Sejak reformasi bergulir di negeri ini, atmosfer demokrasi berhembus kencang di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Masyarakat pun menyambut “paradaban” baru itu dengan antusias. Kebebasan yang terpasung bertahun-tahun lamanya kembali berkibar di atas panggung kehidupan sosial.
Meskipun demikian, atomsfer demokrasi itu tampaknya belum diimbangi dengan kemaTangan, kedewasaan, dan kearifan, sehingga kebebasan seolah-olah berubah menjadi “hukum rimba”. Mereka yang tidak sepaham dianggap sebagai “kerikil” demokrasi yang mesti disingkirkan. Contoh paling nyata adalah meruyaknya berbagai aksi kekerasan yang menyertai perhelatan pilkada di berbagai daerah beberapa waktu yang lalu. Pihak yang kalah bertarung tidak mau menerima kekalahan dengan sikap lapang dada. Jika perlu, mereka memaksakan diri untuk melakukan tindakan anarki yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Jika kondisi semacam itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin benih-benih demokrasi di negeri ini akan layu sebelum berkembang. Bagaimana mungkin niolai-nilai demokrasi bisa tumbuh dan berkembang secara kondusif kalau demokrasi dimaknai sebagai sikap besar kepala dan ingin menang sendiri? Bagaimana mungkin atmosfer demokrasi mampu menumbuhkan kedamaian, keadilan, dan ketenteraman kalau perbedaan pendapat ditabukan?
Dogma Menyesatkan
Sebenarnya pendidikan demokrasi di negeri ini bukanlah barang baru. Sejak 1957 hingga kini, Indonesia telah memiliki dan melakukan pendidikan demokrasi bagi warga negaranya. Namun, jika kita mengacu pada realitas di atas panggung sosial politik di negeri ini, secara jujur harus diakui, nilai-nilai demokrasi belum sepenuhnya bisa diapresiasi oleh segenap komponen bangsa. Perilaku politik kaum elite, misalnya, dinilai cenderung masih konservatif dan masih berorientasi pada politik kekuasaan dengan pijakan semangat primordialisme, baik yang berbaju kultural maupun keagamaan. Mainstream kalangan elite ini pun pada kahirnya akan mudah berimbas ke bawah dalam bentuk perilaku politik massa. Dalam konteks demikian, ada benarnya jika ada pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan demokrasi yang dilakukan pemerintah sepanjang kekuasaannnya telah gagal menghasilkan warga negara yang demokratis.
Kegagalan pendidikan demokrasi, dalam pandangan Azyumardi Azra (2001) dapat dilihat dalam tiga aspek yang saling terkait satu sama lainnya. Pertama, secara substantif, pelajaran PPKn, Pendidikan Pancasila dan Kewriraan tidak dipersiapkan sebagai matei pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Kedua, secara metodologi pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentif, monologis, dan tidak partisipatoris. Ketiga, subjek material lebih bersifat teoretis daripada praksis (Azra, 2001).
Selain faktor tersebut, menurut hemat penulis, kegagalan penanaman nilai-nilai demokrasi juga tidak terlepas dari buruknya pengakaran nilai-nilai demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Sekolah bukan lagi menggambarkan masyarakat mini yang mencerminkan realitas sosial dan budaya, melainkan telah menjadi ruang karantina yang membunuh kebebasan dan kreativitas siswa didik. Guru belum mampu bersikap melayani kebutuhan siswa berdasarkan prinsip kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan –sebagai pilar-pilar demokrasi– tetapi lebih cenderung bersikap bak “diktator” yang memosisikan siswa sebagai objek yang bebas dieksploitasi sesuai dengan selera dan kepentingannya. Masih menjadi sebuah pemandangan yang langka ketika seorang guru tidak sanggup menjawab pertanyaan muridnya, mau bersikap ksatria untuk meminta maaf dan berjanji untuk menjawabnya pada lain kesempatan. Hampir sulit ditemukan, siswa yang melakukan kekhilafan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Yang lebih sering terjadi adalah pola-pola indoktrinasi dan dogma-dogma menyesatkan. Siswa diposisikan sebagai pihak yang paling bersalah sehingga harus menerima sanksi yang sudah dirumuskan tanpa melakukan “kontrak sosial” bersama siswa. Ketika ada siswa yang mencoba bersikap kritis dengan bertanya: “Mengapa kalau guru terlambat tidak mendapatkan sanksi, sedangkan kalau siswa yang terlambat akan dikenai hukuman tanpa pembelaan? Bak seorang diktator, sang guru akan menjawab secara dogmatis bahwa hal itu sudah menjadi peraturan yang tak boleh ditawar-tawar lagi. Sungguh, sebuah dogma menyesatkan yang bisa membunuh nilai-nilai demokrasi dalam jiwa dan kepribadian siswa.
Magnet Demokrasi
Saat ini, negeri kita tampaknya membutuhkan model pendidikan demokrasi yang baru dalam dunia persekolahan kita. Idealnya, upaya membumikan nilai-nilai demokrasi tidak hanya dibebankan kepada mata pelajaran tertentu, seperti PPKn, misalnya. Akan tetapi, perlu ada kesamaan visi untuk menjadikan prinsip-prinsip demokrasi sebagai “roh” yang mewarnai kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran apa pun. Substansi pembumian nilai-nilai demokrasi bukan lagi dilakukan secara dogmatis dan indoktrinasi melalui ceramah, melainkan sudah dalam bentuk perilaku nyata sebagai perwujudan kultur demokrasi yang sesungguhnya.
Tujuan yang jendak dicapai melalui model pendidikan demokrasi semacam itu adalah tumbuhnay kecerdasan warga sekolah, baik secara spiritual, emosional, maupun sosial, rasa tanggung jawab, dan peran serta segenap komponen dunia persekolahan. Melalui upaya model pendidikan ini diharapkan akan terlahir kualitas generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial sehingga pada gilirannya kelak mampu menopang tumbuhnya iklim civil society (masyarakat madani) di Indonesia.
Seiring dengan berhembusnya iklim demokrasi di negeri ini, sudah saatnya dilakukan upaya serius untuk membumikan nilai-nilai demokrasi di kelas. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi “roh” pembelajaran di kelas pada mata pelajaran apa pun. Interaksi guru dan siswa bukanlah sebagai subjek-objek, melainkan sebagai subjek-subjek yang sama-sama belajar membangun karakter, jatidiri, dan kepribadian. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi.
Bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro, mewariskan semangat “ing madya mangun karsa” yang intinya berporos pada proses pemberdayaan. Di sekolah, guru senantiasa membangkitkan semangat berekplorasi, berkreasi, dan berprakarsa di kalangan siswa agar kelak tidak menjadi manusia-manusia robot yang hanya tunduk pada komando. Dengan cara demikian, kelas akan menjadi magnet demokrasi yang mampu menggerakkan gairah siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai demokrasi dan keluhuran budi secara riil dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah bukan zamannya lagi, guru tampil bak diktator yang menggorok dan membunuh kebebasan dan kreativitas siswa dalam berpikir. Berikan ruang dan kesempatan kepada mereka di kelas untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang kritis dan dinamis. Tugas dan fungsi guru adalah menjadi fasilitator dan mediator untuk menjembatani agar siswa tidak tumbuh menjadi pribadi mekanistik yang miskin nurani dan antidemokrasi.
Bukankah membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional sebagaimana tersurat dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas? Kalau tidak dimulai dari ruang kelas, kapan anak-anak bangsa ini akan belajar berdemokrasi? ***
Pingback: Kang Sakri Weblog » Blog Archive » Catatan Tercecer dari Semiloka Nasional: Peran TIK dalam Revitalisasi Pembelajaran
artikelnya mantap, so di tingkatkan yaaaaaaaaaaaaa
terima kasih apresiasinya, mas widi, meski belum layak dikategorikan artikel seperti itu, hehe …
Saya setuju. Sebaiknya mulai sejak anak masih di bangku sekolah Dasar sudah di perkenalkan dengan point-point dasar nilai demokrasi.
Kunjungi saya juga ya pak di rental mobil jogja semberani dan di Sewa kantor Get Realty