Ini sebuah peristiwa yang sungguh-sungguh menyentuh naluri religiusitas saya. Usai shalat ied, lantai masjid jebol. Untung tak ada korban. Mungkin masjid berbentuk panggung itu sudah terlalu tua sehingga tak kuat lagi menyangga beban. Maklum, masjid tua itu sudah berdiri sejak saya berusia 1 tahun, tepatnya tahun 1965. Kini, sudah berusia 42 tahun.
Peristiwa mengharukan itu terjadi ketika saya mudik lebaran, 13 Oktober yang lalu, di kampung kelahiran saya. Sebuah dusun sunyi yang (nyaris) tak tersentuh ingar-bingar modernisasi yang bising dan dinamis. Sebuah dusun yang dalam versi pemerintah Orde Baru bisa masuk kategori IDT (Inpres Desa Tertinggal). Dusun terpencil itu seperti tersekap dalam belenggu dimensi waktu. Dari tahun ke tahun hampir tak ada perubahan. Sikap hidup masyarakatnya lugu dan ramah, komunitas masyarakatnya begitu guyup dan rukun, serta masih sangat percaya pada tanda-tanda alam dalam menjalankan aktivitas agrarisnya yang mayoritas penduduknya hidup sebagai petani.
Perubahan yang tampak adalah kerusakan lingkungan yang sudah amat parah. Gersang dan tandus. Hutan sudah banyak yang gundul. Ketika kemarau panjang tiba, tanah seperti meledak. Sepanjang mata memandang, hanya tampak tanah kerontang lengkap dengan celah-celahnya yang keras dan meradang. Mata air amat sulit didapat. Jangankan untuk mandi dan mencuci, sekadar untuk minum saja, para penduduk harus rela ngantre berjam-jam lamanya di sumur-sumur milik warga yang masih berbaik hati menampung mereka. Sebaliknya, ketika hujan tiba, banjir bandang sering melanda Dusun Ploso, Desa Nampu, Kecamatan Karangrayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah ini. Bencana kekeringan dan banjir bandang itu sering digambarkan dalam sebuah idiom: “Yen ketiga ora bisa (maaf) cewok, yen rendheng ora bisa ndhodhok” (Kalau kemarau tidak bisa cawik –membersihkan najis—kalau musim penghujan tidak bisa jongkok –lantaran banjir bandang). Sebuah pasemon alias sindiran yang amat menyentuh nurani kemanusiaan kita.
Perubahan lain adalah kebiasaan anak-anak dalam memanfaatkan masjid akibat pengaruh budaya layar kaca dan pengaruh gaya hidup perkotaan setelah anak-anak muda yang merantau ke kota bersentuhan dengan nilai-nilai budaya urban.
*Kembali ke soal masjid. Sedikit flashback.*
Berdasarkan penuturan dari mulut ke mulut, konon pada tahun 1965, ketika G 30 S/PKI meletus, bentuknya masih berupa surau. Surau kecil itu dijadikan sebagai tempat mengungsi umat Islam dari ancaman orang-orang PKI yang terus memburu dan memusuhi orang-orang Islam. Orang-orang PKI tidak berani mendekati masjid berkat kharisma Kyai Mat Sadi, penyebar agama Islam di dusun Ploso dan sekitarnya, yang begitu disegani dan ditakuti oleh orang-orang PKI. Setelah PKI bubar, masjid semakin ramai dan tidak sanggup lagi menampung jumlah jamaah. Atas inisiatif Kyai Mat Sadi dan dukungan penduduk setempat, mereka sepakat untuk memugar dan mengembangkan surau menjadi sebuah masjid berbentuk panggung tanpa pondasi dengan menggunakan umpak dari balok kayu jati.
Dengan modal seadanya, masjid tersebut selesai dipugar pada tahun 1967. Setelah masjid berdiri, aktivitas warga masyarakat untuk menjalankan ibadah mulai meningkat. Masjid tidak hanya digunakan untuk menjalankan shalat, tetapi juga dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan syiar Islam, seperti dakwah/pengajian, madrasah, dan berbagai pertemuan para tokoh masyarakat untuk membahas berbagai masalah sosial.
Islam pun berkembang pesat di Dusun Ploso dan sekitarnya. Namun, seiring berjalannya waktu, kondisi masjid “Baitur Rahman” mulai keropos dimakan usia. Sebagian besar umpaknya sudah tampak lapuk akibat sering terlanda banjir. Umpak yang sudah tidak bisa digunakan diganti dengan kayu seadanya. Kondisi semacam itu diperparah dengan terjadinya peristiwa angin ribut pada hari Selasa, 25 Oktober 2005 pukul 16.55 WIB. Kejadian angin ribut itu membuat masjid “Baitur Rahman” mengalami rusak berat. Sebagian besar genting hancur, posisi masjid pun miring ke arah barat karena tidak adanya pondasi. Namun, berkat kerja sama semua jamaah dan warga masyarakat sekitar, masjid tersebut bisa dibenahi dan bisa digunakan untuk melakukan aktivitas peribadatan.
Berikut ini adalah gambar-gambar masjid yang saya ambil 6 bulan yang lalu.
Di masjid tua itulah saya waktu kecil belajar shalat dan mengaji. Tak ada ustadz. Saya dan teman-teman hanya diajari oleh mereka yang sudah dianggap khatam, terutama yang sudah selesai memasuki masa aqil baligh. Saya masih ingat betul, anak yang mau dikhitan harus khatam surat-surat pendek. Dari mereka yang sudah khatam itulah kami berguru dan belajar mengaji. Demikian juga setelah saya dikhitan, saya mempunyai “kewajiban” untuk mengajari anak-anak yang sedang belajar mengaji. Suara anak-anak yang sedang belajar mengaji seperti menggetarkan perkampungan yang sunyi. Sarat dengan suasana religius.
Masjid tua itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah, tetapi juga menjadi saksi sejarah tempat anak-anak menuntaskan naluri bermainnya. Main petak umpet, perang-perangan, bahkan tidur pun kami lakukan di sana. Tak ada anak-anak di rumah ketika malam tiba. Lantai masjid yang terbuat dari papan kayu jati itu pun tampak mengkilat lantaran sering digunakan untuk tidur, bermain, dan mengaji. Tak perlu repot-repot menyapunya. Itulah romantisme religius yang masih terus membayang dalam layar memori saya.
Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, romantisme religius itu berangsur-angsur menghilang ketika listrik masuk desa. Suara anak-anak mengaji tak terdengar lagi gemanya. Anak-anak lebih suka menghabiskan waktunya di depan televisi. Anak-anak yang akan dikhitan pun tak perlu harus khatam surat-surat pendek. Tak ada lagi anak-anak yang bermain, mengaji, dan tidur di masjid. Dusun seperti menjadi sebuah kampung mati. Masjid hanya diisi oleh orang-orang tua dan hanya dimanfaatkan untuk shalat berjamaah. Itu pun hanya ada beberapa gelintir orang saja. Lantai kayu masjid jadi tampak kusam. Bahkan, tahi ayam yang sudah mengering pun hampir tak ada lagi yang peduli untuk membersihkannya.
Sementara itu, anak-anak muda (hampir) tak ada yang tersisa di kampung. Rata-rata mengadu nasib di kota. Mereka pulang ketika lebaran tiba. Suasana pun berubah. Dengan gaya urban, anak-anak muda yang pulang dari perantauan itu mengubah gaya hidup. Potongan rambut dan pakaian yang mereka sadap dari kota menjadi ajang pamer kesuksesan. Pemandangan semacam itu seolah-olah telah memberikan imaji “kesuksesan” bagi anak-anak. Masa muda tak akan bermakna tanpa merantau ke kota. Setiap lebaran tiba, masjid tidak semata-mata digunakan untuk shalat Ied berjamaah, tetapi juga menjadi ajang pertemuan, menjalin silaturahmi, pamer kesuksesan, dan juga tempat berpadunya berbagai macam karakter orang-orang kampung, mulai anak-anak hingga orang tua. Masjid jadi penuh sesak. Bahkan, meluber hingga ke pelataran. Jumlahnya hingga mencapai sekitar 200-an orang. Ketika usai shalat, semua jamaah, satu per satu, saling bersalaman untuk saling meminta maaf. Semua jamaah menyerbu ke dalam masjid. Saya pun termasuk di antara jamaah yang perlu mengikuti prosesi setahun sekali itu. Budaya mudik lebaran pun selalu ada dalam kamus kehidupan saya setiap tahun. Meski repot, tetapi selalu saya rindukan. Rindu bertemu dengan sanak kerabat dan mempunyai kesempatan untuk membuka kembali layar romantisme religius yang bertahun-tahun pernah saya alami. Seolah-olah ada beban dosa dan kesalahan yang masih tersisa apabila tidak sempat bersalaman satu lawan satu. Budaya semacam itu terus berlanjut dari tahun ke tahun hingga akhirnya terjadilah peristiwa mengharukan yang amat menyentuh naluri religiusitas kita, siapa pun orangnya.
Lantas, Bagaimana?
Ya, usai shalat ied, lantai masjid jebol. Gema shalawat yang menggema saat mengiringi prosesi silaturahmi dan saling bersalaman pun sempat terhenti begitu suara gemeretak lantai yang jebol menggoyang perkampungan di hari lebaran itu. Untung tak ada korban. Bahkan, sekitar sepuluh jamaah yang sempat terjerembab mencium tanah pun hanya tersenyum malu-malu, khas masyarakat dusun. (Sayangnya saya tak sempat mengabadikan gambar kejadian itu karena memang di luar dugaan peristiwa mengharukan itu bakal terjadi. Selain itu, niat saya memang untuk shalat Ied dan silaturahmi.) Agaknya, usia masjid yang sudah terlalu tua yang menjadi penyebab jebolnya lantai itu. Sudah banyak umpak yang keropos, sehingga tak sanggup lagi menampung beban jamaah.
Pasca-kejadian, saya benar-benar tak sanggup menahan rasa haru. Ikatan emosional dan spiritual saya masih terlalu sulit untuk saya lepaskan dari masjid tua peninggalan almarhum Kyai Mat Sadi yang juga kakek saya itu. Namun, saya tak sanggup berbuat apa-apa. Jujur saja, saya tak mempunyai cukup uang untuk mampu mengabadikan dan mengembangkan masjid tua itu agar tetap tercatat dalam sejarah Islam di tanah kelahiran saya. Apalagi, masjid dan tanahnya sudah diwakafkan oleh almarhum kakek saya untuk kepentingan umat, sehingga siapa pun yang memiliki kepentingan untuk mengembangkan pencerahan spiritual umat “berhak” untuk ikut memikirkannya.
Lantaran tak sanggup menahan rasa haru, usai bersilaturahmi, saya pun bertanya kepada Takmir masjid. Langkah-langkah apa saja yang telah dilakukan untuk melakukan rehabilitasi masjid itu? Saya tersentak. Meski orang-orang dusun, mereka ternyata memiliki akses juga ke pihak luar. Dari para donatur dan amal jariyah para jamaah telah terkumpul dana sekitar Rp7.575.700,00 (tujuh juta lima ratus tujuh puluh lima ribu tujuh ratus rupiah). Sedangkan, dana yang dibutuhkan diperkirakan mencapai ± Rp55.631.744,65 (lima puluh lima juta enam ratus tiga puluh satu ribu tujuh ratus empat puluh empat koma enam puluh lima rupiah). Dengan demikian, kekurangan dana rehabilitasi hingga tulisan ini dibuat masih mencapai sekitar Rp48.056.044,65 (empat puluh delapan juta lima puluh enam ribu empat puluh empat koma enam puluh lima rupiah). (Proposal selengkapnya dapat dibaca di sini). Untuk menutup kekurangannya, Takmir Masjid juga sudah mengajukan proposal ke Pemda Kabupaten Grobogan dan Depag Jakarta. Namun, hingga saat ini dana yang dibutuhkan belum terwujud. Ya, sebuah kerja yang layak dihargai.
Barangkali ada sahabat-sahabat pembaca yang punya saran? Silakan kontak saya melalui email: sawali64@gmail.com atau sawali64@yahoo.co.id
Terima kasih. ***
Masya Allah miris banget liat cerita panjenengan. Semoga saja banyak orang yang terbuka hatinya agar bisa menyumbangkan sedikit pendapatan mereka demi kemashlahatan umat. Maaf saya hanya bisa bantu dengan doa saja. salam kenal ya pak.
salam kenal juga, mas musthofa. hehe …. itu kejadian beberapa tahun yang silam kok, mas. alhamdulillah sekarang sudah diperbaiki, meski belum representatif. terima kasih doanya.