Gaung 17-an telah menggema di seantero tanah air, mulai dari pedalaman, pesisir, pegunungan, hingga ke dusun-dusun yang nyaris tak pernah tersentuh kemajuan. Semua anak bangsa saling berlomba merayakannya, mulai dari baca puisi, karnaval, hingga upacara-upacara. Namun, seringkali kita lupa menyentuh roh dan maknanya. 17-an hanya sebatas dimaknai bagaimana agar suasana yang dibangun tampak rame, meriah, dan gemebyar. Semangat juang yang terkandung di dalamnya nyaris terlupakan.
Padahal, 62 tahun yang silam, para pejuang negeri ini mengorbankan jiwa dan raganya demi menjaga kehormatan dan martabat sebuah bangsa. Mereka yang telah tenang di alamnya, tentu akan merasa sedih menyaksikan kondisi Indonesia yang kini masih silang sengkarut. Korupsi makin menjadi-jadi bagaikan gunung es –jika tutupnya dibuka mungkin seperti kotak pandora– angka kriminal tak juga drop, kemiskinan hampir mencapai 50 juta jiwa, pengangguran masih menguasai sebagian besar kaum muda kita. Quovadis bangsa kita pasca 62 tahun merdeka?
Para pahlawan kita itu tentu tak ingin latah namanya selalu disebut-sebut. Prasasti Tuhan telah mengabadikannya di sebuah tempat yang nyaman dan beraroma wangi yang dikelilingi para bidadari syurga. Mereka sudah tidak punya pamrih apa pun. Yang mereka inginkan adalah menyaksikan negeri yang dulu telah diperjuangkannya menjadi sebuah bangunan negeri yang sejak dulu diimpikan: “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja” (negeri yang subur dan makmur, serba tenteram, dan sejahtera).
Namun, agaknya para kusuma bangsa kita yang telah damai di alamnya sana bisa jadi tak kuasa menahan tangis dan haru tatkala menyaksikan negeri yang dulu diperjuangkan telah banyak dihuni manusia-manusia rakus, besar kepala, mau menang sendiri, suka dendam dan cakar-cakaran, dan miskin kepekaan.
Simak saja puisi Gus Mus berikut ini! (Nuwun sewu dan mohon izin puisi Panjenengan kumuat di sini Gus, terima kasih juga kepada Bung Arief Rahadi)
Rasanya Baru Kemarin (Versi X)
25 Agustus 2005 22:52:53
Rasanya
Baru kemarin Bung Karno dan Bung Hatta
Atas nama kita menyiarkan dengan seksama
Kemerdekaan kita di hadapan dunia. Rasanya
Gaung pekik merdeka kita
Masih memantul-mantul tidak hanya
Dari para jurkam PDI saja. Rasanya
Baru kemarin.
Padahal sudah enam puluh tahun lamanya.
Pelaku-pelaku sejarah yang nista dan mulia
Sudah banyak yang tiada. Penerus-penerusnya
Sudah banyak yang berkuasa atau berusaha
Tokoh-tokoh pujaan maupun cercaan bangsa
Sudah banyak yang turun tahta
Taruna-taruna sudah banyak yang jadi
Petinggi negeri
Mahasiswa-mahasiswa yang dulu suka berdemonstrasi
Sudah banyak yang jadi menteri dan didemonstrasi.
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah lebih setengah abad lamanya.
Petinggi-petinggi yang dulu suka korupsi
Sudah banyak yang meneriakkan reformasi.
Tanpa merasa risi
Rasanya baru kemarin
Rakyat yang selama ini terdaulat
sudah semakin pintar mendaulat
Pejabat yang tak kunjung merakyat
pun terus dihujat dan dilaknat
Rasanya baru kemarin
Padahal sudah enam puluh tahun lamanya
Pembangunan jiwa masih tak kunjung tersentuh
Padahal pembangunan badan
yang kemarin dibangga-banggakan
sudah mulai runtuh
Kemajuan semu masih terus menyeret dan mengurai
pelukan kasih banyak ibu-bapa
dari anak-anak kandung mereka
Krisis sebagaimana kemakmuran duniawi
Masih terus menutup mata
banyak saudara terhadap saudaranya
Daging yang selama ini terus dimanjakan
kini sudah mulai kalap mengerikan
Ruh dan jiwa
sudah semakin tak ada harganya
Masyarakat yang kemarin diam-diam menyaksikan
para penguasa berlaku sewenang-wenang
kini sudah pandai menirukan
Tanda-tanda gambar sudah semakin banyak jumlahnya
Semakin bertambah besar pengaruhnya
Mengalahkan bendera merah putih dan lambang garuda
Kepentingan sendiri dan golongan
sudah semakin melecehkan kebersamaan
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka.
Pahlawan-pahlawan idola bangsa
Seperti Pangeran Diponegoro
Imam Bonjol, dan Sisingamangraja
Sudah dikalahkan oleh Sin Chan, Baja Hitam
dan Kura-kura Ninja
Banyak orang pandai sudah semakin linglung
Banyak orang bodoh sudah semakin bingung
Banyak orang kaya sudah semakin kekurangan
Banyak orang miskin sudah semakin kecurangan
Rasanya
Baru kemarin
Tokoh-tokoh angkatan empatlima
sudah banyak yang koma
Tokoh-tokoh angkatan enamenam sudah
banyak yang terbenam
Tokoh-tokoh angkatan selanjutnya
sudah banyak yang tak jelas maunya
Rasanya
Baru kemarin
(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Sudahkah kalian
Benar-benar merdeka?)
Rasanya
Baru kemarin
Negeri zamrud katulistiwaku yang manis
Sudah terbakar nyaris habis
Dilalap krisis dan anarkis
Mereka yang kemarin menikmati pembangunan
Sudah banyak yang bersembunyi meninggalkan beban
Mereka yang kemarin mencuri kekayaan negeri
Sudah meninggalkan utang
dan lari mencari selamat sendiri
Mereka yang kemarin
sudah terbiasa mendapat kemudahan
Banyak yang tak rela sendiri kesulitan
Mereka yang kemarin mengecam pelecehan hukum
Kini sudah banyak yang pintar melecehkan hukum
Rasanya baru kemarin
Padahal sudah lebih setengah abad kita merdeka
Mahasiswa-mahasiswa yang penjaga nurani
Sudah dikaburkan oleh massa demo yang tak murni
Para oportunis pun mulai bertampilan
Berebut menjadi pahlawan
Pensiunan-pensiunan politisi
Sudah bangkit kembali
Partai-partai politik sudah bermunculan
Dalam reinkarnasi
Rasanya
Baru kemarin
Para seniman sudah banyak yang senang berpolitik
Para agamawan sudah banyak yang pandai main intrik
Para wartawan sudah banyak yang pintar bikin trik-trik
Rasanya
Baru kemarin
Tokoh-tokoh orde lama
sudah banyak yang mulai menjelma
Tokoh-tokoh orde baru
sudah banyak yang mulai menyaru
Rasanya
Baru kemarin
Pak Harto yang kemarin kita tuhankan
Sudah menjadi pesakitan yang sakit-sakitan
Bayang-bayangnya sudah berani pergi sendiri
Atau lenyap seperti disembunyikan bumi
Tapi ajaran liciknya sudah mulai dipraktekkan
Oleh tokoh-tokoh yang merasa tertekan
Rasanya baru kemarin
Habibie dan Gus Dur sudah mencoba sebentar
Menduduki kursi kekuasaan yang terlantar
Megawati yang mendapat giliran dan sudah berusaha
Sekuat tenaga gagal memperpanjang kuasa
SBY yang menggantikan kekuasaan
Terus dicoba cobaan demi cobaan
Jusuf Kalla sudah menggantikan Hamzah Haz di istana
Sambil menggantikan Akbar Tanjung di Golongan Karya
Saifullah Yusuf dan Alwi Syihab sudah menjadi menteri
Meski berbuntut pertikaian dalam partai sendiri
Tokoh-tokoh KPU yang dituding sering memperlihatkan arogansi
Malah banyak yang menjadi terdakwa kasus korupsi
Mantan-mantan calon dalam pilpres dan pilkada
Banyak yang masih tak bisa menerima kenyataan yang ada
Banyak yang demam pesta demokrasi
Ternyata belum bisa menghayati demokrasi
Rasanya baru kemarin
Partai-partai politik sudah menjadi rebutan
Para pemimpinnya sendiri yang melihat kesempatan
Tanpa peduli warga mereka yang rentan
Ormas-ormas pun banyak yang seperti tak tahan
Melihat iming-iming kekuasaan
Rasanya baru kemarin
Wakil-wakil rakyat yang kemarin hanya tidur
Kini sudah pandai mengatur dan semakin makmur
Bahkan rakyat tak perlu lagi berkelahi dan memperkaya diri
Karena wakil-wakil mereka sudah mewakili dengan baik sekali
Insan-insan pers yang kemarin seperti burung onta
Kini sudah pandai menembakkan kata-kata
(Hari ini ingin rasanya
Aku bertanya kepada mereka semua
Bagaimana rasanya
Merdeka?)
Rasanya
Baru kemarin
Padahal sudah enam puluh tahun kita
Merdeka.
Para jenderal dan pejabat sudah saling mengadili
Para reformis dan masyarakat sudah nyaris tak terkendali
Mereka yang kemarin dijarah
Sudah mulai pandai meniru menjarah
Mereka yang perlu direformasi
Sudah mulai fasih meneriakkan reformasi
Mereka yang kemarin dipaksa-paksa
Sudah mulai berani mencoba memaksa
Mereka yang selama ini tiarap ketakutan
Sudah banyak yang muncul ke permukaan
Mereka yang kemarin dipojokkan
Sudah mulai belajar memojokkan
Mereka yang kemarin terbelenggu
Sudah mulai lepas kendali melampiaskan nafsu
Mereka yang kemarin giat mengingatkan yang lupa
Sudah mulai banyak yang lupa
Rasanya baru kemarin
Ingin rasanya aku bertanya kepada mereka semua
Tentang makna merdeka
Rasanya baru kemarin
Pakar-pakar dan petualang-petualang negeri
Sudah banyak yang sibuk mengatur nasib bangsa
Seolah-olah Indonesia milik mereka sendiri
Hanya dengan meludahkan kata-kata
Rasanya baru kemarin
Dakwah mengajak kebaikan
Sudah digantikan jihad menumpas kiri-kanan
Dialog dan diskusi
Sudah digantikan peluru dan amunisi
Rasanya baru kemarin
MUI yang didirikan untuk mendukung rezim lama
Kini sudah mencoba menjelma orsospol ulama
Pendukung-pendukung Islam
Sudah semakin berani mencemari Islam
Masyarakat Indonesia yang berketuhanan
Sudah banyak yang kesetanan
Bendera merahputih yang selama ini dibanggakan
Sudah mulai dicabik-cabik oleh dendam dan kedengkian
Aceh semakin merana
Ambon dan Papua terus terlena
Bangsaku yang sejak dulu dipuja-puja
Kini selalu dihina-hina
Rasanya baru kemarin
Orangtuaku sudah lama pergi bertapa
Anak-anakku sudah pergi berkelana
Kakakku dan beberapa kawanku sudah berhenti menjadi politikus
Aku sendiri masih tetap menjadi tikus
(Hari ini
setelah enam puluh tahun kita merdeka
ingin rasanya aku mengajak kembali
mereka semua yang kucinta
untuk mensyukuri lebih dalam lagi
rahmat kemerdekaan ini
dengan mereformasi dan meretas belenggu tirani
diri sendiri
bagi merahmati sesama)
Rasanya baru kemarin
Ternyata sudah enam puluh tahun kita
Merdeka
(Ingin rasanya
aku sekali menguak angkasa
dengan pekik yang lebih perkasa:
Merdeka!)
Rembang, 17 Agustus 2005
CATATAN: 17 AGustus Tahun 2006, Puisi ini tidak direvisi Gus Mus dengan alasan Kondisi Bangsa Indonesia tidak berubah!
==============
Agaknya, kita sudah terlalu lama terbius oleh hembusan materialisme dan hedonisme yang menilai setiap peristiwa dengan harta benda dan kenikmatan sesaat. Sungguh ironis apabila negeri kita yang sudah 62 tahun merdeka masih suka mengagung-agungkan upacara dan seremoni, tetapi esensi dan roh perjuangan para pendahulu negeri ini justru dipinggirkan, bahkan dibuang entah ke mana.
Meski demikian, sekali merdeka, tetap “M e r d e k a!” Jangan salah memekik dengan ucapan: “Setengah merdeka!”
sepertiga merdeka!
*sesuai lagu indonesia raya yg cuma 1/3*
salam perdjoeangan,
(^_^)
Puisinya bagus (buatan Gus Mus)….
Hidup Indonesia, merdeka!!!
Rasanya baru kemarin…
Untuk Pak Adi Nugroho, matur nuwun silaturahminya. Aku jadi malu, nih, dikunjungi blogger ngetop. Wah, 1/2 merdeka saja pikir-pikir, kok, lha ini malah hanya 1/3 merdeka, ha3x kaya lagu Indonesia Raya yang itu toh, lho! Yang penting, salam merdeka!
Untuk Pak Al-Jufri, wah, entah harus mengucapkan thanks yang ke berapa kalinya kepada Saudaraku yang satu ini. Mau bikin puisi sendiri kok kayaknya nggak bisa sehebat puisi Gus Mus. Ya, sudah main upload saja. Salam merdeka!
Bendera: Nasionalisme & Nafkah
Seperti tahun-tahun yang sudah-sudah, bulan Agustus di tahun 2007 ini pun, kibaran bendera merah-putih kembali semarak di jalan-jalan protokol kota Banda Aceh. Dari yang ukuran menyamai ukuran poster besar hingga ke ukuran telapak tangan yang cuma bisa…
—————
Alhamdulillah, semoga saudara-saudara kami di Aceh makin akrab bersentuhan dengan Sang Merah Putih. Terima kasih telah berkenan berkunjung ke blog saya dan memberikan komentar.
salut sama gus mus..
sedikit sekali orang yang peka dengan penderitaan rakyat seperti gus mus.
salam dari saya untuk gus mus…
———————————-
Jika ingin mengenal Gus Mus lebih jauh, kunjungi website-nya di sini!
potret diri kita dan negara kita apa harus tetap begini! Merdeka….apa hanya sekedar teriak….nyatanya masih banyak yang beralas bumi beratap langit dan telanjang! teriaklah….”MORALNYA MANA….!”
Salut buat Gus Mus yang selalu membuka rasa ini!
begitulah gus mus, mas. lirik2nya cukup kritis, meski tetep terjaga keindahannya.