Mengapa Pamor Guru Meredup?

Sinyalemen tentang meredupnya pamor guru sebenarnya sudah lama terdengar, bahkan gaungnya masih sering menggema hingga sekarang. Sosok guru menjadi objek yang gampang mengundang perhatian, tanggapan, dan penilaian tersendiri dari berbagai kalangan. Hal ini sangatlah beralasan, sebab gurulah yang berada di garda depan dalam “barikade” pendidikan sebagai pengajar, pembimbing, pelatih, dan pendidik yang langsung bersentuhan dan bergaul dengan peserta didik sehari-hari di sekolah. Gurulah yang dinilai sangat dominan dalam mewarnai “kanvas” pendidikan. Tidaklah berlebihan jika terjadi sesuatu yang tidak beres dalam gerak dan dinamika pendidikan, orang beramai-ramai menuding guru sebagai biangnya.

Keberadaan guru kalau boleh ditamsilkan seperti lampu bangjo. Kehadirannya sangat penting dan amat dibutuhkan untuk memperlancar arus lalu lintas. Ketika guru mampu menjalankan tugasnya dengan baik, profesional, penuh dedikasi, disiplin, kreatif, inovatif, wibawa, dan mumpuni di bidangnya, orang menganggap hal itu sebagai hal yang biasa, bahkan menjadi sebuah keniscayaan. Ya, memang seharusnya dalam menjalankan tugas-tugas profesinya, guru harus memiliki landasan idealisme semacam itu. Lampu bangjo pun akan diperlakukan seperti itu. Tak seorang pun pengendara yang akan berteriak-teriak ketika lampu bangjo berfungsi dengan baik. Namun, ketika sang guru melakukan penyimpangan dan kesalahan sedikit saja, hal itu dianggap sebagai noda dan “dosa” tak terampuni. Gugatan dan hujatan pun terus mengalir (nyaris) tanpa henti. Hampir sama dengan para pengendara yang berteriak-teriak, bahkan mungkin mengumpat, ketika lampu bangjo mati.

Secara jujur memang harus diakui, apresiasi masyarakat terhadap profesi guru pun mulai berkurang. Pamor guru makin meredup di tengah atmosfer peradaban yang gila dan kacau. Gurulah yang harus menanggung beban ketika mutu pendidikan merosot, meruyaknya perkelahian antarpelajar, merajalelanya dekadensi moral dan involusi budaya, atau kian keringnya aplikasi nilai-nilai kesalehan hidup di atas panggung kehidupan sosial.

images-guru.jpgPersoalannya sekarang, mengapa pamor guru meredup? Mengapa sosok yang selalu disanjung puji dan dielu-elukan lewat lirik “Hymne Guru” –yang benar diciptakan oleh Sartono atau T. Prawit, ya? Mungkin pakar “telematika” kita siap untuk membuktikan “kesaktian”-nya lagi? :mrgreen: –bagaikan “pelita dalam kegelapan” itu seakan-akan sudah tak berdaya lagi menghadapi arus budaya global yang demikian dahsyat menggerus nilai-nilai luhur hakiki? Mengapa guru tidak lagi menjadi profesi yang membanggakan, bahkan konon guru hanya tinggal menunggu saat-saat kematiannya? Bisa jadi masih ada setumpuk tanda tanya yang bisa ditimbun untuk mempertanyakan keberadaan guru yang makin tersisih oleh dinamika dan hiruk-pikuk zaman.

tawuran-pelajar.jpgBanyak fakta yang bisa diungkap untuk menggambarkan bahwa saat ini profesi guru benar-benar tengah mengalami degradasi nilai yang cukup serius. Kasus guru disatroni muridnya saat pembagian rapor atau pengumuman kelulusan, stigma guru sebagai pembual dan penjual kecap di kelas, atau kasus guru nyambi yang menelantarkan murid-muridnya, merupakan deret keprihatinan yang layak direnungkan dan dicari penyebabnya, sehingga bisa ditemukan solusinya. Jika kondisi semacam itu terus dibiarkan, jelas sangat tidak menguntungkan bagi citra dan kredibilitas guru sebagai figur yang dijuluki sebagai “pahlawan butuh tanpa tanda jasa” itu.

Dalam penafsiran awam saya –yang kebetulan berprofesi sebagai guru *halah, masak jeruk makan jeruk, hehehehe 😀 * — ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab meredupnya pamor guru. Pertama, terjadinya pergeseran nilai, etika, moral, dan budaya akibat kuatnya arus modernisasi dan globalisasi yang melanda masyarakat kita. Tayangan film yang mengintrodusir adegan-adegan kekerasan, brutal, sadis, dan berbau porno, baik melalui tayangan TV maupun media hiburan yang lain, setidak-tidaknya telah ikut memicu munculnya sikap agresif, sadis, dan brutal, kering dari sentuhan nilai kemanusiaan dan kearifan dalam kepribadian pelajar kita. Imbasnya, mereka tidak peduli lagi batas-batas kesopanan, kesusilaan, dan tata krama, sehingga berakibat pada menurunnya rasa hormat terhadap guru mereka sendiri.

tawuran2.jpgKedua, mulai tumbuhnya sikap permisif (serba boleh) di sebagian besar masyarakat kita terhadap segala macam bentuk perilaku kejahatan, amoral, dan anomali sosial. Kasus-kasus semacam penodongan, perampokan, pemerkosaan, korupsi, manipulasi, dan “antek-antek”-nya dinilai sebagai kasus yang wajar terjadi di tengah peradaban gila dan kacau ini. Akibatnya, masyarakat yang diharapkan dapat menjadi kekuatan kontrol terhadap segala perilaku menyimpang menjadi lemah. Masyarakat hanya sekadar melimpahkan tanggung jawabnya kepada pihak yang berwenang saja. Demikian juga masyakarat kita dalam memandang perilaku menyimpang yang melanda pelajar kita. Masyarakat kita *yang pasti tidak semuanya demikian lho, ya* telah menganggap sebagai hal yang galib terjadi jika seorang pelajar merokok atau tidak hormat lagi kepada guru atau orang tua.

Ketiga, masih kuatnya anggapan bahwa guru adalah pribadi yang harus selalu tampil perfeksionis, tanpa cacat dan cela, berbudi luhur dan mulia bagaikan seorang resi yang hidup di sebuah institusi pertapaan tempoe doeloe yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk kepentingan kemanusiaan tanpa pamrih. Anggapan semacam itu justru menjadi “bumerang” bagi guru itu sendiri. Mereka jadi serba salah dalam bersikap dan bertingkah laku, sempit ruang geraknya, dan setiap sepak terjangnya selalu berada dalam bingkai sorotan dan pengawasan dari berbagai pihak.

Keempat, guru dinilai telah gagal menanamkan dan mengakarkan nilai-nilai luhur dan budi pekerti dalam jiwa siswa didik di sekolah sehingga menjadi brutal dan tak bermoral. Gurulah yang dinilai paling bertanggung jawab terhadap kegagalan itu. Penilaian semacam itu jelas akan menggiring publik luas pada opini bahwa guru bukan lagi sebagai profesi luhur yang senantiasa menjadikan dedikasi, loyalitas, dan berjuang tanpa pamrih sebagai basis pengabdiannya.

Kelima, memudarnya wibawa guru di mata peserta didik. Banyak pengamat menyatakan bahwa wibawa guru merupakan kata kunci untuk melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Pernyataan semacam itu jelas masuk akal sebab jika wibawa guru hilang, mustahil segala macam bentuk penanaman dan pengakaran nilai-nilai yang berlandas tumpu pada ajaran-ajaran luhur dan suci bisa diwujudkan secara riil oleh peserta didik.

Dan keenam, tingkat kesejahteraan guru yang dinilai masih timpang jika dibandingkan dengan beratnya beban dan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Alasan klasik inilah yang konon menjadi pemicu banyak guru yang nyambi di luar profesinya untuk menambah penghasilan. Akibatnya, proses belajar-mengajar jadi kacau dan tersendat-sendat, siswa didik berada dalam kondisi tidak siap belajar, hancur pula pamor sang guru.

Mengingat keberadaan guru begitu penting dan dibutuhkan dalam dunia pendidikan, maka sikap dan tindakan bijak dari berbagai pihak sangat diperlukan dalam menyikapi meredupnya pamor guru. Di pundak gurulah nasib anak-anak bangsa negeri ini dipertaruhkan. Jangan biarkan kondisi yang tidak kondusif menelikung tugas dan profesi guru. Orang tua, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemerintah yang dikenal sebagai pilar penyangga roda pendidikan, harus bersinergi, saling introspeksi, dan senantiasa memiliki “kemauan baik” untuk mengangkat pamor guru.

Paling tidak, ada empat agenda penting dan mendesak untuk menyelamatkan pamor guru agar mampu menjalankan kiprahnya sebagai “pencerah” peradaban. Pertama, perlu tindakan tegas terhadap berbagai media hiburan yang menafikan dan menihilkan sisi edukatif sehingga meracuni jiwa dan kepribadian pelajar kita. Tentu saja dengan cara yang arif dan persuasif, tidak dengan cara mengangkat pedang dan brutal yang tidak jauh berbeda dari cara-cara preman. Nihilnya hiburan-hiburan yang menyesatkan, paling tidak, sudah mampu ikut berkiprah membantu guru dalam menanamkan dan mengakarkan berbagai macam nilai kepada siswa didik.

Kedua, masyarakat harus mampu menjadi kekuatan kontrol terhadap segala macam bentuk tindak kejahatan dan tingkah amoral lainnya, termasuk kenakalan remaja. Hal ini sangat penting dan urgen untuk direalisasikan dalam tataran praksis, sebab anak yang terbiasa hidup dalam lingkungan yang sarat dengan tindak kejahatan, mereka juga akan belajar jadi penjahat.

Ketiga, perlu diciptakan sebuah imaji atau citra bahwa guru adalah manusia biasa yang tidak bisa luput dari khilaf dan dosa. Citra semacam itu justru akan mampu menumbuhkan sikap guru yang manjing-ajur-ajer, adaptif, mengabdi tanpa beban, dan merasa dimanusiawikan. Dus, tak perlu lagi dicitrakan sebagai sosok perfeksionis yang pantang berbuat salah. Ini tidak lantas berarti bahwa guru mesti ditolerir ketika melakukan kesalahan yang melawan hukum.

Keempat, pemerintah mesti benar-benar serius dan menepati janjinya yang telah memiliki “kemauan politik” untuk meningkatkan kesejahteraan guru seperti yang tertuang dalam UU No. 14 /2005 tentang Guru dan Dosen. Pemerintah tidak boleh setengah hati, apalagi menyiasatinya dengan Ujian Sertifikasi Guru yang pada kenyataannya justru menimbulkan masalah baru, bukan solusi jitu untuk menaikkan kesejahteraan guru.

Jika keempat agenda tersebut bisa diwujudkan dan diimplementasikan secara nyata, saya kira profesi guru yang selama ini telah terpuruk dan marginal di tengah kompleksnya tantangan peradaban akan kembali bangkit dan bersinar menerangi kegelapan. Nah, bagaimana? Mungkin ada pendapat lain? ***

Comments

  1. Pamor guru meredup karena BBM naik…
    Ada tak ada korelasinya, paksakan saja !.

    ooo
    hehehehe 😆 kayaknya ada juga tuh, pak mar 😥

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *