Bang Ali Syamsudin Arsi, Umbu Landu Paranggi, dan Puisi Gumam

Bahasa

Oleh: Sawali Tuhusetya

Ali Syamsudin Arsi! Sastrawan yang suka menggunakan nick-name “Asa” ini memang sudah tidak asing lagi buat saya. Meski secara geografis terpisahkan oleh laut, selat, pulau, lembah, dan ngarai yang membentang antara Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan, kami merasakan atmosfer pertemanan yang begitu dekat dan akrab. Jalinan komunikasi, via SMS, misalnya, terus intens kami lakukan. Beberapa tulisannya, baik puisi gumam, cerpen, esai, maupun genre tulisan yang lain sudah sering saya publikasikan di blog ini. Beberapa buku karyanya pun sudah sering terbang menuju gubuk saya. Bisa jadi, inilah salah satu keunikan dunia kepenulisan. Meski secara lahiriah belum pernah bertemu, secara imajinatif terjadi pertautan nilai pertemanan; hadir di ruang memori dengan kadar pertemanan yang begitu masif dan intens. Sosok Bang Asa –demikian saya biasa menyapa sastrawan yang tinggal di Jalan Perak Ujung nomor 16, Loktabat Utara, Banjarbaru, Kalsel ini—telah mengisi ruang memori dan imajinasi saya dengan segenap karya dan pemikirannya di ranah sastra, hingga membuat pertemanan kami makin dekat dan akrab.

Kedekatan dan keakraban pertemanan kami makin erat ketika suatu hari Bang Asa mengabarkan –via SMS—bahwa pada 14 September 2013 akan ikut hadir dalam agenda road-show Puisi Menolak Korupsi (PMK) di Unnes Semarang. Kabar ini tentu saja sangat menggembirakan saya. Meski secara imajinatif, sosok Bang Asa sudah terasa dekat dan akrab, tetapi akan makin lengkap jika secara lahiriah bisa bertemu langsung dengan sosok sastrawan yang telah melahirkan “genre baru” puisi-prosa alias prosa-lirik itu. Gayung pun bersambut ketika Bang Asa berniat untuk berkenan mampir ke gubuk saya usai acara road-show itu.

Mendekati hari H, komunikasi makin intens kami lakukan. Sayangnya, saya tidak bisa ikut hadir menyaksikan road-show PMK yang berlangsung di Unnes Semarang pada Sabtu malam, 14 September 2013 itu. Dalam waktu yang bersamaan, ada putra tetangga yang mengidap kanker otak hingga akhirnya meninggal dunia, sehingga saya mesti ikut berbela sungkawa dan berempati kepada keluarga yang tengah berduka. Saya pun terus menunggu kabar Bang Asa pada Minggu paginya.

Kerinduan saya untuk bertemu dengan sastrawan yang juga seorang guru itu bakal tertuntaskan ketika Minggu (sekitar pukul 08.30 WIB), 15 September 2013, Bang Asa bersama dua temannya memastikan telah berada dalam perjalanan menuju Kendal. Seperti biasanya, kalau ada seorang sahabat yang berkenan mampir, baik menggunakan kendaraan umum atau pribadi, jika dari arah Semarang saya sarankan untuk berhenti di depan kantor Polres Kendal untuk selanjutnya saya jemput menuju ke gubuk saya. Sekitar pukul 10.00 WIB, ketika saya tengah mengikuti prosesi pemberangkatan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir, Bang Asa mengabari saya bahwa mobil sudah berhenti di sekitar Polres Kendal. Saya pun bergegas menjemputnya setelah berpamitan dengan Ketua RT dan beberapa tetangga yang lain yang masih tampak khusyu’ mengikuti prosesi pemberangkatan jenazah.

Sekitar pukul 10.15 WIB, akhirnya saya bertemu dengan Bang Asa untuk pertama kalinya. Begitu saya turun dari motor di dekat mobil yang sedang parkir, Bang Asa bergegas turun dari mobil, berjabat tangan, dan merangkul saya. Teman Bang Asa –seorang perempuan– ikut turun dari mobil dan tersenyum ramah. Saya terkejut. Wajah itu seperti sudah pernah saya kenal. Oleh Bang Asa, saya diperkenalkan dengan temannya itu yang ternyata guru SMP 20 Semarang. Sementara itu, teman Bang Asa yang satunya yang berada di belakang kemudi, tampak mengangguk takzim sambil tersenyum ramah. Usai berjabat dan sejenak mengobrol, Bang Asa, dkk. segera saya ajak meluncur ke lokasi gubuk saya. Tidak lebih dari 15 menit perjalanan, gubuk saya dengan segenap kesederhanaannya siap menyambut kehadiran Bang Asa, dkk. dengan ramah.

bang asabang asaAlhamdulillah, akhirnya Bang Asa, dkk. tiba juga di gubuk saya. Kami segera terlibat dalam perbincangan hangat; mulai soal sastra, pertemanan, hingga keseharian. Dalam soal sastra, misalnya, Bang Asa menceritakan seseorang yang dengan nada “keras” pernah memintanya untuk mengirimkan puisinya via pos.

“Ingat, puisinya jangan panjang-panjang! Kirimkan segera lewat pos. Jangan lewat email! Catat baik-baik alamatnya! Cepat!” kata Bang Asa menirukan gaya suara seseorang yang menghubunginya via telepon. Bang Asa pun menuruti permintaan seseorang itu. Dahi saya berkerut.

“Pak Sawali tahu tidak seseorang yang kumaksud?” tanya Bang Asa. Saya geleng-geleng. “Dia Umbu Landu Paranggi!” lanjutnya.

Saya tersentak. Umbu Landu Paranggi? Hem … penyair kelahiran Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, 10 Agustus 1943, diakui atau tidak, merupakan sosok penyair “misterius” sejak 1960-an. Pada tahun 1970-an ia membentuk komunitas penyair Malioboro di Yogyakarta. Walaupun dikenal sebagai mentor berbagai penyair “lulusan” Malioboro terkenal, seperti Emha Ainun Nadjib dan almarhum Linus Suryadi AG, ia sendiri seperti menjauh dari popularitas dan publik. Ia konon sering “menggelandang” sambil membawa kantung plastik berisi kertas-kertas, yang tidak lain adalah naskah-naskah puisi koleksinya. Orang-orang menyebutnya “pohon rindang” yang menaungi bahkan telah membuahkan banyak sastrawan kelas atas, tapi ia sendiri menyebut dirinya sebagai “pupuk” saja. “Kalau ada kata untuk mengungkapkan yang lebih sederhana, saya akan memakainya”, begitu kata salah satu muridnya ketika menggambarkan kesederhaannya. Saat ini Umbu Landu diketahui bermukim di Bali sebagai pengasuh rubrik Apresiasi di harian Bali Post (Dikutip dari wikipedia).

Pada zamannya, dia dikenal sebagai penyair yang sangat berpengaruh di kalangan seniman, khususnya penyair, yang “bermarkas” dan sering menggelar diskusi terbuka di Jalan Malioboro, Yogyakarta, hingga semalam suntuk. Banyak penyair tenar yang berteman sekaligus “berguru” dengannya. Sangat beralasan jika pada tahun ’70 hingga ’80-an menjadi masa subur dunia kepenyairan di daerah istimewa itu. Rupanya, Umbu Landu Paranggi yang kini bermukim di Bali itu masih konsisten dengan dunianya, meski karya-karya kreatifnya sudah jarang bisa saya baca dan nikmati di media massa.

Sementara itu, teman perempuan Bang Asa, yang sering disapa Bu Rini yang guru SMP 20 Semarang itu, juga terlibat asyik dalam perbincangan. Dalam perbincangan itu, akhirnya saya ketahui bahwa Bu Rini ternyata alumnus IKIP Semarang, kakak angkatan saya sekitar tahun 1983/1984. Hem … lagi-lagi dunia kepenulisan menunjukkan keunikannya. Tidak salah ketika saya bertemu dengannya saat penjemputan, saya merasakan wajah Bu Rini terasa sangat familiar di mata saya. Perempuan yang sering menulis puisi dan novel itu sangat fasih berbicara “masa lalu”-nya ketika masih bersikutat memburu ilmu di kampus yang bermarkas di Jalan Kelud yang sekarang berpindah ke Sekaran, Gunung Pati, dan berganti nama menjadi Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu.

Begitulah perbincangan hangat terus mengalir dalam suasana santai dan akrab sekitar 1,5 jam. Sebenarnya saya masih ingin berbincang lebih lama. Selain untuk melepas kerinduan, juga ingin mengetahui lebih jauh atmosfer kehidupan sastra dan kesenian di kota Banjar Baru. Namun, saya tak sanggup menahannya karena Bang Asa mesti terbang kembali ke Kalsel. Sungguh, pertemuan yang mengesankan sekaligus mengharukan. Terima kasih Bang Asa, Bu Rini, juga teman Bang Asa yang belum sempat kenalan lebih jauh yang telah berkenan bertandang ke gubuk kami, semoga kita dipertemukan kembali dalam suasana yang lain.

Untuk mengenal lebih jauh siapa Bang Asa, berikut saya kutipan biodata ringkasnya.

Ali Syamsudin Arsi lahir di Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Prov. Kalimantan Selatan. Kini tinggal di kota Banjarbaru, Prov. Kalsel. Pendiri dan Ketua Forum Taman Hati, diskusi sastra dan lingkungan, bersama M. Rifani Djamhari. Pendiri dan Pembina Sanggar Sastra Satu Satu Banjarbaru.

Menerbitkan 4 buku ‘Gumam Asa’ yang berjudul: 1. Negeri Benang Pada Sekeping Papan (Tahura Media, Banjarmasin, Januari 2009). 2. Tubuh di Hutan Hutan (Tahura Media, Banjarmasin, Desember 2009). 3. Istana Daun Retak (Framepublishing, Yogyakarta, April 2010). 4. Bungkam Mata Gergaji (Framepublishing, Yogyakarta, Februari 2011). Menerbitkan buku kumpulan esai tentang Aruh Sastra Kalimantan Selatan (buku kumpulan esai bersama rekan-rekan: HE. Benyamine, Arsyad Indradi, Harie Insani Putra, Farurraji Asmuni, Tajuddin Noor Ganie): 1.Gagasan Besar, himpunan tulisan Aruh Sastra Kalimantan Selatan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, September, 2011). Buku puisi pribadi yang telah diterbitkan: 1. ASA (1986), 2. Seribu Ranting Satu Daun (1987), 3. Tafsir Rindu (1989 dan 2005), 4. Anak Bawang (2004), 5. Bayang-bayang Hilang (2004), 6. Pesan Luka Indonesiaku (2005), 7. Bukit-bukit Retak (2006).

Buku kumpulan puisi bersama, yaitu: 1. Banjarmasin (1986), 2. Bias Puisi dalam Al-Qur’an (1987), 3. Banjarmasin dalam Puisi (1987), 4. Festival Poeisi se-Kalimantan (1992), 5. Jendela Tanah Air (1995), 6. Tamu Malam (1996), 7. Kesaksian (1998), 8. Wasi (1999), 9. Bahana (2002), 10. Narasi Matahari (2002), 11. Refortase (2004), 12. Dimensi (2005), 13. Taman Banjarbaru (2005), 14. 142 Penyair Menuju Bulan (2006), 15. Seribu Sungai Paris Berantai (2006), 16. Ronce Bunga-bunga Mekar (2007), 17. Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), 18. Bertahan di Bukit Akhir (2008), 19. Menyampir Bumi Leluhur (2010), 20. Kambang Rampai, puisi anak banua (2010) 21. Seloka Bisu Batu Benawa (2011), 21. Bentara Bagang (KSI Tanah Bumbu, 2012). Buku-buku terbitan di luar Kalsel yang memuat karyanya, adalah: 1.Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Medan, 2005), 2. Komunitas Sastra Indonesia, catatan perjalanan (Kudus, 2008), 3. Kenduri Puisi, buah hati untuk Diah Hadaning (Yogyakarta, 2008), 4. Tanah Pilih (Jambi, 2008), 5. Pedas Lada Pasir Kuarsa (Bangka Belitung, 2009), 6. Mengalir di Oase (Tangerang Selatan, 2010), 7. Percakapan Lingua Franca (Tanjung Pinang, Kepri, 2010), 8. Beranda Senja, setengah abad Dimas Arika Mihardja (Jakarta, 2010), 9. Senja di Batas Kata, beranda rumah cinta (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri Jambi, 2011), 10. Kalimantan dalam Puisi Indonesia (Panitia Dialog Borneo-Kalimantan XI, Samarinda Kalimantan Timur (2011), 11. Kalimantan dalam Prosa Indonesia (Panitia Dialog Borneo-Kalimantan XI, Samarinda, Kalimantan Timur 2011), 12. Akulah Musi (Palembang, 2011). 13. Sauk Seloko (Jambi, 2013), 14. Puisi Menolak Korupsi (Forum Sastra Surakarta, 2013), 15. Kepada Sahabat (Dewan Bahasa dan Pustaka, Cawangan Sabah, 2013).

Sebagai editor pada buku-buku: 1. Bahana (Kilang Sastra Batu Karaha, Banjarbaru, 2002), 2. Darah Penanda, antologi pemenang lomba cipta puisi dan cerpen (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008), 3. Taman Banjarbaru (Forum Taman Hati, Banjarbaru, 2005), 4. Di Jari Manismu Ada Rindu (Kumpulan puisi Hamami Adaby, 2008), 5. Bertahan di Bukit Akhir (Kumpulan puisi penulis Hulu Sungai Tengah, 2008), 6. Bunga-bunga Lentera (Kumpulan puisi siswa SD dan SMP seKota Banjarbaru, 2009), 7. Tugu Bundaran Kota (Kumpulan puisi, cerpen dan dramatisasi puisi siswa SD dan SMP Kota Banjarbaru, 2010), 8. Badai 2011 (kumpulan sajak mutiara Hamami Adaby, 2011), 9. Pendulang, Hutan Pinus, dan Hujan (kumpulan puisi Sastrawan Kalsel : Ahmad Fahrawi dan M. Rifani Djamhari, 2011).

Tahun 1999 menerima hadiah sastra dari Bupati Kabupaten Kotabaru. Tahun 2005 menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Tahun 2007 menerima hadiah sastra bidang puisi dari Kepala Balai Bahasa Banjarmasin. Tahun 2012 menerima penghargaan pada acara Tadarus Puisi dan Silaturrahmi Sastra, Pemerintah Kota Banjarbaru melalui Dinas Pariwisata, Budaya dan Olah Raga.

Salam Budaya! ***

6 Comments

  1. Selamat pagi mas, salam kenal. Menarik sekali tulisannya. Semoga pertemanannya langgeng sepanjang masa. Ibarat sebuah pepatah ” Jauh di hati namun dekat di hati “. Mari kita jadikan dunia online ini untuk memupuk rasa kepercayaan dan pertemanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *