Dalam postingan saya tentang Bersembunyi di Balik Jargon Eufemisme, saya terkesan dengan komentar Mas Rozy. Beliau saya kenal sebagai seorang bloger yang selalu mengangkat tema-tema religi yang menyentuh dan mengharukan. Saya (hampir) tak pernah absen membaca postingannya. Saya banyak belajar nilai-nilai spiritual yang begitu halus dan menyejukkan dari blog Mas Rozy ini. Saya pun (hampir) selalu meninggalkan jejak komentar di sana. Saya tak begitu peduli, apakah Mas Rozy melakukan kunjungan balik atau tidak? Apalagi, blog saya ini juga saya pasangi adsense yang secara tak terduga menampilkan iklan yang sedikit seronok dan vulgar. Sangat saya maklumi kalau Mas Rozy yang sangat kuat basis spiritualnya itu agak “alergi” terhadap blog yang “menyesatkan” ini. Selain lewat blog, Mas Rozy juga sering melakukan kontak via YM. Bahkan, beliau lebih dahulu menyapa begitu saya terlihat ol. Banyak hal yang kami diskusikan, terutama masalah keagamaan. Tapi dasar seorang “santri abangan”, saya hanya bisa mengamini saja apa kata Mas Rozy.
Saya pun sangat tersentuh ketika Mas Rozy meninggalkan komentar di postingan saya itu. Berikut ini kutipan dan respon saya.
Seperti komentarnya Pak Ersis, menurut saya, Eufemisme dalam berbahasa yg digunakan pemerintah atau pihak manapun untuk memperhalus makna sebenarnya dari sebuah masalah boleh saja dilakukan, sepanjang tidak mengaburkan esensi sebuah masalah atau maksud diambilnya sebuah kebijakan yg membutuhkan penjelasan yg benar-benar nyata dan akurat [jika memang dibutuhkan agar masyarakat tidak merasa di tipu] serta tidak diniatkan untuk menghindari citra buruk ataupun penyembunyian borok-borok yg telah menjadi budaya, juga lari dari masalah yg membutuhkan penyelesaian yg jauh lebih baik dan out put-nya dapat diterima dengan lapang hati secara bersama…[Bisakah se-idealis ini?]
Mohon maaf Pak Sawali,
Duh,
Kalimat terakhir berupa ancaman dan ajakan ya Pak? 🙄
Semoga tidak ya Pak. Jika pemerintah kurang amanah melaksanakan tugasnya, maka tugas kita bersama untuk “menegur”nya dengan berbagai cara yg lebih baik, baik secara lisan maupun tulisan. Karena disadari, amanah mereka jauh lebih berat dari kita, rakyat yg dipimpinnya 😉
Semoga setahap demi setahap kita bisa mendaki tangga perbaikan untuk bersama-sama menuju puncak peradaban yg jauh lebih baik. dan semuanya berawal dari perbaikan diri sendiri.
Wallahu a’lam
Fakhru’s last blog post..Kita Tidak Hidup Sendirian di Dunia Ini
ooo
yup, memang tidak salah, mas rozy, tapi kalau dimaksudkan utk menutup-nutupi kenyataan yang sesungguhnya bisa repot tuh. kapan rakyat bisa mendapatkan informasi yang jelas dan akurat? wew… kok ancaman? Itu sebuah retorika *halah*masihkah kebijakan2 publik yang seharusnya disampaikan dg bahasa yang jelas dan informatif masih dieufemismekan juga? kalau hal itu masih terus berlanjut, bisa jadi rakyat dalam kultur masyarakat paternalistis akan menirunya. dan rakyat tidak bisa disalahkan, toh, hehehehe 😆 yup, amanah yang harus diemban oleh pemerintah memang berat, mas, tapi bukan berarti kita lantas bersikap permisif. Kita harus membiasakan dan membudayan untuk bersikap kritis. bersikap kritis, sepanjang yang saya tahu kok juga bukan hal yang dilarang, asalkan jelas dasar dan argumentasinya.
Mengapa saya terkesan komentar Mas Rozy? Pertama, Mas Rozy saya kenal jarang memberikan komentar, setidaknya di blog saya. Kalau dalam postingan saya itu Mas Rozy ikut andil memberikan respon komentar, itu sebuah berkah buat saya. Kedua, Mas Rozy saya kenal sebagai sosok bloger yang jujur, rendah hari, dan halus tutur katanya. Setidaknya hal ini bisa saya baca dari postingan-postingannya yang (nyaris) tidak pernah menampilkan kata-kata seronok dan vulgar. Selalu mencerahkan. Sangat beda dengan postingan saya yang vulgar, kasar, seronok, bahkan bisa jadi menjadi sumber fitnah.
Komentar Mas Rozy semacam itu saya pahami sebagai sebuah teguran dari seorang sahabat agar saya tidak terlalu jauh menyesatkan pembaca. Marahkah saya? Oh, tidak! Saya justru berterima kasih kepada Mas Rozy yang telah berkenan menegur saya lewat sentuhan kata-katanya yang halus.
Secara jujur, blog ini bisa jadi telah menjadi salah satu sumber dosa-dosa saya. Saya telah banyak menaburkan kebencian kepada para koruptor, menjadi provokator untuk mengkritisi pemerintah yang abai terhadap rakyatnya, menelanjangi para birokrat pendidikan yang salah urus dalam mengelola pendidikan, melempari wajah para anggota DPR terhormat dengan telor busuk yang kehilangan kepekaan terhadap nasib rakyat, atau para pengusaha kaya yang pelit dan biadab yang tega menggusur gubug-gubug kardus rakyat dari kasta varia tanpa ampun.
Argghhh…. Kalau memang itu sebuah dosa, saya tak sanggup lagi mengelola blog ini. Apalagi, saya masih mengalami kesulitan untuk bisa meninggalkan sikap kritis yang cenderung vulgar dan apa adanya itu. Buat apa ngeblog kalau hanya sekadar menumpuk beban dosa? Mas Rozy memang tidak mengatakan bahwa apa yang saya tulis itu sebagai sebuah dosa. Namun, pernyataan: “Kalimat terakhir berupa ancaman dan ajakan ya Pak?” wah, ini tak lebih dari sebuah stigma yang telah memosisikan saya sebagai seorang bloger yang suka mengancam dan mengajak pembaca ke jalan yang sesat. Tak jauh berbeda dengan provokator dan penghasut.
Ah, mudah-mudahan dugaan saya keliru. Meski demikian, saya yang hanya “santri abangan” ini mudah-mudahan masih diberikan kekuatan untuk melafalkan istighfar dan mengagungkan asma-Nya hingga lidah saya kelu sebagai wujud pengakuan dosa-dosa yang bertumpuk di blog ini, baik yang berupa tulisan fiksi maupun nonfiksi. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Mas Rozy yang telah berkenan mengingatkan saya bahwa selama ini saya telah banyak membangun retorika ancaman dan hasutan. Bisa jadi saya termasuk kelompok NATO yang hanya bisa cerewet dan ngomong doang. Ciri seorang bloger yang layak diberi stigma “kurang ajar”. ***