Sang Primadona

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Dada Tarmi naik-turun. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Kehadiran Surtini benar-benar membikin hatinya gerah. Sudah hampir sepuluh tahun ia malang melintang di dunia ketoprak tobong, belum pernah seorang pun yang mampu menggeser perannya sebagai rol dalam sebuah lakon. Yang membikin hatinya makin masygul, tidak ada seorang pun yang berupaya melakukan pembelaan-pembelaan. Betapa tidak sakit hati kalau tiba-tiba saja ia dicampakkan begitu saja, dibuang ke tong sampah.

Terbayang setiap kali pentas, ia bisa menghibur dirinya di tengah himpitan hidup yang berat dan sumpek. Ia bisa dengan mudah melupakan segala thethek-bengek urusan hidup yang serba ruwet. Baginya, panggung pertunjukan adalah istana yang mampu melambungkan mimpi-mimpi hidup yang serba enak dan menghanyutkan. Ia bisa dengan mudah memerankan permaisuri raja yang agung, putri istana yang cantik dan dimanjakan, pahlawan wanita yang dipuja banyak orang, pendekar yang dikagumi, atau bidadari yang dikelilingi banyak dayang. Tapi, kini kebahagiaan itu raib sudah. Tarmi menyedot napas panjang. Terasa benar, tenggorokannya amat berat seperti terganjal beban yang menyumbatnya.

Mengandalkan hidup sebagai pemain ketoprak tobong memang sangat tidak menjanjikan. Upah lima ribu rupiah sekali pentas hanya cukup sekadar pengganjal perut. Itu pun tidak setiap hari bisa didapatkannya. Bangku penonton sering sepi. Hanya diisi oleh beberapa gelintir orang yang rata-rata berusia tua. Menjamurnya hiburan murah di layar televisi telah membikin para penduduk malas beranjak keluar rumah. Para orang tua lebih suka memanjakan anaknya dengan imaji kemewahan dan kekerasan lewat tokoh-tokoh film, sinetron, atau telenovela yang kurang “membumi”.

***

Pentas ketoprak tobong benar-benar hampir sekarat. Loket karcis nyaris tak pernah dijamah sentuhan tangan para penduduk, kotor oleh timbunan debu. Triplek tobong sudah banyak yang bolong-bolong, banyak tiang penyangga yang hampir ambruk. Panggung pertunjukan pun sudah tidak layak untuk jingkrak-jingkrak para pemain. Sudah terlalu sering panggung dan tobong itu mengalami bongkar-pasang, dihajar panas dan hujan, beralih dari satu desa ke desa yang lain, dari satu kota ke kota yang lain. Makin lama makin keropos.

Meskipun demikian, semangat dan darah kesenian agaknya terus mengalir ke dalam tubuh para pemain. Mereka tak pernah surut dalam menghidupkan roh pementasan. Ditonton penduduk atau tidak, pertunjukan jalan terus. Apalagi, Bos Sadeli terus memutar otak untuk menghidupi pementasan dan perut para pemainnya. Lelaki separuh baya itu memang betul-betul memiliki kesetiaan luar biasa terhadap kelestarian seni ketoprak. Hampir sebagian besar keuntungan usaha mebelnya dikucurkan untuk membantu kelangsungan pementasan grup ketoprak yang sudah berusia hampir dua dasawarsa itu. Meski Bu Tarti, istrinya, pernah marah-marah, tapi Bos Sadeli tetap bergeming. Dengan segenap kelincahan dan kecerdikannya, ia berhasil menundukkan keangkuhan istrinya yang masih tampak sintal itu. Bahkan, kini istrinya mendukung penuh langkah suaminya dalam menghidupkan pertunjukan.

Dukungan istri Bos Sadeli ternyata membikin warna pertunjukan berubah. Para pemain lama yang dinilai sudah tidak layak pentas digeser, diganti pendatang baru yang dinilai mampu menarik penonton. Dagelan yang sukses mengocok perut penonton direkrutnya. Para niyaga dan waranggana dilatih rutin untuk mampu tampil maksimal dalam mengatur irama pertunjukan. Sutradara dan penulis naskah pun tak luput dari perhatian Bos Sadeli. Alur cerita dan penggarapan kisahnya menjadi lebih menyetuh perasaan penonton. Selain itu, layar yang menjadi setting pertunjukan diganti lebih gemerlap, berlapis-lapis. Dan yang cukup mencengangkan, Bos Sadeli telah berhasil mendirikan gedung pertunjukan yang kokoh dan mentereng.

Kini, para pemain tidak lagi direpotkan harus pontang-panting, pindah dari satu tempat ke tempat lain. Untuk tinggal, mereka dibuatkan asrama sederhana di belakang gedung pertunjukan. Sebuah perubahan drastis yang jarang terjadi.

Gedung pertunjukan yang memadai, penggarapan kisah yang menarik, pemain yang berkarakter, dagelan yang kocak, panggung pertunjukan yang kokoh, garapan gending yang rancak dan berirama manis, maupun properti yang komplit, ternyata mampu menyedot animo penonton. Hampir setiap pentas, bangku penonton terisi penuh. Loket antre. Keuntungan terus mengalir ke kantong Bos Sadeli. Suasana gedung pertunjukan menjadi hidup. Apalagi, ketika mereka menyaksikan akting Surtini yang menggemaskan. Perempuan pendatang baru itu benar-benar tengah menjadi sang primadona. Ia seperti memancarkan pamor yang menerangi panggung. Lakon apa saja berhasil ia perankan dengan akting dan vokal yang nyaris sempurna. Rambutnya yang panjang tergerai, tubuhnya yang sintal semampai, wajah bulat telur dengan dagunya yang indah menggantung di bawah lesung pipitnya seakan mampu menaburkan aroma wangi yang menyembur-nyembur di bangku para penonton. Menghanyutkan.

Perubahan itu membikin hati Tarmi cemas. Nasibnya di grup itu makin tidak menentu. Perempuan yang suka tampil menor dengan taburan make-up berlebihan itu sering didapuk sebagai emban dengan peran seadanya. Ia merasa iri sekaligus dipinggirkan. Impiannya untuk menjadi seorang primadona yang diberi aplaus penonton, yang bisa menghidupkan gairah dan darah seninya di atas panggung seakan-akan telah berakhir.

Bos Sadeli dianggap telah berbuat tidak adil. Ketika grupnya terancam gulung tikar, Tarmi begitu setia meski dijadikan “sapi perah” untuk memikat hati penonton. Tapi ketika grup ini mampu menyedot penonton, tiba-tiba saja ia dibuang ke tong sampah. Huh, ini benar-benar tidak adil, protesnya dalam hati. Ia sering mengobral pergunjingan dengan sesama temannya, tapi mereka bersikap dingin. Cuek. Ia merasa tidak lagi dianggap sebagai pemain yang pantas diperhatikan. Untuk mengadu langsung kepada Bos Sadeli, sama sekali ia tidak memiliki keberanian. Hanya Mak Ginah, perempuan yang mulai tua dimakan usia yang selalu didapuk sebagai emban, yang dianggap memperhatikan dirinya. Itu pun hanya sebatas nasihat untuk pasrah menerima nasib.

“Sudahlah, Tarmi, kalau kita hanya cocok berperan sebagai emban, kenapa kita harus protes? Setiap orang punya peran sendiri-sendiri. Banyak orang yang ingin berperan sebagai raja atau ratu, toh tidak semuanya berhasil. Malah sering mengacaukan pertunjukan. Biar kita hanya sebagai emban, kalau kita perankan dengan segenap hati dan perasaan, pertunjukan bisa menjadi lebih hidup! Emban itu tak kalah menarik diperankan meski dibandingkan dengan permaisuri!”

“Tapi, Mak! Pak Sadeli telah berlaku tidak adil. Aku sudah bertahun-tahun menjadi rol dengan imbalan seadanya, lha kok tiba-tiba diturunkan begitu saja justru ketika ramai penonton! Apa tidak keblinger itu?”

Mak Ginah dapat memahami perasaan Tarmi, tapi tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap wajah Tarmi yang suntrut dan berkabut.
***

Malam itu penonton kembali berjubel. Tepuk tangan dan suit-suit penonton tak henti-hentinya bergema, menggoyang gedung. Apalagi lakonnya mengangkat kisah percintaan Rara Mendut dan Pranacitra yang melegenda itu. Para penonton tampak hanyut mengikuti alur cerita. Mereka makin terpesona saat menyaksikan akting Surtini. Perempuan muda bertubuh sintal itu seperti benar-benar menjelma menjadi Rara Mendut yang sesungguhnya. Gerakan bibirnya yang merekah saat menyedot rokok, liukan tubuhnya yang lentur dan lincah saat menolak rayuan Tumenggung Wiraguna, atau vokalnya yang menggemaskan saat mendendangkan gending-gending asmara bersama Pranacitra, melambungkan khayal penonton ke tempat yang jauh. Aplaus dan tepuk tangan berkali-kali membahana. Namun, semua itu seperti ledakan bom yang meluluhlantakkan hati dan perasaan Tarmi.

Tidak seperti biasanya, kali ini Tarmi didapuk menjadi istri Tumenggung Wiraguna. Ketika tampil di panggung, pikirannya terpecah. Di layar benaknya hanya muncul bayangan Surtini yang dianggap telah merampas kebesaran namanya. Tapi, tepuk tangan penonton makin riuh ketika ia melabrak Surtini dengan amarah dan emosi yang memuncak. Ia dianggap berhasil memerankan istri Tumenggung Wiraguna dengan baik.

Panggung tiba-tiba berubah muram dan tegang. Penonton terhenyak. Mereka melihat adegan istri Tumenggung Wiraguna dengan emosi yang meledak-ledak menjambak rambut Rara Mendut yang panjang tergerai. Surtini mengaduh kesakitan, tapi sia-sia. Tarmi makin kuat menjambaknya. Bahkan, ia memaki-maki dengan kata-kata kotor, menyumpah-nyumpah.

Tarmi makin kalap. Rambut panjang Surtini dipilin-pilin, lantas dengan kekuatan penuh tubuh Surtini dibanting, terjerembab di atas panggung. Surtini terpekik dahsyat. Tarmi masih terus berakting. Wajahnya garang dan liar. Dengan bola mata menyala-nyala, tiba-tiba Tarmi melolos sebuah pisau, lantas dengan kecepatan tak terduga dihunjamkan ke perut Surtini. Darah segar menyembur-nyembur membasahi panggung. Penonton menjerit, riuh, kacau. Beberapa orang berlari menuju panggung, menjinakkan keganasan Tarmi yang masih terus menghunjamkan pisaunya ke tubuh Surtini.

Alur kisah berlangsung di luar skenario. Kematian Rara Mendut bukan lantaran bunuh diri, melainkan dihabisi oleh istri Tumenggung Wiraguna. Tubuhnya tergeletak mengenaskan di atas panggung dengan luka arang keranjang. ***

AddThis Social Bookmark Button

Comments

  1. mengenaskan…
    saya kok seperti melihat cerminan nasib sebuah bangsa yang tak rela kejayaannya dirampas, bukan karena ia buruk, tapi sebab keegoisan dan keengganan untuk mau berubah sesuai tuntutan jaman.

    akankah bangsa itu menjadi bangsa yang bersahaja, arif menghadapi berbagai situasi dan wibawa dalam bertindak?

  2. Wah, ini tragedi juga ya pak Sawali?
    Tragedi di sebuah pertunjukkan panggung yang berakhir mengejutkan dan di luar skenario, juga tragedi karena himpitan hidup akibat perubahan zaman.
    Saya tidak mengerti ya pak Sawali, kenapa kita (termasuk saya mungkin! :mrgreen: ), kurang bisa menghargai kebudayaan tradisional kita sendiri? Apakah karena pertunjukkannya sendiri tidak bisa fleksibel sesuai dengan tuntutan zaman atau ada faktor2 lain??
    Di Eropa misalnya, pertunjukan opera yang juga umurnya sudah berabad2 lamanya yg juga merupakan termasuk pertunjukan tradisional Eropa bisa survive di zaman serba pop ini! Mungkin karena opera bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman yang melahirkan opera2 modern.
    Mungkin dalam menentukan nasibnya, kesenianlah yang mungkin harus menyesuaikan diri dengan zamannya atau paling sedikit harus diadakan inovasi2 baru, tapi apakah kalau sudah diadakan inovasi2 baru, apakah masih bisa disebut kesenian tradisional ya????

    Ah pusing…. lagi2 lingkaran setan! :mrgreen:

  3. …Lelaki separuh baya itu memang betul-betul memiliki kesetiaan luar biasa terhadap kelestarian seni ketoprak.

    Salut buat si bos itu bang, dia bertahan dengan swadaya, swakarya dan swapikir. Kadang kreasi hebat itu karena keterpurukan. Rasanya para pengambil keputusan bangsa ini mesti belajar dari sang bos ini, bagaiman cara memutar otak, sehingga otak mampu bergerak.

    Cerita ini sungguh menganaskan namun pula bisa diambil pelajaran bahwa emosi. sekali lagi emosi… akan meluluhlantakkan segala daya upaya.. Namun sayangnya kenapa selalu emosi itu dilambangkan oleh tubuh-tubuh perempuan…

    Menurut saya mungkin karena perempuan dibuat tidak adil, atau juga memang perempuan selalu dinomor sekiankan… Padahal salah satu yang dicintai Nabi saw di dunia ini adalah perempuan…

    Dalam cerita itu bukankah perempuan dilambangkan serba menarik:

    Rambutnya yang panjang tergerai, tubuhnya yang sintal semampai, wajah bulat telur dengan dagunya yang indah menggantung di bawah lesung pipitnya seakan mampu menaburkan aroma wangi yang menyembur-nyembur di bangku para penonton. Menghanyutkan.

    🙂 nice telling sir…

  4. kembali, cerita yang menarik pak Guru 😉
    ternyata iri hati, dengki, sirik, dan tidak bisa menerima perubahan, ujung-ujung-nya bakalan buruk ya 🙄
    *sebuah pencerahan yang bagus buat di-cerna*

  5. @ pratanti:
    Penafsiran teks cerpen yang bagus nih dari Mbak Pratanti. Bisa jadi memang begitu, Mbak. Sosok Tarmi memang bisa ditafsirkan sebagai gambaran nasib bangsa kita yang tak rela kejayaannya dirampas. Ya, Sikap egois dan ingin mempertahankan status quo. Ya, ya, ya, tepat sekali kalau negeri ini memang sulit maju karena banyaknya pejabat yang egois dan nggak mau menerima perubahan seperti yang tercermin dalam karakter Tarmi :mrgreen:
    Makasih, Mbak, penafsiran Mbak Pratanti Ok banget nih.

    @ Yari NK:
    Hahahaha 😀 Ironi betul Bung Yari nasib seni tradisi di negeri ini. Apa mungkin karena negeri ini sedang mengalami masa transisi, ya, sehingga belum menemukan cara yang tepat untuk menghadapi situasi anomi semacam itu. Tradisi masih hidup, meski kembang-kempis, sementara nilai modern dan global juga tak henti2nya menyerbu. Lain dengan Eropa atau negeri maju lainnya kalai ya, Bung. Negeri2 yang sudah mapan dan maju justru perhatiannya terhadap seni tradisi makin hebat. Mereka bisa “mengawinkan” nilai2 tradisi dan modern dengan bagus sehingga seni pertunjukan menjadi sebuah pentas yang menarik dan menghibur.
    Ya, ya, ya, lingkaran setan lagi, yang, Bung Yari, hehehehe 😀
    OK, makasih Bung Yari.
    *Siap2 cari obat untuk mengurangi pusingnya Bung Yari, hehehe 😀 *

    @ kurtubi:
    Ya, negeri ini memang butuh figur seperti BOS Sadeli yang dengan amat sadar mau merevitalisasi dan menghidupi seni tradisi. Bukan hidup dari seni, melainkan menghidupi seni. Karakter seperti itu yang agaknya masih langka di negeri ini, ya, mas Kurt.
    Tentang emosi? Ya, ya, ya, amarah dan emosi ternyata bisa menghilangkan akal sehat. Mengapa perempuan? Sebenarnya saya tidak ingin mengeskploitasi perempuan. saya termasuk lelaki yang sangat menghargai dan menghormati kaum perempuan. Kebetulan saja yang bermain dalam setting ini perempuan. Bukan berarti bahwa perempuan nggak bisa mengontrol emosa, lho, ya? Dalam konteks ini saya kira lelaki dan perempuan sama saja, hehehehe 😀
    OK, makasih Mas Kurt ya komentarnya yang OK punya. Salut.

    @ extremusmilitis:
    Ya, ya, ya, tepat sekali Bung Militis. Iri hati, dengki, sirik, dan tidak bisa menerima perubahan, ujung-ujung-nya bakalan buruk seperti tercermin dalam tokoh Tarmi itu. Sebuah cerita fiksi memang untuk menafsirkan berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kita. Sebagai media refleksi untuk manafsirkan anasir2 kehidupan yang tampak di permukaan.
    OK, makasih Bung Militis atas apresiasinya.

    @ mathematicse:
    Oh, begitu, Pak Jupri, ya? Padahal saya sama sekali nggak kepingin menggurui pembaca lho. saya malah lebih senang kalau pembaca memiliki penafsiran2 tersendiri, tidak terbelenggu sebatas tekstualnya saja.
    OK, Pak Jupri, makasih, yak.

  6. Wah, bagus nih cerpennya pak, mengalir tanpa beban.

    Dan saya melihat makna kehidupan dalam jalan ceritanya, sebuah nasehat agar kita nggak usah terlalu ngoyo, tapi bersyukurlah atas apa yang kita peroleh. Ndak usah iri atas perolehan orang lain, sebab toh semua ada jatahnya. Sebab ketidah syukuran yang melahirkan iri dan dengki akan berujung pada bencana.

  7. @ danalingga:
    Yak, makasih Mas Dana atas apresiasinya. Begitulah mungkin Mas dinamika kehidupan manusia. Kalau dipenuhi rasa iri, dengki, dan tidak senang melihat orang lain sukses, yah, seperti Tarmi itu, hehehehe :mrgreen: Kehadiran orang lain selalu dianggap sebagai “kerikil” yang harus disingkirkan. OK, makasih sekali lagi, Mas Dana.

  8. Tragis…
    Kaya kisah nyata, pak. Mungkin nasib yang dialami Surtini juga terjadi di kalangan selebriti kita. Bedanya di belakang panggung. Mereka saling membunuh, mematikan dengan caranya masing-masing demi satu ketenaran.

    Selalu ingin membaca cerpen bapak. Imajinasinya tinggi.
    Gambaran kisah dan tokohnya jelas dan detail. Salut, pak.

  9. @ hanna:
    Kaya kisah nyata? Ya, masa kecil saya memang akrab dengan seni tradisional dan itu terbawa-bawa hingga saya berkepala 4, hehehe 😀
    Tapi sebagian besar hanya sekadar hasil rekayasa imajiner belaka, kok, Mbak. Tapi memang bisa menggambarkan persaingan di dunia “selebritis” pada umumnya, :mrgreen:
    OK, makasih apresiasinya, Mbak Hanna.

  10. Fenomena sosial yang dibalut dalam cerpen berunsur budaya. Saya suka. 😀

    Intinya dalam mengatasi problem seperti di dalam cerpen tersebut ya introspeksi diri, sayangnya banyak sifat buruk yang menutup mata hati untuk mau berubah…. ^^;

  11. “Sudahlah, Tarmi, kalau kita hanya cocok berperan sebagai emban, kenapa kita harus protes? Setiap orang punya peran sendiri-sendiri. Banyak orang yang ingin berperan sebagai raja atau ratu, toh tidak semuanya berhasil. Malah sering mengacaukan pertunjukan. Biar kita hanya sebagai emban, kalau kita perankan dengan segenap hati dan perasaan, pertunjukan bisa menjadi lebih hidup! Emban itu tak kalah menarik diperankan meski dibandingkan dengan permaisuri!”

    😀 ah saya suka sekali dengan paragraf ini, mengingatkan peran dari masing-masing manusia, terkadang ada yang menjadi emban, namun menginginkan menjadi permaisuri, sungguh kekacauan akibatnya… :mrgreen: seandainya tiap emban sadar, bahwa untuk menjadi emban yang baik juga tidaklah mudah, karena dari emban yang baik akan muncul para pangeran dan putri raja yang mumpuni, apakah saya sok tau?? 😀

  12. @ rozenesia:
    Setuju banget Mas Roze. Introspeksi diri memang perlu, bahkan penting supaya tidak gampang menyalahkan atau mencari-cari kesalahan orang lain. Saya sekali ya, introspeksi diri di negeri ini masih terbilang mahal. Yang paling murah dan gampang itu ya mencari kambing hitam : OK, makasih.

    @ goop:
    Ya, ya, ya, Mas Goop bukan sok tahu. Memang kurang lebih begitulah penafsirannya, Mas. Kalau setiap orang menyadiri kedudukan dan posisinya masing-masing, mungkin keserakahan, mau menang sendiri, dan besar kepala *halah* bisa berkurang ya, Mas Goop. OK, makasih.

  13. tragis juga yah…..saya gak bisa ngomen banyak nih. soale memang kalau suruh ngomentari sesuatu saya ini ya paling bilang wah bagus, jelek dan sebagaimana gitu thok. gak bisa mengulas2 lagi.hehe

    jadi saya mau bilang kalau cerpen diatas ini “BAGUS BANGET” .

  14. Pertama, saya ingin mengucapkan maaf atas menghilangnya saya selama ini *halah…sok penting*

    Selanjutnya…
    Ehmm…maaf Pak, apakah Pak Sawali tidak melakukan kesalahan ketik? Sepertinya itu bukan Bos Sadeli melainkan Bos Sawali :mrgreen:

    Ehmmm… *lagi*
    Begitulah realitas sosial…akan selalu ada yeng menjadi “yang terpinggirkan” (terkorbankan???) dan “yang terganti” dari suatu proses perubahan…apapun bentuk perubahan itu.

    Setuju dengan Oom Dana tentang adanya pesan untuk tidak ngoyo karena DUNIA INI PENUH PERANAN*

    *) Kutipan lagu “Panggung Sandiwara” – Nicky Astria

  15. @ Bachtiar:
    Wah, makasih Mas Bachtiar, ya? Komen kan nggak harus banyak, hehehehe 😀 Mas Bachtiar dah membaca cerpen ini pada dasarnya kam mesti berkomentar mekipun tidak tertulis dalam bentuk postingan, hehehehe 😀 OK, makasih Mas nachtiar, ya!

    @ deKing:
    Wah, kehormatan bagi saya mendapatkan kunjungan dari Pakde King yang sedang hiatus. Memang saya sudah kangen dengan postingan dan komennya, Pak. Tapi, saya juga *halah* juga memakluminya, Pak. Belajar di negeri orang harus benar2 konsentrasi biar cepat rampung dengan prestasi yang bagus. OK, Pak, selamat belajar dan bekerja, semoga sukses, dan bisa secepatnya kembali ke tanah air.
    Yak, begitulah Pak, dinamika hidup manusia. Mestinya nggak usah ngoyo sehingga tidak iri dan dengki ketika orang lain sukses.
    OK, sekali lagi makasih Pakde King.
    Salam hangat dari Kendal, Indonesia.

  16. benbego

    ceritanya seperti cermin atau bayangan kondisi masyarakat kita sekarang ini, yang lama diganti yg baru, pegawai lama di phk, tanpa ada rasa sosial, KKN lah, nepotisme, seperti sudah membudaya.

    salam http://benbego.wordpress.com

  17. @ benbego:
    Oh, begtiu, ya, Mas. Yak, itulah kondisi negeri kita saat ini. Mungkin KKN dianggap sebagai jalan pintas untuk meraih sesuatu. Padahal, sebenarnya dengan cara semacam itu secara tidak langsung telah menciptakan aib bagi diri sendiri, hehehehe :mrgreen:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *