Jalan Cerpen : “Meliuk dalam Ruang Pembelajaran”

(“Hai, apa kabar panitia Aruh Sastra Kalimantan Selatan X di kota Banjarbaru.”)
Oleh : Ali Syamsudin Arsi

/ 1 /

Bahasa

Cerpen pertama berjudul “Sama Nama” karya F. Raji Asmuni, cerpen kedua “Santri vs Kiai” karya M. Hasbi Salim, cerpen ketiga “Misteri Ngayau” karya M. Hasbi Salim, cerpen keempat “Senja di Pantai Kuta” karya Mas. Alkalani Muchtar. Keempat cerpen tersebut dapat ditemukan di dalam buku berjudul “Mahligai Junjung Buih”, sebuah buku hasil dari agenda Aruh Sastra Kalsel, diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara Dinas Tata Kota, Kebersihan dan Pariwisata, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, cetakan pertama tahun 2007. Buku tersebut disusun oleh Burhanuddin Soebely dan kawan-kawan.

Selain memuat empat buah cerpen, buku itu didahului oleh banyak puisi. Otomatis buku tersebut merupakan kumpulan puisi dan cerpen. Ada 62 buah puisi hasil kerja keras dari 29 penulisnya, dan 4 buah cerpen dari hasil kerja juang 3 penulisnya. Untuk puisi tercatat nama-nama, yaitu: Abdul Muthalib M, Abidin, Abi Dasufa, Alfian Noor, Amir Husaini Zamzam, Anang Abdul Muin, Arlian Desmon, Darmawinata, Dien Alice, Eftha Enha, Embeka, Fahrurraji Asmuni, Fitriansyah, Harun Al Rasyid, Hendra Royadi, M. Hasbi Salim, Manie Abiemanyoe, Mas. Alkalani Muchtar, Mas Husaini Maratus, Nanang Ramli, Nikmatullah Kamsi, Rosdiansyah Habib, Salamiah, Soepyani A. Iming, Sudarni, Suriansyah, Yatrin, Yusni Antemas, Zayed Norwanto.

Nama-nama serta karya-karya berkelebat di dalamnya, melibas bayang-bayang; sebuah tanya pun melintas, “Dari sekian nama tersebut adakah mereka secara rutin masih menulis, ataukah hanya sekedar singgah di dalam lembar-lembar itu kemudian berlalu dan melambaikan tangan seraya pula berucap, “Selamat tinggal wahai Puisi,” ataukah tersimak kabar bahwa untuk urusan menulis cerpen samar-samar singgah di gendang telinga, “Akh, tidurlah engkau wahai cerpen-cerpenku yang manis dan sungguh engkau sangat manja bila terlelap tanpa harus memikul beban, ya beban hidup yang sarat dan tidak ada keharusan selalu menghadirkan engkau, engkau puisi dan engkau cerpen,” yang lain tak kalah merdu pula, “Selamat malam wahai Cerpen.” Dan, “Tidurlah kalian.” Nama-nama serta karya-karya berkelebat, saling-silang, kadang datang kadang hilang. Sesekali hadir sesekali mangkir. Akhirnya, “Selamat sunyi, selamat sepi wahai Sastra.”

Mereka kembali ke jalan sunyi.

Mempercayai bahwa setiap karya memiliki ‘nasibnya’ maka kepercayaan itu semakin memperjelas bahwa setiap karya tidak lepas juga kepada penulisnya yang memiliki jalannya sendiri. Sampai sejauh apa perjalanan itu adalah sebuah jelajah yang dapat diupayakan olehnya sendiri dan dapat pula oleh yang di luar darinya, pembaca mungkin, pengamat mungkin, atau masuk dalam daftar ketelitian kritikus sastra mungkin. Bahkan ada pula pendapat berseliwaran bahwa sebuah karya yang bagus pada dasarnya tidak memerlukan orang lain membicarakannya karena di dalam pemahaman tersebut terkandung bahwa ‘nasib karya itu telah mampu bicara atas dirinya sendiri’.

Dalam seloroh ‘catatan usil’ ini, penulis tidak dalam kapasitas pengamat atau berlaku sebagai kritikus karya sastra (puisi dan cerpen yang ada di dalam buku kumpulan tersebut) tetapi hanya memulai perbincangan ‘nasib’ dari nama-nama serta karya-karya yang telah begitu banyak dihasilkan oleh seluruh agenda bernama Aruh Sastra Kalimantan Selatan dari tahun 2004 hingga terkini tahun 2012, dan tentu saja diharapkan terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Semoga. Buku berjudul “Mahligai Junjung Buih” tersebut hanya sebagai sebuah contoh, karena masih banyak buku-buku lainnya. Heran bila tidak ada yang membicarakan kandungan di dalamnya. Atau masih menunggu beberapa tahun lagi karena buku serta karya serta nama itu semua akan menemukan nasibnya sendiri. Akh, tidak, tentu saja dapat dimulai sejak dini dan sikap apresiasi pun sudah dipersilahkan bergulir.

Alangkah baiknya bila kita membentuk kekuatan diri sendiri dari seluruh potensi yang dimiliki karena tentu akan lebih kuat menancapkan akarnya daripada berupaya melihat jauh di luar dari diri sendiri. Hal ini memerlukan energi penuh secara kolektif.

Bukan berarti secara individu tidak punya kesempatan untuk melihat dan belajar banyak dunia sastra yang ada di luar sana, tetapi bagian itu tidaklah mesti menjadi kiblat tata cara kita bersastra. Itu tidak ada yang melarang, tetapi bila hanya dengan alasan agar dapat dibaca oleh jumlah yang lebih banyak dan dengan honor yang lebih besar, maka alasan itu tidaklah masuk kepada akar persoalan sendiri, itu hanya sebuah sikap yang ingin menembus popularitasnya saja tetapi bukan kepada hal-hal kesastraan yang sedang berada di sekitar diri kita sendiri. Pemahaman ini pun bukan berarti untuk bersikap ‘asyik sendiri’, tetapi kekuatan bersama mendasar dengan fondasi kokoh adalah bagian terpenting dari sebuah gerakan menuju kesadaran membaca kemampuan yang dimiliki secara bersama-sama pula. Bukan pula untuk menutup diri terhadap apa yang terjadi pada cakrawala sastra di luar pintu rumah kita, tetapi alangkah membahagiakan bila sebelum melangkah keluar terlebih dahulu memiliki bekal yang mantap dari bilik kamar dimana itu merupakan tempat tinggal sehari-hari. Banyak hal, banyak ide, banyak gagasan yang terkandung dan sebanyak itu terasa masih terabaikan. Tak pernah dilirik secara serius dan intens dengan memperhatikan wacana keseluruhan. Ada memang beberapa karya yang diangkat ke permukaan, tetapi masih terlalu banyak yang tersimpan atau memang sengaja diabaikan.

Jangan biarkan mereka berendam lama di kolam kesunyiannya.

Alangkah sering pelaksanaan lomba cipta puisi, lomba cipta cerpen, ada pula lomba penulisan cerita rakyat, pagelaran karya sastra, festival ini, festival itu, ini semua adalah potensi yang luar biasa dan semua masyarakat sastra di seluruh wilayah Kalimantan Selatan merayakannya, mereka datang berbondong-bondong, berbincang, berdiskusi, bersilaturrahim; bila saja suasana kemeriahan itu direkam dengan tayangan layar raksasa maka betapa hiruk-pikuknya sebuah keagungan karya sastra, dan ia akan mampu menjadi lokomotif penggerak sebuah gerak budaya, mau dibawa ke mana arah budaya kita. Dan kita telah sama tahu bahwa ‘identitas atau katakanlah pula sebagai karakter “urang kita” yang dahulunya secara sadar dibentuk dari ragam mitos dan legenda. Mitos dan legenda yang ternyata mampu mengarahkan sikap serta perilaku hidup dan kehidupan masyarakat yang kuat mempercayainya, secara perlahan ia bukan hanya bersifat mistis tetapi menjadi getar-getar jejak kaki ketika melangkah satu demi satu berjalan ke depan menuju tujuannya.

Bila di hamparan luas mata kita memandang, atau ketika banyak suara yang menyatakan bahwa alam lingkungan kita telah porak-poranda, maka apakah kita hanya mampu berdiam diri tanpa berkeinginan untuk melawan atau bahkan mempersiapkan perlawanan sejak dini agar diri kita serta diri anak cucu turunan kita tidak mengalami kepunahan yang sia-sia. Adalah sangat bijak sana bila sejak dini pemahaman bahwa ada kekuatan yang kita miliki dan kita perlu melakukan perseiapan, jalannya adalah dengan transformasi ilmu pengetahuan, pemindahan pengetahuan itu jalan utamanya adalah pendidikan.

Dunia pendidikan terbuka bila ruang keterbacaan dapat diperankan dengan maksimal dan berkesinambungan. Salah satu jalan utama keterbacaan itu adalah melalui hamparan cakrawala kesastraan.

Kembali ke jalan sunyi, dan tidak mesti bersikap diam.

Karena bicara tentang cerpen, bukan hanya bicara alur cerita, latar tempat, latar waktu, tema besar, tema-tema kecil, pembukaan, klimaks, anti-klimaks, penyelesaian; sebuah cerpen adalah pula cermin besar sebuah ide, sebuah gagasan yang terjadi pada sebuah ‘cerita hidup dan kehidupan’, baik cerita yang ada di dalam diri tokoh-tokoh hasil reka-daya penulisnya atau berupa rekam ulang jejak tapak kaki yang sempat dipantau oleh ‘sang dalang-penulisnya’.

Buku tentu saja ia bukan hanya sekedar taman hiburan, buku tentu saja bukan wahana pariwisata, tetapi lebih dari itu buka merupakan cakrawala terhamparnya dunia pendidikan. Cerpen pun sejumlah puisi yang ada, dalam hal ini tentu mampu memberikan ketiga hal tersebut. Nah bagaimana kita menyikapinya.

/ 2 /
Empat cerpen dalam buku “Mahligai Junjung Buih”.

Peristiwa dimulai dengan kehadiran berita lewat sms kawan yang tinggal di Amuntai. Isi berita duka, yang menyatakan bahwa Guru Bahasa Indonesia yang begitu dihormati dan disayangi ketika di SMA telah meninggal dunia. Linda saat menerima sms itu masih berada di kota Banjarmasin, ia kuliah setahun jalan di FKIP Unlam jurusan  PBSID. Jantung Linda terasa mau copot ketika menerima kabar duka tersebut.

Ingatan Linda pun menggiring cerita berbalik arah ke masa yang telah berlalu, bermula dari keterlambatannya sepuluh menit menjelang proses belajar-mengajar, Linda masih diperkenankan masuk mengikuti ruang belajar, walau ada yang protes atas perlakuan tersebut tetapi dengan pemahaman atas aturan sekolah yang tepat maka protes dari salah satu siswa lain pun dapat diterima dengan baik.

Singkatnya, Linda cepat-tangkas bergegas pulang ke Amuntai. Linda tetap bersikap baik, walau ternyata yang meninggal bukanlah seorang guru dalam ingatannya, tetapi orang lain yang namanya sama dengan sang guru kesayangan.

Cerpen tersebut ditutup dengan suasana mengarah kepada humor tetapi tetap terjaga nuansa ‘haru’. Lantas, apakah dampak cerita itu hanya selesai sampai di situ saja. Nah, untuk menjawab pertanyaan itu maka sangatlah penting membuka ruang perbincangan dari segala sisi dan akan memperkaya kandungan cerita; boleh jadi bicara memahami bahwa proses panjang dalam ‘mendidik, membimbing, mengarahkan, dsb.’ terkadang tidak harus dijelaskan-sejelas-jelasnya pada saat yang belum tepat. Proses panjang itu bisa dirasakan sendiri oleh pelakunya, proses panjang itu bisa dipahami setelah menjalani ‘pengalaman’. Nah, cerita tersebut dapat dikupas lebih mendalam, dan cerita itu ada pada “Sama Nama” yang memang berbentuk cerpen berjudul “Sama Nama” karya F. Raji Asmuni, terdapat pada halaman 95-100.

Cerpen  kedua berjudul “Santri vs Kiai” karya M. Hasbi Salim, halaman 101-105. Adalah seorang bernama H. Jarkani yang bermukim di Tanah Haram Mekkah, sebagai seorang TKI illegal yang merasa pusing tujuh keliling lantaran berbagai persoalan hidup, beliau baru saja membaca surat dari istrinya. Isi surat itu menanyakan kapan ia pulang dan membawa hasil kerja di perantauan, atau paling tidak mengirimkan sedikit uang karena di kampung ada empat orang yang menjadi tanggungannya.

Di Mekkah H. Jarkani berprofesi sebagai tukang ojek, mengantar peziarah rumah tuhan untuk mencium Hajar Aswad,  yang setiap saat dapat saja dikejar-kejar oleh Asykar. Adalah Kiai Muhyiddin sebagai orang yang pertama kali membimbingnya mengafal Jurmiah, Nahu, Sharaf dan Al Quran ketika masih di Pondok Pesantren Abnaul Amin Rumpiang dulu. Menjadi akrab mereka. Padahal bagian penting dari keberangkatan H. Jarani adalah untuk dapat memberikan nafkah materi kepada keluarganya, tetapi mengapa menjadi sibuk dengan urusan traktir makan, mungkin bagian ini terlupakan oleh penulis cerita.

“Misteri Ngayau” memberikan pemahaman yang lebih nyaman di luar dari kungkung ingatan kepada sosok yang jauh dari kenyataan sebenarnya. Kesalahan turun-temurun dengan cara pandang yang salah, memberikan gambaran terhadap sosok ‘ngayau’ dengan pemaparan seakan ngayau itu benar-benar ada padahal itu imajinasi yang mencoba dibangun seakan-akan benar ada dan nyata.

Cerpen berjudul “Misteri Ngayau” ternyata bukan cerita tunggal, ada dua cerita di dalam satu cerpen tersebut, dan ini bisa disebut ‘cerita di dalam cerita’, menarik, dan kehadiran cerpen tersebut diungkap pula dengan komunikasi bahasa yang lancar. Enak dan renyah. Hasbi Salim cukup berhasil mengolah cerpen ini.

“Aku” dalam cerpen “Senja di Pantai Kuta” adalah ‘aku’ dari sisi penulisnya (Mas. Alkalani Muchtar) yang berjumpa seseorang dan perkenalan pun berlanjut, entah sampai ke mana tetapi yang jelas garis lurus cerita berhenti dengan perpisahan yang tak bisa ditunda.

Nah.

Keempat cerpen tersebut menampilkan tokoh-tokoh yang diwakilkan kepada nama-nama dan sifat-sifatnya masing-masing, pada beberapa kutipan tergambar bahwa:

Linda yang mahasiswa teringat masa-masa sekolah di SMA dan ada pengalaman yang sulit dilupakan karena sikap mendidik dari seorang bapak gurunya, biasa dipanggil Pak Ruji. Kata Linda, “Sekarang sudah setahun aku duduk di FKIP Unlam Jurusan PBSID. Apa yang beliau katakana itu benar. Perkuliahan kami selalu diwarnai dengan diskusi, debat, dan Tanya jawab. Kalau tidak di forum resmi saat perkuliahan berlangsung, ya, di saat-saat jam kosong. Seandainya sewaktu di SMA dulu Pak Ruji tidak melatih berdiskusi, bertanya jawab, dan berdebat aku akan menjadi mahasiswi pasif. Sekarang dengan modal yang diberikan Pak Ruji itu membuat aku menjadi mahasiswi LANTIH (lancar dan terlatih) dalam berbicara. (halaman 97). Itu terjadi pada cerpen “Sama Nama”.

Dipegangnya erat-erat surat istrinya yang baru diterimanya. Isi surat itu menanyakan kapan ia (H. Jarkani) pulang dan membawa hasil kerjanya di perantauan atau paling tidak mengirimkan sedikit uang buat mempertahankan asap dapur di kampung untuk menafkahi empat mulut. (halaman 101). Kemudian pula: Ketika ia mengeluarkan uang dari dompetnya untuk membayar makanan yang baru ia makan. Mang Udin menolaknya.

“Kenapa, Mang? Nggak doyan uang saya lagi? Ucap H. Jarkani

“Tidak.”

“Lalu kenapa?”

“Kiai Muhyiddin sudah membayar lima porsi buatmu sebelum beliau pulang ke tanah air dua hari yang lalu,”ucap Mang Udin.

“Wah! Kalah aku,” ucap H. Jarkani geleng-geleng kepala. (cerpen berjudul “Santri vs Kiai” pun selesai, halaman 105)

“Apa itu ngayau?” Tanya Pak Johan pura-pura tidak mengerti. Ia ingin mengecek apakah persepsi anaknya tentang ngayau sama dengan yang membekas di batok kepalanya sejak masih anak-anak dulu.

“Ngayau itu kan seorang lelaki asing yang mengenakan pakaian lusuh. Ia membawa karung dan pedang ke mana-mana dan akan memenggal kepala anak-anak di tempat sepi,” ucap Acai. (halaman 107)

Pak Johan tidak tahu harus berkata apa untuk memberikan penjelasan kepada putranya yang cerdas itu. Ingin ia mengatakan bahwa ngayau itu hanyalah tokoh jahat dalam cerita-cerita yang beredar dari mulut ke mulut sejak dahulu. Namun, tidak pernah ada dalam dunia nyata. (halaman 108)

Cerita yang berpindah kepada cerita lain dimulai dari: Pak Johan tiba-tiba teringat peristiwa yang sangat menghebohkan tiga puluh tahun silam. (halaman 109)

“Jangan!” ucap Pak Gurdan dengan suara menggelegar. Kontan saja orang-orang kaget. Pemuda yang bernama Bandi itu berdiri menatap Pak Gurdan dengan mata tajam.

“Jangan halangi kami untuk membunuh lelaki pembunuh anak-anak ini!” ucap Bandi ketus.

“Dia ngayau, Pak! Dan hendak memancung leher anak-anak di kampung kita,” ucap yang lain.

“Mana buktinya?”

“Pisau yang ditemukan di dalam karungnya ini!” ucap Bandi …

“Nanti dulu! Jangan terlalu cepat menuduh orang tanpa bukti-bukti yang kuat!” ucap Pak Gurdan tegas. (halaman 109-110)

“Sesungguhnya berita tentang adanya ngayau atau pencari kepala anak-anak untuk tumbal pembangunan jembatan, gedung dan sebagainya itu adalah isu-isu yang tidak benar, itu sengaja dihembuskan oleh orang-orang yang anti pembangunan,” tegas Pak Gurdan. “Ketahuilah bahwa jauh-jauh sebelum negara kita merdeka isu-isu penghambat pembangunan seperti itu sudah ada,” kenang Pak Gurdan. “Itu sengaja dihembuskan oleh para penjajah dengan maksud agar anak-anak pribumi tidak berani keluar rumah, untuk bersekolah, agar anak-anak bangsa ini tetap dalam kebodohan. Bukankah orang bodoh itu mudah dijajah?” … (halaman 111)

Hasbi Salim telah memberikan jawaban dengan paparan yang jelas terhadap apa sebenarnya ‘ngayau’ itu lewat tokoh-tokoh di dalam cerpennya.

Tentu saja berbeda kisah, berbeda nuansa ‘aku’-nya Mas Alkalani Muchtar dalam cerpen romantic berjudul “Senja di Pantai Kuta”.

Aku yang selalu merindu kepada seorang guru Biologi bernama Metta yang baru dikenalnya.

Bahkan semenjak perpisahan itu, aku tak pernah sedikit pun melupakannya. (halaman 113)

Langit Gilimanuk begitu cerah. Kutelepon Metta melalui handphone yang selalu ada padaku. “Metta, apa kabar?” tanyaku lewat pesawat Hpku. “Hai, Mas, aku sudah tiba di Bali, sekarang aku berada di Tanah Lot, luas dan indah pemandangannya. Seandainya kau ada bersamaku, pasti lebih indah lagi!” Suaranya, senyumnya terus memasuki rongga telingaku, bagaikan bisikan Dewi. Ah, hatiku berdebar-debar. (halaman 114)

/ 3 /
Cerpen-cerpen di dalam buku tersebut hanya sebuah contoh, semoga saja buku tersebut beredar di seluruh sekolah, paling tidak dapat ditemukan di semua perpustakaan di seluruh kabupaten Hulu Sungai Utara.

Membicarakan cerpen-cerpen, nama-nama penulisnya, juga membicarakan puisi-puisi, membicarakan penulis-penulisnya, dapat saja dilakukan tanpa harus menunggu semua karya itu dimuat terlebih dahulu di terbitan yang ada di luar wilayah kita.

Semoga kiprah seorang F. Raji Asmuni, Hasbi Salim, dan Mas Alkalani Muchtar, terbaca oleh seluruh masyarakat minimal di seluruh Kabupaten Hulu Sungai Utara. Sebab bersama penulis lain dalam buku tersebut adalah sebuah potensi yang luar biasa dan sangat menjanjikan untuk sebuah ruang besar bernama keterbacaan, ruang-ruang pembelajaran.

Agenda Aruh Sastra Kalimantan Selatan telah membuka peluang besar untuk bicara tentang itu semua. Aruh Sastra Kalimantan Selatan telah menghamparkan ruang perbincangan terhadap karya-karya sastra ‘urang banua’, dan betapa banyak telah hadirnya karya-karya serupa itu semua. Mengapa kita tidak membicarakannya. Karya-karya itu tentu saja lebih dekat dengan kehidupan kita, lebih dekat dengan budaya kita, tanpa kecuali; karena ia adalah bagian dari kebersamaan kita semua. Bagian dari suasana silaturrahim kita di dalam agenda besar bernama Aruh Sastra.

Aruh Sastra Kalimantan Selatan adalah kekuatan, potensi diri sendiri.

Bangku Panjang Mingguraya, Banjarbaru.
12 Februari 2013

 

No Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *