terakhir yang dipilih dan sebagai penghiburnya adalah itu adalah tugas mulia itu adalah amanah.

    apa harus begitu ya pak Sawali.

  23. @ dbrot:
    Hahahaha 😀 Komen senada juga disampaikan oleh Bung Yari, Pak.
    Yak, tanpa bermaksud mengambinghitamkan rezim ORBA, tampaknya kemunduran dunia pendidikan sudah mulai terasa. Demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa, nilai humaniora mulai disingkirkan. Ironisnya, penanaman nilai2 intelektual, akal, dan penalaran cenderung hanya kamuflase. Yang dikejar bukan substansi dan proses, melainkan hasil. Hal itu diperburuk dengan ujian yang terus bermasalah dari tahun ke tahun bahkan hingga sekarang. Bagaimana mungkin nilai2 intelektual bisa tumbuh dengan baik kalau model ujian hanya sekadar hafalan dengan soal2 pilihan ganda. Ini baru satu persoalan, belum ke soal2 yang lain, mulai dari sarana-prasarana, kompetensi guru, hingga kurikulumnya.
    Pendidikan kita jadi nggak jelas arahnya lagi, Pak. Kecerdasan intelektual pun masih jauh dari harapan, padahal itu yang diprioritaskan di negeri ini. Yang diprioritaskan aja masih kayak gitu, apalagi yang nggak dilirik, hehehehe :mrgreen: Yak, mudah2an aja dunia pendidikan kita ada perubahan, Pak.
    Mengenai banyaknya pendidik yang belum bangga, agaknya itu juga terkait dengan martabat guru dalam strata sosial masyarakat kita yang meredup pamornya. Generasi sekarang pun agaknya hanya ingin menjadi guru karena susah cari kerjaan lain :mrgreen: Serba susah jadinya.
    OK, salam, makasih, Pak, kunjungannya.

  24. Dunia pendidikan yang sudah dicekokin oleh negara untuk tujuan tertentu. Didoktrinasi dengan muatan politis. Sayang deh, Pak.

    Tapi ini kenyataan.

  25. @ Dewa Dewi:
    Begitulah susahnya kalau dunia pendidikan sudah direduksi oleh muatan2 politik. Dunia pendidikan jadi kacau.
    OK, makasih, Mbak.
    *Oh, ya, selamat, ya, Mbak, blognya masuk pada nominasi sebagai blog pendatang baru favorit. Mudah2an bloggernya bisa jadi yang terfavorit dalam Pesta Blogger 2007.*

  26. edo

    Di tengah situasi dan kondisi Indonesia yang masih silang-sengkerut akibat konflik dan krisis multidimensi, sudah saatnya dunia pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan katharsis peradaban yang sakit.</p

    nah, itulah masalahnya pak. jadi inget omongan teman, ada 3 departemen di negara tercinta ini yang seharusnya jadi pilar pembangunan, tapi justru jadi tempat yang pantas jadi tempat lempar jumroh : depdiknas, depag, dan depkes 🙁

    tapi tetep semangat kan pak? apapun alasannya, dengan segala pesimisme kita, tetap butuh orang-orang yang konsisten seperti pak sawali untuk tetap berada di area ini 🙂

  27. @ edo: hehehehehe 😀 Weleh3x ada 3 departemen yang layak jadi tempat lempar jumrah. Korup dong, Pak. Ya, Pak Edo, bagaimanapun juga kita harus tetap semangat 45, hehehe 😀 Ok, Pak, salam.

  28. ary&slamet

    memang terus terang hati saya sakit jika melihat kenyataan dalam dunia pendidikan saat ini. oleh karena itu saya sangat berharap opini dari sistem pendidikan di SMP QORYAH THOYIBAH untuk menemukan problem solving dalam dunia pendidikan di indonesia saat ini

  29. zul

    pendidikan sekarang yang sangat berorientasi kepada output produk industri mengakibatkan terabaikannya sisi pengembangan moral. Pendidikan yang seharusnya melahirkan insan paripurna menjadi tertutupi oleh hegemoni kapilistik. Sistem pendidikan yang selalu berubah-ubah juga menjadi satu maslah tersendiri.

    terima kasih informasinya, salam

    http://www.zulcenter.wordpress.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *