Sastra Koran vs Sastra Cyber

Semenjak dunia sastra merambah dunia maya alias internet, banyak kalangan –terutama mereka yang mengklaim dirinya sebagai sastrawan– merasa gerah. Pasalnya, lewat berbagai blog yang gratisan, hampir setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Bahkan, teks sastra yang tergolong “sampah” pun bisa dengan mudah terpublikasikan. Hal yang (hampir) mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari “barikade” selera sang redaktur. Ini artinya, tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.

Menurut hemat saya, dikotomi sastra koran versus sastra cyber bukanlah perkara substansial. Sastra sangat erat kaitanya dengan dunia imajiner yang bebas ditafsirkan oleh orang dari berbagai kalangan. Ini artinya, siapa pun punya hak untuk menafsirkan nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika alias pesan moral yang terkandung di dalamnya. Persoalan sastra koran dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra koran selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber (hampir) tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Setiap orang pun bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk memublikasikan karya-karyanya. Selain itu, koran juga mengenal batasan dimensi ruang dan waktu. Pembacanya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan sebagai “suplemen” hiburan, melengkapi kolom-kolom keluarga dan entertainment lainnya.

“Pulchrum dicitur id apprensio”, kata filsuf skolastik, Thomas Aquinas. Adagium yang berarti “keindahan bila ditangkap menyenangkan” itu menyiratkan makna bahwa keindahan menjadi mustahil menyenangkan tanpa media sosialiasi. Keindahan sebuah teks sastra mokal bisa dinikmati orang lain tanpa publikasi. Ini artinya, media publikasi menjadi penting untuk dipersoalkan ketika sastra diposisikan sebagai sebuah produk budaya yang eksistensinya makin bermakna jika dinikmati oleh pembaca. Sebagus dan sehebat apa pun sebuah teks sastra jika tidak ada media yang memublikasikannya, maka disadari atau tidak, teks tersebut hanya berada dalam kekosongan makna. Oleh karena itu, seorang kreator idealnya memiliki ruang publik untuk menginternalisasikan teks-teks ciptaannya kepada publik sastra seperti yang dilakukan oleh Seno Gumiro Adjidarma, TS Pinang, atau sastrawan-sastrawan lain yang lolos dari pantauan awam saya.

Harus diakui, sosialisasi karya-karya kreatif lewat media cetak nyaris menjadi tradisi dalam sastra kita. Pada dekade ’50-an, tradisi itu muncul melalui berbagai majalah. Malah, (almarhum) HB Jassin, Pamusuk Eneste, atau (almarhum) Satyagraha Hoerip –sebagai editor penerbitan buku—karya-karya para sastrawan yang tersebar di berbagai media cetak pun terbit menjadi sebuah buku. Kemampuan mereka yang mampu menembus barikade redaksi sastra-budaya di media cetak dalam memasyarakatkan obsesi visi dan estetisnya harus dipahami sebagai upaya untuk memperoleh legitimasi kepengarangan. Dan itu memang sangat perlu dilakukan oleh seorang pengarang. Kalaulah tradisi itu berlanjut hingga sekarang, harus dimaknai sebagai upaya pengarang untuk tetap memiliki publik (massa) yang telah “bersetubuh” dengan media cetak. Dorothea Rosa Herliany yang mencuat lewat antologinya “Kepompong Sunyi” pun hingga kini masih aktif meng-“koran’-kan sajak-sajaknya. Lirik Abdul Hadi WM juga bisa kita nikmati lewat berbagai media cetak. (Almarhum) Linus Suryadi AG –semasa hidupnya–, Medy Loekito, Triyanto Triwikromo, atau Ghufron Hasyim –untuk menyebut beberapa nama– masih butuh legitimasi kepengarangan lewat koran.

Harus diakui pula, koran dan media cetak telah punya andil dalam membesarkan nama-nama satrawan. Bahkan, Kompas kini dianggap menjadi “barometer” perkembangan sastra mutakhir. Tak heran jika ada yang bilang, jangan mengaku dirinya sebagai seorang pengarang apabila karyanya belum dimuat di koran nasional itu. Namun, menganggap koran atau media cetak menjadi satu-satunya sumber untuk membikin seseorang menjadi sastrawan juga sebuah opini yang menyesatkan pada era keterbukaan dan digital ini.

Untuk nama-nama pengarang yang sering diklaim masuk pada kelompok “elite” bolehlah menggunakan koran sebagai corong untuk menyuarakan karya-karyanya. Namun, bagi calon-calon sastrawan, mengandalkan koran sebagai satu-satunya media publikasi, disadari atau tidak, idealisme semacam itu hanya akan terkubur bersama mimpi-mimpinya di tengah sergapan kemajuan zaman. Saya kira pengarang yang bersangkutan akan bernasib bagaikan “rusa masuk kampung”, lantaran teks-teks ciptaannya hanya akan menjadi deretan kegelisahan yang tak tersalurkan.

Karena itu, jika seorang pengarang ingin dikenal publik, mau atau tidak, dia harus memiliki media yang tepat untuk memperkenalkan karya-karyanya. Sastra cyber, khususnya blog, saya pikir bisa menjadi sebuah media yang tepat untuk itu. Hanya dengan sedikit bekal dan modal kemampuan memainkan jari-jemarinya di atas keyboard, lantas melakukan registrasi untuk membuka sebuah blog, meluncurlah karya-karya secara online dengan segmen yang lebih luas. Apalagi ditambah sedikit pengetahuan untuk melakukan sindikasi lewat Feedburner dengan kemampuan jangkauan RSS terkenal. Bisa dipastikan, dalam waktu singkat namanya akan cepat dikenal publik.

Persoalan kualitas? Saya pikir itu seleksi alam yang akan berbicara. Pengunjung sastra cyber, saya kira, sudah semakin cerdas dan kritis. Mereka bisa membedakan teks sastra yang berkualitas dan yang tergolong “sampah”. Teks sastra cyber yang menihilkan mutu, pelan tapi pasti akan ditinggalkan oleh pengunjungnya. Meskipun demikian, saya masih meyakini asumsi bahwa apa yang mereka tulis lewat sastra cyber, murni terlahir dari kepekaan nurani, hasil pergulatan daya jelajah kreativitas yang intens. Mereka tidak harus dicurigai sebagai manusia hipokrit yang cenderung menuruti kepuasan selera dan sekadar memanjakan liarnya imajinasi. Teks sastra yang selama ini muncul secara online tetap menunjukkan penjelajahan rasio akal budi dan budi nurani dalam transpirasi total kepengarangan.

Kini, agaknya dikotomi sastra koran versus sastra cyber harus mulai dikikis. Zaman sudah jauh bergeser, dari dunia praliterasi menuju postliterasi. Produk postliterasi semacam internet sudah saatnya dimanfaatkan dengan baik oleh calon-calon pengarang. Sebuah “musibah” apabila ingin menjadi pengarang terkenal hanya melulu “bersetubuh” dengan media cetak tanpa sedikit pun mau melirik media internet yang demikian jauh mampu menembus batasan dimensi ruang dan waktu. Nah, bagaimana? ***

No Comments

  1. “Bahkan, teks sastra yang tergolong “sampah” pun bisa dengan mudah terpublikasikan. “

    *tersipu-sipu malu…*

    “tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.”

    nah itulah yang mbikin sulid, khan selera orang emang beda-beda…dan kalopun memang selera sang redaktur itu terkaid dengan selera orang kebanyakan, berarti penggiad karya sastra haruslah benar-benar orang yang berada di jalur mainstream…padahal walopun seseorang itu diluar “arus” tapi kalo sastranya bagus, sebenerna ndak masalah tho pak? *bukan membela diri lho pak? soale tulisan saia ini emang samfah, cuma membela penggiat sastra yang emang diluar arus…*

    “Mereka bisa membedakan teks sastra yang berkualitas dan yang tergolong “sampah”

    *tersipu-sipu malu lagi…*

    “Kini, agaknya dikotomi sastra koran versus sastra cyber harus mulai dikikis. “

    emang sapa segh pak yang mbikin dikotomi seferti itu? sapa hah? hah? *tereak-tereak sambil ngacungin golok*

    “Nah, bagaimana?”

    hmm…jadikan blog sebagai batu pijakan untuk melangkah ke kancah publik yang lebih luas ato singkatnya “kompas” hohoho…

    nice posting pak!

  2. Menarik!

    Sekarang, siapa-pun kalau mau bisa menulis dan langsung publish, tak harus nunggu, tak harus menembus barikade “penggergaji” tulisan.. (ya misal di blog).

    Dan harusnya media cetak itu melirik, mencari bibit-bibit baru di dunia cyber ini (misal mengamati blog-blog yang berisi kesusastraan). Jadinya, yang tampil di media cetak bukan orang yang itu-itu juga (bosan ah…. Tak ada warna lain, monoton…). 😀

  3. Harus diakui pula, koran dan media cetak telah punya andil dalam membesarkan nama-nama satrawan.
    Yang ini fakta, pak.

    Bahkan, Kompas kini dianggap menjadi “barometer” perkembangan sastra mutakhir. Tak heran jika ada yang bilang, jangan mengaku dirinya sebagai seorang pengarang
    apabila karyanya belum dimuat di koran nasional itu.
    Yang ini aneh.Dan saya setuju dengan pak Sawali,menyesatkan,he he he he.

    Thomas AQuinas(1225-1274) seorang filsuf sekaligus Teolog.
    Thomas juga menulis tentang struktur esensi dan eksistensi.
    Kebetulan bapak menulis namanya, mengingatkan saya pada tulisan pak Yari yang berjudul”Tuhan di mana ya?”.
    Thomas juga menulis bukti-bukti adanya Allah.

  4. @ hoek:
    Jangan lupa, kata “sampah” saya beri tanda kutip.
    Saya setuju dengan Mas hoek, sastra cyber sering disebut-sebut sebagai sastra di luar mainstraim. Meski demikian, sastra cyber sekaligus juga menandai dinamika baru dalam sastra Indonesia mutakhir. Untuk menjadi pengarang, koran bukan satu2nya media publikasi.

    @ hanna:
    Terima kasih tambahannya, Mbak Hanna.

    @ mathematicse:
    Pendapat yang bagus saya kira, Pak Al-Jupri. sastra koran mestinya juga melirik kehadiran penulis sastra cyber. Siapa tahu di antara mereka sebenarnya memiliki talenta yang lebih hebat.

  5. Bagaimanapun juga, “sampah” atau tidak, Internet telah banyak membantu menciptakan ataupun mendorong penulis-penulis yang mungkin karena sesuatu hal, ia tak mau atau tak mau bersusah payah untuk mempublikasikan karyanya. Ini tentu saja angin segar bagi dunia literatur dan sudah sepatutnya disambut hangat. Karena dengan cara inilah maka seseorang tidak harus menemui kendala dalam masalah prosedur publikasi. Cepat dan praktis! Siapa tahu nanti dari sastrawan-sastrawan cyber ini akan muncul sastrawan beneran! Huehehe!
    Saya punya usul, bagaimana kalau sastrawan angkatan 2000an ini kita sebut dengan angkatan cyber! :mrgreen:

  6. Ha ha apa iya sih? Setiap penilaian berdasarkan persepsi. Apa kriteri abaku sebuah karya imajiner? Ngak ada kan. Jadi buat apa mengibarkan portal-portal segala macam. Setiap orang berhak menulis (sastra) soal dianggap sampah atau intan, soal lain lagi. Saya memilih menulisnya he he … sekalipun baru beberapa buku.

  7. Persoalan kualitas? Saya pikir itu seleksi alam yang akan berbicara. Pengunjung sastra cyber, saya kira, sudah semakin cerdas dan kritis. Mereka bisa membedakan teks sastra yang berkualitas dan yang tergolong “sampah”.

    Tapi dari sampah pun kadang bisa terlahir suatu produk yang bermanfaat. Ya…mungkin manfaat itu tidak secara langsung datang dari sampah itu, melainkan lahir dari suatu reaksi dari aksi dalam bentuk sampah tsb

  8. Bagaimana pun kalau memang seorang pengarang sangat terkenal di dunia maya tapi belum sekalipun menembus barikade redaktur, rasanya masih kurang plong.

    Ada tantangan yang belum diraih. Kepuasan tersendiri berhasil dimuat di media masa konvensional dan memenangkan kompetisi beratus2 karya tulis.

    Ada rasa yang berbeda.

  9. Wah Pak.. ini sebenarnya topik berat yang lagi hangat. Bukan hanya di RI. Tapi juga di seluruh dunia.

    (*Kasus yang panas baru-baru ini dan belum juga selesai juga adalah; mengapa koran LA Times akan menutup divisi percetakan (konvensional) dan malah membuka divisi IT (Blog) sebagai sarana melangsungkan kehidupan koran yang terancam mati itu*).

    Wartawan cetak dan wartawan digital (yang diwakili blogger sebagai citizen journalist) memang sedang disorot dan diperbandingkan akhir-akhir ini.
    Isunya adalah, siapa yang mulutnya paling bener?

    Kalau para penulis karya sastra, disorot dalam wacana… “siapa yang paling sastrawan, yang nulis di koran, atau yang di blog/web/media digital baru?”. Berat untuk menjawabnya. Sebab masing-masing punya media yang berbeda. Serta punya pangsa pasar yang berbeda.

    Tapi secara subjektif, saya dapat mengatakan, menulis di media interaktif seperti weblog itu jelas jauh lebih menantang daripada di media konvensional seperti koran atau majalah. Di koran atau majalah mah lebih enak, editor/korektor-eja/redaktur, paling cuman berapa orang. Kalau melakukan kesalahan dalam proses-proses awal (dan harus dimaki-maki), paling yang tahu hanya rekan sekantor.

    Di internet, buset dah, editor/korektor-eja/redaktur banyaknya nggak kira-kira. Kalau tidak hati-hati dalam menulis, bisa-bisa dianggap penyebar kebohongan (HOAX) hingga penderita tipo (tidak dapat menulis ejaan dengan baik). Kalau tidak hati-hati, seorang penulis akan jadi mangsa empuk di belantara rimba-raya internet. 🙂

    Kalau tidak salah, Pak EWA (yang diatas) pernah menuliskan mengenai hal ini. Kata beliau, semakin tinggi tingkat kecerdasan penulis, semakin hati-hati pula tulisannya.

    (*Saya harus banyak belajar dari Pak Sawali dan Pak EWA. Maklum, tingkat kecerdasan saya kurang tinggi, jadi sering sembrono dalam menulis. Terutama menulis komen ini. Hehe*)

  10. @ Yari NK
    Hahaha, usulan yang bagus, Bung. Persoalannya, untuk penamaan sebuah angkatan dalam sastra, agaknya bukan persoalan mudah. Mesti ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti kecenderungan gaya ucap, kesamaan “genre”, atau bahkan mungkin juga pandangan hidup pengarang yang dianggap mewakili sebuah angkatan. Angkatan ‘2000 pin sudah diprkolamirkan oleh Korrie Layun Rampan ke dalam sebuah buku yang memuat daftar para sastrawan angkatan ‘2000 beserta karya2nya.

    @ Ersis Warmansyah Abbas:
    Betul, Pak Ersis, yang penting menulis, menulis, dan menulis. Itu yang penting. Persoalan mutu, “halah” itu perkara belakangan, hehehehe 😀

    @ deKing:
    “Sampah” dalam tanda kutip. lho. Emang betul pendapat Pak deKing. Dari karya “sampah” bisa saja ada manfaat yang lebih besar. Juga, siapa sih sebenarnya yang bisa menentukan sebuah karya sastra itu “sampah” dan bukan “sampah”? Itu juga tak lepas dari penafsiran2 kan? Hehehehe 😀

    @ munggur:
    Saya kira betul sekali, kawan! Teks sastra yang berhasil dimuat di koran, apalagi koran nasional, agaknya memang lebih bergengsi ketimbang yang dimuat di blog milik sendiri. Tapi, nggak ada salahnya kan bagi para penulis pemula untuk memulainya dengan menulis teks sastra secara cyber di sebuah blog? Ok, yang penting terus berkarya, kawan!

  11. Sastra terbatas media ? 🙂

    Yang pertama saya sorot itu adalah istilah “Sastrawan”. Saya rasa istilah ini sudah bergeser maknanya menjadi lebih luas. Dulu, sastrawan adalah kalangan cerdik pandai yang menuliskan ide-idenya dalam bentuk puisi, novel, naskah drama, dan karya sastra lain. Mereka tergolong “elit” dan standar kesastrawanan-nya pun sudah teruji.

    Tapi sekarang, sastrawan adalah SIAPA SAJA yang bisa dan mampu menuliskan suatu karya sastra. Itu sudah bisa digolongkan sastrawan, walaupun karyanya dinilai sebagai karya “sampah”.

    Contohnya gini, pak. Saya ambil contoh puisi Sitor Situmorang :

    Malam Lebaran

    bulan diatas kuburan

    Kalau bukan Bung Sitor yang nulis [dan hanya orang awam seperti saya] 🙂 saya yakin puisi itu sudah pasti masuk tong sampah. 🙂 Tapi sekarang, pergeseran makna sastrawan bisa membuat suatu karya sastra diapresiasi bukan berdasarkan “siapa” yang menulis tapi “apa isinya”.

    Kedua soal media sastra. Dulu memang media sastra adalah majalah/koran. Tapi pergeseran sudah terjadi lagi dengan menjadikan media IT sebagai media sastra. Implikasinya, siapapun bisa menjadi sastrawan ketika dia mempublikasikan karya-karya sastranya di media itu.

    Dari pergeseran makna itulah sastra akhirnya meluaskan media publikasinya. Bukan hanya media koran, tapi sudah meluas dan menjangkau kemana-mana termasuk media cyber. Persoalan kualitas, betul apa kata Pak Sawali, seleksi alam yang akan berbicara. Karya sastra yang dinilai “sampah” oleh penikmatnya, saya yakin akan hilang ditelan malam. 🙂 Sementara yang berkualitas tetap akan bertahan dan dikenang.

    Media bukan penentu kualitas. Media cuma alat publikasi, dan tidak lebih dari itu.

    *sorry kalau kepanjangan*

  12. Menurut hemat saya, dikotomi sastra koran versus sastra cyber bukanlah perkara substansial.

    sangat setuju pak…. cyber ataupun koran hanyalah alat untuk menyalurkan ide2 dikepala.. mungkin saja besok2 koran sudah tidak laku lagi dan diganti ama cyber semua..
    *lagi baca kho ping hoo versi cyber*
    😆

    Persoalan kualitas? Saya pikir itu seleksi alam yang akan berbicara. Pengunjung sastra cyber, saya kira, sudah semakin cerdas dan kritis.

    uhmmmmm sayah sangat suka bagian seleksi alam…. setiap sastrawan yang mampu melewati hal tersebut bisa diacungi jempol 4 sekalian sehingga yg muncul adalah karya2 bermutu bukan hanya karya instan
    salute pak.

  13. Assalamualaikum,ya kalau melalui media koran kayak kompas gitu susah juga untuk mempublishnya karena prosedurnya yang rada ribet.Di dunia maya/ blog kita bebas berkarya menuangkan cerita puisi pengalaman. Sastra yang kategori sampah pun kalau di daur ulang alias diasah lagi dan lagi siapa tau malah bukan sastra sampah pak ya…Who knows kan pak
    Wassalam.

  14. wah 😮 pertama berkunjung udh dpt tulisan serius 🙂
    saya mlh ga tau kl blog2 ini bs d anggap sebagai sebuah karya sastra, rata2 dr org Indonesia bikin blog kan cuma ikut2an trend aj…ya termasuk saya ini,yg cuma asal nulis,asal komen kaya gini 😀 hehe..
    btw..setuju ama deking dan bangaiptop

  15. sastra koran dng kompas sbg barometernya malah jadi lingkaran setan
    yg muncul itu2 dowang, yg baru susah dapet kesempatan dimuat
    tapi giliran coba lewat media laen malah dapet tuduhan laen lagi
    mestinya emang dunia sastra (di dunia) bisa nerima perkembangan ini
    trus gimana sastra bisa berkembang
    kalo terlalu asyik mempermasalahkan media?

    ah sebodo deh…
    saya nulis (baca : ngetik) karena saya emang pengen nulis

  16. @ Bangaiptop
    Agaknya “pertarungan” antara jurnalis media cetak dengan jurnalis digital makin serum, nih! Coba kita tunggu aja perkembangannya, hehehehe 😀

    @ fertob:
    Secara etimologis, istilah sastrawan sebenarnya justru mengalami penyempitan makna. Sebelumnya, sastrawan digunakan untuk menyebut semua orang yang menulis (ini dari kata “sastra” yang artinya tulis). Sekarang, sebutan sastrawan hanya diperuntukkan bagi mereka yang menulis teks dengan media bahasa yang indah. Namun, apakah istilah tersebut kini kembali mengalami pergeseran? Jawabannya, saya setuju dengan Bung fertob, sebutan sastrawan itu juga bisa diperuntukkan bagi mereka yang bisa membuat suatu karya sastra dan dipublikasikan di media.
    Saya kira betul juga Bung, media bukan penentu kualitas, melainkan hanya sekadar alat publikasi.

    @ almascatie:
    Ok, Bung, sastra cyber atau koran memeang betul hanyalah alatnya, sedangkan kualitas akan diuji oleh seleksi alam, hehehehe 😀

    @ fira:
    Ya itu, MBak, persoalannya. Untuk bisa lolos redaksi, apalagi kompas, memang harus bersaing dengan penulis lain yang hebat2 karyanya. Saya kira intrnet sangat bisa dimanfaatkan untuk memublish karya kita tanpa harus melalui seleksi ketat seorang redaktur. Tapi juga jangan lupa, Mbak, mengelola blog pun tidak boleh sembarangan. Banyak pengunjung yang kritis. Kalau kita kelola secara gegabah bisa2 kita dapat semprotan terus-menerus dari pengunjung.

    @ ekowanz
    Bia juga juga, kawan, kalau blog dikelola secara serius. Toh nama2 seperti Seno Gumira Ajidarma, Gunawan Muhammad, TS Pinang, dll juga memanfaatkan blog untuk lebih mempertajam daya sebar karya2 mereka.

    @ Pacaran Islami:
    Kalau dilihat dari etimologinya, sastra kon berasal dari kata sas=ajaran, dan tra yang berarti alat. Sastra dulu didefinisikan sebagai alat untuk menyampaikan ajaran. sekarang, definisi tersebut ditambahkan dengan “media bahasa yang indah”. Jadi, menurut hemat saya, ada dua hal yang ditekankan dalan sastra, yaitu nilai dan estetika.

    @ caplang™:
    Hehehehe 😀 Justru itu yang penting Bung, menulis, menulis, dan menulis. Saya sendiri susah masuk ke redaksi cerpen kompas. Konon setiap minggu ada ratusan cerpen yang masuk ke redaksi. Saya setuju dengan Bung Caplang kalau sudah masuk ke koran, kenapa repot, kan ada blog, hehehehe 😀

    @ zahwa
    OK, makasih, kawan, semoga punya kekuatan untuk melakukannya, hehehehe 😀

    @ alex
    Tampak narcisnya ya Taufiq Ismail sekarang, hehehehe :mregreen: Apakah sejarah antara Lekra dan manikebu betul2 akan terulang? Lantas, siapa manikebu dan siapa lekranya, hehehe :mrgreen: Smg saja perdebatan tentang sastra bisa membuatnua jadi lebih maju dan dinamis.

  17. Ass,tul pak setuju mengelola blog gak boleh asal siap-siap aja kena tembak krtikan pedas pahit asam manis he3…kok kayak permen nano-nano. lanjut pak,wah pujian pak sawali di seni cinta buat saya melayang aow makasih pak…saya ini hanya keluarin apa yang ada didalam hati pak. Tetap belajar mendengar melihat merasa dan menulis kalau bisa mohon tuntunannya pak he3…buntute opo re’…Wassalam.

  18. Sungguh paparan wacana yang menarik!

    Memang semua hanyalah media sebagai sarana saja, dalam era keterbukaan informasi dan terlebih pengaksesan segala bentuk informasi, rasanya media elektronik adalah media esensial yang dapat dijadikan sebagai salah satu sarana demi perkembangan keilmuan itu sendiri.

    Mungkin ada juga karya bagus yang tidak sempat dilirik media cetak!

Tinggalkan Balasan ke Sawali Tuhusetya Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *