Jangan sewot dan geram ketika membaca judul postingan ini, hehehe 😀 Kata pakar pragmatik, untuk menafsirkan maksud sebuah tuturan, baik lisan maupun tulisan, perlu dipahami dulu konteksnya. Tuturan dalam situasi yang bagaimana, apa yang dibicarakan, di mana tuturan itu disampaikan, de-el-el? Dalam konteks ini, saya memiliki pengertian yang sedikit menyimpang dari makna leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam kamus tebal tersebut, kata pemberontak memiliki dua arti, yaitu: 1) orang yang melawan atau menentang kekuasaan yang sah, pendurhaka; 2) orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). Kalau toh harus dimirip-miripkan, saya cenderung memilih arti yang kedua, yaitu orang yang sifatnya suka memberontak (melawan). “Memberontak” tentang apa, kepada siapa, tujuannya apa? *pertanyaan retorik*
Dalam pengamatan awam saya, blog lebih bersifat personal. Bahkan, dalam banyak hal blog bisa menjadi “wakil” hati nurani sang pemiliknya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan publik. Dengan kata lain, karakter dan kepribadian sang pemilik blog –lagi-lagi ini penafsiran awam– bisa dilihat dari topik yang dipilih, bahasa tutur yang digunakan, blog-blog dan situs lain yang ditautnya, cara membalas komentar, hingga asesori yang dipakai untuk menghias “teras” blognya. Oleh karena bersifat personal, blog bisa dipakai untuk apa saja; berteriak-teriak, menyumpah-nyumpah, mengungkapkan cinta, kerinduan, kebencian, deelel.
*Kembali ke topik*
Penulis “pemberontak” bukanlah sebuah stigma. Ada sebuah dinamika, kreativitas, refleksi, penafsiran-penafsiran, atau “keliaran-keliaran” pemikiran yang mencengangkan ketika sang penulis mengawal sekaligus melancarkan ide-idenya kepada publik. Di negeri jiran, Malaysia, misalnya *sudah amat lama menunjukkan sikap arogansinya terhadap bangsa kita, tapi kita sangat penyabar dan pemaaf* harus diakui memiliki atmosfer dunia blog yang lebih semarak dan dinamis. Blog di negeri jiran itu sudah memiliki segmen yang teramat khusus. Bahkan, banyak di antaranya dijadikan sebagai ruang untuk “memberontak” terhadap ide-ide gila sang penguasa. Di blog ini, misalnya, di salah satu postingannya mengungkapkan kemarahan seorang pejabat kerajaan terhadap penulis blog yang dianggap sebagai pengecut karena menyembunyikan identitas dirinya alias anonim. Demikian juga di blog ini beberapa postingannya tampak jelas nuansa “pemberontakan” dirinya terhadap “skandal” pengendali negara yang dinilai mulai alpa terhadap nasib rakyatnya. Di sana, konon blog sudah dimanfaatkan hingga ke taraf politis untuk menghantam pihak atau kelompok lain yang tidak sehaluan. Polemik dan debat lewat blog sudah menjadi hal yang biasa. *Dah jadi budaya kali, ya, Bung!”
Namun, bagi saya, bloger “pemberontak” bukanlah semata-mata lantaran punya nyali bersuara lantang –seperti para penghuni senayan yang senang berkoar-koar di atas mimbar kampanye, lantas melupakan pemilihnya setelah dapat “kursi” empuk, hehehe — tetapi lebih didasari oleh keinginan untuk melakukan perubahan. Musuh para bloger adalah kesewenang-wenangan, arogansi, keangkuhan, ketidakadilan, ketidakjujuran, kemunafikan, keterbelakangan, korupsi, manipulasi, dan kroni-kroninya yang bisa membuat hidup orang lain susah dan tidak nyaman.
Beberapa tahun yang silam, Budi Darma pernah bilang, jika Anda belum dikenal sebagai sastrawan (baca:penulis), cobalah memberontak. Katakan sastra hasil karya pengarang kita belum berbobot. Kutiplah keterangan dari pengarang dunia kaleber kakap. Atau, tulislah sebuah puisi yang nyentrik. Tentu Anda akan menjadi terkenal mendadak (1983:72). Budi Darma jelas tak hendak mengatakan bahwa menulis hanya sekadar unjuk nyali untuk menyuarakan “pemberontakan” dalam pengertian sempit lewat argumen-argumen yang konyol dan tidak masuk akal.
Di atas panggung sosial, politik, ekonomi, pendidikan, atau budaya negeri ini banyak “adegan drama” yang selalu menarik untuk disimak, mulai dari kekonyolan para elite negara yang saling menaburkan dendam dan ancaman, langkanya minyak goreng, impor beras, sertifikasi guru, hingga pemberangusan karya kreatif seseorang. Mereka yang suka menaburkan ancaman dan dendam itu sudah pasti akan mengungkapkan beberapa apologi dan justifikasi atas sikap dan langkah latah yang telah dilakukannya. Masing-masing pihak merasa benar. *Potret karakter besar kepala dan mau menang sendiri * Demikian juga para penimbun minyak tanah atau beras itu. Mereka merasa barang-barang yang dibutuhkan untuk hajat hidup orang banyak itu milik pribadi sepenuhnya. Mau ditimbun kek, mau dijual kek, itu terserah gue. Gue yang punya, hehehehe. Lalu, lu maunya apa?” *Pernyataan egois yang hanya pantas keluar dari mulut penguni menara gading*
Pernyataan Budi Darma telah jauh melewat sebelum internet mampu merambah dimensi ruang dan waktu. Kini, ketika seluruh penjuru dunia hidup dalam sebuah perkampungan global, “pemberontakan” akan demikian mudah dilakukan oleh para bloger. Persoalan apa saja bisa diangkat dan menjadi topik yang menarik dalam sebuah postingan. Masalah rujukan? Hampir pasti tak ada kesulitan. Paman Google dan Yahoo siap mengacak-acak pintu informasi yang terselip hingga di lorong dunia yang sempit sekalipun untuk disuguhkan kepada para penyelancar dunia maya.
Lewat daya dukung internet, semua informasi bisa dengan mudah kita sampaikan dan kita terima. Dan blog pun memiliki daya gugah yang berbeda jika dibandingkan dengan media cetak, misalnya. Untuk bisa meloloskan sebuah artikel di halaman koran, majalah, atau tabloid, seringkali kita harus tunduk kepada selera redaksi. Tak ada kamus penulis “pemberontak” di media cetak. *Lha wong hanya sebuah puisi saja bikin geger orang-orang yang nggak menyukai kreativitas* Itu artinya, ada pertimbangan “security” tertentu yang harus ditaati seorang penulis jika hendak mengirim tulisan di media cetak. Bagi penulis yang terbiasa berpikir kritis dan “memberontak”, tak ada tempatnya di sana. Jika dituruti bisa terbunuh naluri “pemberontakan”-nya … 😀
Di dunia blog? Bloger mana yang dilarang menyumpah-nyumpah dan berteriak-teriak, apalagi “pemberontakan” yang memiliki dasar argumen dan bukti akurat? Publikasinya pun lebih dahsyat, bisa menjangkau ruang dan waktu yang lebih luas. Ketika dunia sudah sedemikian terbuka, (maaf, tanpa bermaksud mengurui, lho!) sudah saatnya para bloger membangkitkan naluri “pemberontakan”-nya untuk menyuarakan berbagai ketimpangan dan keangkaramurkaan yang nyata-nyata terjadi di muka bumi ini. *Siapa tahu kita bisa menampung pahala untuk bekal menuju syurga, hehehe 😀 Bukankah itu termasuk amar ma’ruf nahi munkar seperti yang sering dikatakan oleh Pak Ustadz dan Pak Kyai?*
Namun, semua itu sebuah pilihan. Blog adalah rumah pribadi pemiliknya. Tak seorang pun berhak mencampuri dan memengaruhi harus jadi apa. Yang jelas, yang dilawan dalam “pemberontakan” adalah tindakan konyol dan tak terpuji yang merugikan hajat hidup orang banyak. Dus, yang dilawan adalah tindakan dan perilakunya, bukan orangnya. “Pemberontakan” kreatif yang dilakukan oleh penulis blog sudah pasti bukanlah eksperimentasi yang mentah dan konyol. Namun, sudah melalui proses pematangan dan “persetubuhan” sebelum lahir. Kalau boleh meminjam adagium-nya Rene Descartes tentang Cogito ergo sum-nya, kita bisa beranalogi: “Saya bikin blog, karena itu saya ada”, hehehe 😀 Nah, siapa yang mau jadi bloger “pemberontak”? ***
Memberontak apa dulu nih,pak ?, he he he.
Tapi emang ada benar juga sih, blog itu umumnya berisi tulisan dari hati nurani yang memberontak.Kalau blog saya mah masih gado-gado, he he.Karna blog itu saya gunakan sebagai sarana untuk belajar menulis.Bermutu atau tidak tulisan yang saya publishkan, saya cuekin aja dulu sementara waktu sampai benar-benar sudah mampu menulis dengan baik dan benar baru di pikirkan lagi, he he.
Tapi saya sangat berterima kasih kepada bapak atas komentnya yang membuat saya lebih semangat lagi untuk menulis.
—————
“Memberontak” dalam pengertian yang positif; kritis terhadap keadaan, didukung data valid, dan analisis yang tajam, hehehe 😀
Tulisan di blog Mbak Hanna dah bagus, tuh, hanya frekuensinya saja yang perlu terus ditingkatkan. Mumpung lagi ketularan virnya Pak Ersis, tuh, hehehe 😀
Menurut saya, ya sah2 saja sih menjadi blogger pemberontak, walaupun tentu saja tetap harus memperhatikan norma2 yang ada. Maksudnya memberontak boleh saja tetapi dengan argumentasi yang jelas dan cerdas, dan kalau bisa jangan pengecut dan bersembunyi dibalik anonimitas (kecuali kalau jiwanya terancam), hal ini juga penting karena dengan menggunakan identitas, biasanya hasil pemikiran pemberontakannya lebih bertanggungjawab dan terarah. Biasanya juga orang yang memberontak dalam blog biasanya orang yang agak frustasi karena di dunia nyata, ia tidak dapat menyalurkan hasil berontakannya hehehe… betul nggak? 😀
—————-
Setuju banget, Bung. Ada tanggung jawab moral yang mesti dimiliki seorang bloger, hehehe. Ia tak hanya mengumbar kata-kata, tetapi juga disertai alasan yang masuk akal, data valid, dan analisis akurat. Non-anonim pun saya kira salah satu wujud tanggung jawab moral itu. “Datang tampak muka, pulang pun tampak punggung”, hehehe 😀 OK, salam hangat, Bung Yari!
Selamat siang pak, memang bog adalah tempat mengeluarkan semua kata hati dari pada teriak-teriak gak jelas mendingan salurin ke blog tapi tetap dalam batas yang wajar ya siapa tau bisa jadi manfaat buat yang lain.eh iya makasih atas sarannya ya pak. Saya juga dalam tahap belajar menulis menuangkan dalam bentuk cerpen dan puisi hehehe…ya syukur-syukur bapak mau membagi ilmunya dikiiiitttt aja.Skali lagi terimakasih ya pak Sawali…
————
Betul sekali, Mbak Fira. Blog bisa dimanfaatkan untuk “memberontak” dalam pengertian yang positif. Selain untuk ekspresi diri, blog juga bisa digunakan sebagai wujud aktualisasi diri. OK, makasih, Mbak Fira atas kunjungannya, salam.
Memberontak bukan suatu masalah, ya seperti yang Pak Sawali sampaikan…”perubahan”
Ya…selama pemberontakan itu ditujukan untuk suatu perubahan (yang tentu saja idealnya perubahan menjadi lebih baik).
Tapi yang jelas kebebasan berpendapat (yang mungkin terwujudkan dalam suatu bentuk pemberontakan) tetaplah harus dilakukan secara bertanggung jawab…haruslah tetap bisa dipertanggungjawabkan.
Dan alangkah baiknya jika pemberontakan itu tidak sekedar membeberkan kebobrokan “yang diberontak”, tetapi memberi juga semacam tawaran solusi (walau mungkin masih bersifat mikro).
Akhirnya…
Semoga saja blog benar2 bisa digunakan sebagai alat untuk kontrol. Baik kontrol sosial atau kalau boleh bermimpi juga sebagai kontrol politik (pelaksanaan pemerintahan)
————————–
Ok, begitulah, Pakde King, hehehe 😀 “Pemberontakan” untuk sebuah perubahan. Setuju banget, tuh!
Kadang – kadng, pemberontak itu seringkali abusing the “rules” dan menghajar norma – norma yang ada. 👿
Doakan semoga saya bukan pemberontak seperti itu. 🙂
——————
Ok, Bung, “pemberontakan” mesti dilakukan dengan amat sadar untuk melakukan perubahan seperti yang disampaikan Pakde King tuh agar tidak terjadi berbagai bentuk pelanggaran terhadap norma. Jadi, mesti daya nalar, kritis, bertanggung jawab, sekaligus memberikan solusi.
Ok, Bung, kita sama2 berdoa untuk bisa memanfaatkan blog gratisan ini sebagai upaya ekspresi dan aktualisasi diri. Amiiin. Salam hangat.
Yang penting jangan asal mndobos… Bicara berikan argumen, dan kalau dikritik, terimalah kritiknya,, anonimitas [bener engga?] membuat blogger bisa bebas berekspresi, jadi memberontak atau tidak, itu hanya wujud ekspresi saja.
——————
Setuju banget, Bung Lesti, tidak asal ndobos dan ngecap, hehehe 😀
"siapa mau jadi bloger "pemberontak"?
*sambil lompat-lompat dan ngangkat telunjuk*
saya…saya…saya…
tapi, emang pemberontak itu makanan apa pak?
*ditimpuk pak sawali*
*serius mode ON*
hmm….idem deh sama DeBe :p
—————-
"Good, good, very good!"
*Tepuk tangan setelah itu angkat jempol tangan dan kaki*
"Pemberontak" yang positif ya seperti yang ada di blog Sampeyan itu, hehehehe 😀
*Nggak jadi nimpuk, ah, ntar nggak mau mampir*
kalo ada blogger pemberontak berarti masih ada ketidak adilan dalam lingkungannya 🙂
————-
OK, tepat sekali, Bung. Ada naluri dan sifat kritis dari Bloger untuk menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi.
saya ga mau jadi pemberontak, nanti diinterogasi
kalo yg interogasi cewe cantik nan sexy, pake topeng, pegang cambuk, mengikat saya ke dinding dng rante sih gppsaya lebih suka mengutarakan apa yg saya bisa,
apa yg saya tau dan apa yg pernah saya alami
tanpa keberanian untuk menilai apalagi menghakimi
kalo memang ternyata yg saya tulis dianggap pahit, sok tau, dll ya silakan saja
toh semua tulisan saya ada dasarnya
dan sampe saat ini saya belum merasa paling benar
jadi, saya tetep ga mau berontak
karena takut diinterogasi itu tadi
————–
Hehehehehe 😀 Sma gue dong kalau gitu. Kalau yang ngintrogasi cewek cakep, maunya “memberontak” teruuuuuus, hehehe 😀
Ya, memberontak di sini diplesetkan dalam konotasi yang positif. Artinya memberontak dari sistem-sistem yang selama ini mebelenggu kebebasan berekspresi. Namun benar juga, kebebasan berekspresi kita, sebagai blogger pemberontak, harus dapat dipertanggungjawabkan. Bukan asal berontak, tapi lupa tanggung jawab. 😀
——————–
Setuju, Pak Al-Jupri. Harus ada pertanggungjawaban moral dari Blogger dalam mengungkapkan sikap "pemberontakan"-nya.
Ha ha ramai ni ye … tergantung definisi dong. Dulu, sebelum ngeblog saya baca: ide blog itu begini-begitu, blog itu untuk ini-itu, yang ngeblog itu gene-gono … ah biarin.
Saya simpulkan, untuk menampilkan karya. Makanya tulisan di blog saya bergaya artikel. Perhatikan, pas enam halaman buku sebab memang aslinya ditulis di disain buku. Kalau sudah 20 tulisan kasih kata pengantar dan daftar isi, jadi buku. Sebulan jadi satu buku he … he …
Apa ini termasuk ‘pemberontak’ atau memanfaatkan Pak?
—————————-
Wah, salut dan aplaus buat Panjenengan, Pak Ersis. Bisa ngeblog sekaligus mendesain postingan jadi buku. Luar biasa. Kalau bisa sih maunya saya, bahkan mungkin juga blogger yang lain, begitu, hehehehe 😀
Termasuk “pemberontak” juga tuh, Pak, hehehe 😀 Kan masih jarang postingan di blog yang sekaligus didesain jadi buku. 😀
Pingback: Manipulasi, Gado-Gado, Komentar, dan Musuh « f e r t o b
hhmmm… 😕
saya termasuk pemberontak ga ya?? 🙄
yang pasti saya hanya ingin menyuarakan kebenaran <del>padahal isi blog saya banyak yang nggak penting</del>
saya gada bakat pak jadi pemberontak
pertama, karena saya ndak punya nyali buat tereak-tereak sambil sesekali ndagel kayak yang di senayan.
kedua, keinginan dan kesadaran untuk merubah/berubah masih perlu dipupuk lagi.
ketiga, blog saya masih mawut masih perlu di ‘berontak’
————————-
Hehehehe, “pemberontak” nggak perlu bakat, yang penting punya tradisi dan budaya untuk menyuarakan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Kan dah dipraktekkan di blog Sampeyan yang mengungkap tentang kecurangan yang dilakukan oleh para pendidik dalam sebuah lomba seperti itu.
Blog bisa jadi ruang yang tepat untuk menyuarakan nilai-2 itu. Yang penting rutin ngisi aja, hehehehe 😀
*melanjutkan membaca posting terka 😯 it lainya*
fauzansigma’s last blog post..“Kenapa ya orang-orang kita kecanduan sama kedelai?”
Mau Pasang Speedy…? Ga Punya telp…? Kita Bantu Sampai Kring …..Atau mau Buka
Warnet, Wartel, siap jemput data, Rumah, Ke kantor Hub. 021-70812125 / 08176664338
Se-Datel Jakarta Selatan Email: yudi.sahir@yahoo.com
Pingback: Stop Blog Sensasional | MGMP BAHASA INDONESIA SMP
Pingback: Catatan Sawali Tuhusetya
aku tidak mau achh,…