Guru yang Dibenci Sekaligus Dirindukan

Saya seperti diingatkan Mas Moer. Saat blogwalking, saya temukan postingan terbaru yang menarik dan menggelitik “Orasi didepan Guru Dungu”. Menarik karena ditulis oleh seorang siswa sebuah sekolah kejuruan yang usianya belum genap berkepala 2. Menggelitik lantaran bersifat reflektif, sehingga bisa menjadi “warning” bagi segenap komponen pendidikan untuk bersama-sama melakukan sebuah perubahan. Bahkan, postingan tersebut juga dilengkapi sebuah banner “Stop Kekerasan dalam mengajar!” (Lihat bannner karya Mas Moer yang saya pasang di bar samping! Gimana, keren, nggak? Hehehehehe 😆 ) Sebuah “keberanian” yang layak diapresiasi. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana reaksi guru-gurunya ketika membaca postingan tersebut. Geram, tersipu, atau justru diam-diam mengagumi sikap kritis Mas Moer.

Secara tersirat, Mas Moer mengungkapkan kegelisahannya terhadap aksi kekerasan yang berlangsung di sekolah. Dia tidak sedang membual. Dia mengalami sendiri ditendang seorang guru gara-gara nongkrong di atas bangku untuk membetulkan tali sepatunya. *Halah, tragis amat.*

Pada saat yang (hampir) bersamaan, saya mendapatkan tracback dari Bang Guhpraset. Postingannya “GuRu, diGugu ditiRu diGugat dibuRu” masih membicarakan seputar guru. *Halah, sosok guru ternyata masih menarik juga yak untuk diomongkan, hehehehe 😆 * Dengan gaya khasnya, “sederhana, tulus, jujur”, Bang Guhpraset mengungkapkan kesan-kesan “apa adanya” tentang sosok guru yang pernah ditemui sepanjang sejarah kehidupannya. Ada Ibu Guru SD yang mengancam akan menjewer kupingnya jika tidak hapal perkalian 1 sampai 10, ada guru kesenian yang pernah menamparnya berkali-kali, ada Ibu Guru ngaji yang memprogram dan mencuci otaknya untuk membenci ajaran dan penganut agama-agama lain, bahkan ada juga guru Bahasa Indonesia yang suka berbicara dengan melecehkan. *Walah, banyak juga, yak!”

Sepanjang sejarah peradaban umat manusia, kehadiran guru agaknya menjadi sebuah keniscayaan. Kehadirannya diharapkan dapat mewarnai “kanvas” zaman. Di situlah tugas-tugas kemanusiaan dipertaruhkan. Dinamikanya pun mengalami pasang-surut. Kadang-kadang dibenci, tetapi sekaligus juga dirindukan.

Ketika masyarakat dunia menjadi satu atap dalam sebuah peradaban global, guru dihadapkan pada kondisi “anomie” –pinjam istilahnya Durkheim. Pada satu sisi, guru harus menanamkan nilai-nilai luhur hakiki, tetapi pada sisi yang lain, guru juga harus lentur dan fleksibel menghadapi perubahan. Perubahan sudah demikian nyata terjadi di depan mata. Bendera konsumtivisme, materialisme, bahkan juga hedonisme berkibar di setiap sudut dan lapisan masyarakat. Masyarakat makin abai terhadap persoalan-persoalan moral. Bahkan, cenderung bersikap permisif terhadap maraknya penyakit sosial yang berlangsung vulgar dan telanjang di depan mata. Perilaku korup, manipulasi, tawuran antarpelajar, pesta pil setan, atau ulah anomali sosial lainnya sudah dianggap sebagai hal yang wajar.

“Halah, moral itu kan urusan guru di sekolah! Buat apa sih repot-repot ikut ngurusin? Nanti guru ndak ada kerjaan!” Hehehehehe 😆 Bisa jadi pertanyaan semacam itulah yang sempat meluncur dalam layar memori kita.

cuci-otak-siswa.gif

Disadari atau tidak, kini makin banyak keluarga yang ditindih berbagai macam kesibukan. Orang tua dinilai hanya sekadar menjalankan tugas-tugas biologisnya; melahirkan, membesarkan, atau mencarikan pasangan hidup kelak setelah dewasa. Selebihnya, tugas kultural dan kemanusiaan diserahkan guru sepenuhnya. Dalam kondisi demikian, seringkali nilai yang ditanamkan guru di sekolah tidak klop dengan kenyataan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Guru menanamkan nilai-nilai kejujuran, kerendahhatian, keadilan, moral, atau budi pekerti. Namun, apa yang dilihat oleh anak-anak di tengah kehidupan masyarakat sungguh bertentangan secara diametral. Korupsi, arogansi kekuasaan, ketidakadilan, amoral, atau perilaku vandalistis lainnya marak terjadi. Aduh, guru seringkali “stress”, sehingga acapkali tidak sabar dan gagal membendung emosi. Tak ayal lagi, praktik kekerasan seorang guru kepada muridnya pun tak jarang terjadi, atau juga sebaliknya.

Kalau kondisi semacam itu terus berlangsung, idiom “sekolah sebagai agen kebudayaan” bisa dipastikan hanya akan terapung-apung dalam slogan belaka. Semua komponen bangsa harus bersama-sama melakukan perubahan secara kolektif. Apa pun alasannya, motif-motif kekerasan mestinya pantang berlangsung dalam dunia persekolahan. Secara reflektif, Dorothy Law Nolthe, mengingatkan:

Jika anak dibesarkan dengan Celaan, ia belajar Memaki
Jika anak dibesarkan dengan Permusuhan, ia belajar Berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan Cemoohan, ia belajar Rendah Diri
Jika anak dibesarkan dengan Penghinaan, ia belajar Menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan Toleransi, ia belajar Menahan Diri
Jika anakdibesarkan dengan Dorongan, ia belajar Percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan Pujian, ia belajar Menghargai
Jika anak dibesarkan dengan Sebaik-baik perlakuan, ia belajar Keadilan
Jika anak dibesarkan dengan Rasa aman, ia belajar Menaruh Kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan Dukungan, ia belajar Menyenangi Dirinya
Jika anak dibesarkan dengan Kasih sayang & Persahabatan, ia belajar menemukan Cinta dalam Kehidupannya

Semoga akhir tahun 2007 memberikan banyak pengalaman berharga bagi insan pendidikan sehingga mampu merumuskan misi 2008 secara visioner. Untuk selanjutnya, diimplementasikan secara nyata. Semoga! ***

No Comments

  1. ah gantian pertamax…
    bismillahirohmanirrohim…
    terima kasih pak, saya mungkin hanya salah satu dari siswa lain yang disakiti…
    guru memang macam2 sifatnya jadi saya memilih untuk menghormati semuanya…
    selalu hormati guru dan sayangi teman agar saya menjadi murid yang budiman…
    hehehe….

  2. sebagai guru, saya punya beberapa trik kalau mengajar. biasanya 3 bulan pertama saya mengajar penuh kasih dan selalu tersenyum. memasuki 4 bulan, neraka dimulai wakakakak…

    eh enggak deng. saya mah bukan guru, cuma instruktur haha.. 😆 😆

    btw saya suka pesan-pesan dari Dorothy Law Nolthe. ntar coba praktekin ah..

  3. guru, patut digugu dan ditiru. kalau pukul2an dan tendang2an ntar ditiru dan digugu murid pula. jadi ingat IPDN.

    eniwei, murid jaman sekarang juga uedan juga pak guru. bisa bilang ‘ortu gue kan bayar loe mahal, ngapain loe guru marahin gue’. pernah dengar itu pak?

    tambahan, wah ganti theme WP ke the Journalist ya pak guru? Jadi tambah serius. Tulisannya juga tambah matang dan panjang. Sip! Keep blogging…

  4. @ Moerz :
    Mbales hetrix nih ceritanya, hehehehehe 😆
    Oh, ternyata ada juga teman Mas Moer yang menjadi korban, yak!
    Ok, buat apa dendam sih! Nggak ada gunanya, kok, Berbaik-baik sajalah, yak!
    Yak doaku selalu menyertaimu, Mas, *halah* moga2 lulus ujian dengan nilai yang OK banget.
    Kebetulan aku mengajarkan mapel Bhs. Indonesia.

    @ caplang™:
    Komennya jelas banget gitu, kok, hehehehe 😆 Bener Bung Caplang, sebenarnya nggak ada gunanya sih main kasar2an.

    @ cK :
    Instruktur itu juga termasuk guru lho, Mbak, hehehehe 😆 Tapi kan lebih keren. Kalau dipraktikan dalam pelajaran musik. ajaran Dorothy Law Nolthe tuh mesti ok banget, Mbak Chika. Suasana kelas seperti magnet yang mampu menyedot perhatian banyak siswa. Pelajaran jadi *halah sok tahu* menarik dan menyenangkan, bebas dari praktik2 kekerasan.

    @ munggur:
    Betul sekali, pak, nggak ada gunanya sih kekerasan, bahkan malah bertentangan dengan hakikat “halah sok tahu” pendidikan untuk memanusiakan manusia, hehehehe 😆
    Tentang theme hanya suka nyoba2 aja kok, Pak, ntar kalo dah bosan ya ganti lagi lah, hehehehe 😆 mumpung Mr Matt masih berbaik hati. Mau juga belajar nulis yang pendek aja, Pak, biar nggak nyusahin pembaca. Baru mau belajar nih.

  5. Kata seorang sahabat saya, anak harus diajarkan bagaimana berfikir positif. Tentu murid pun demikian dalam hal ini. Korelasi pernyataan ini, dengan tulisan Paman Sawal, tentu perlu dikaji lagi, tapi setidaknya semoga menjadi satu bahan kajian yang lain, demi kemajuan pendidikan, dan sinergi diantara guru dan murid, smoga…
    Terima Kasih, Paman 😀

  6. *ngakak baca komen cK*

    Mengenai pesan dari Dorothy Law Nolthe, saya sendiri melihat kecenderungan bahwa–mungkin–ga semua perlakuan yang menunjukkan (semisalnya) dorongan dan kasih sayang itu sama pada masing-masing orang. Karena ada perbedaan antara bagaimana menyalurkan (semisalnya) dorongan dan kasih sayang, sang objek juga menyikapinya dengan berbeda. Ada guru yang menunjukkan dorongannya kepada murid dengan agak sedikit keras dan disiplin, namun kadang reaksi dari murid itu bisa salah mengartikan tindakan guru sebagai kekerasan. Tapi tauk ah gelap… 😛

  7. @ mbelgedez:
    walah, kalo gitu sayah siap jadi muridnya Mas Mbel, hehehehehe 😆

    @ caplang™ :
    Benar, Bung, tampilan minimalis sehingga loadingnya lebih cepet. ndak merepotkan pengunjung. Jujur saja karena dulu saya ngelihatnya di blog Bung Caplang, hehehehe 😆 Jadi kepingin ngikut.

    @ goop:
    Saya kira benar, Mas Goop. Kalau anak2 ditradisikan berpikir dan bertindak secara negatif, wah makin repot. Dus, memang banyak tantangannya nih Mas Goop mendidik anak2 zaman sekarang. Tapi seneng kok, hehehehehe 😀

    @ rozenesia:
    Yak, perlu ada kesamaan visi dan misi, Mas Roze. setiap institusi pendidikan saya kira punya itu. dengan visi dan misi yang jelas, saya kira akan ada sinkronisasi tindakan antara guru dan murid, sehingga tindakan yang nggak edukatif bisa diminimalisir.

    @ kangguru :
    Sepakat banget Kangguru. 2008 dunia pendidikan kita harus lebih baik, Tetap semangat, Kangguru.

  8. Waduh … terenyuh, banyak memang peserta didik jadi korban guru. Buannnyyyyyak. Saya jadikan refleksi. Semoga guru ‘kembali’ jadi pendidikan, bukan pengajar doang, dan … jangan kurang … a (?).

  9. *merenung*
    .
    .
    coba kalo semua guru kek pak sawali…ndak cuma bijak, tafi juga online-based..
    aihhh…bisa ngirimin fe er lewadh email, dan kalo ndak mudenk, tinggal nanya lewadh kolom komeng…
    kalo mo diskusi, tinggal chatting…selain fraktis, juga ndak munkin ada kekerasan…
    aihh…kafan semua guru kek fak sawali ya? duhh….
    kekna ngeblog juga mesti jadi extrakurikuler sekolah deh :mrgreen:

  10. Entah siapa yang harus dipersalahkan, saya paling tidak suka ketika mendengar anak didik saya mengatakan kalimat ‘Saya, kan bayar, Bu” atau sejenisnya. Itu sangat menyakitkan. Seorang teman bercerita, dia pernah bertanya kepada murid-muridnya seperti ini “Apa yang akan kalian lakukan jika nilai UAN kalian jelek nanti? ” Seorang murid dengan entengnya menjawab “gampang, Bu. Bayar aja”.
    Saya bertanya dalam hati, contoh siapa yang mereka tiru? Adakah kami, para guru, yang salah mendidik mereka?

  11. @ Ersis WA:
    Bener, Pak, itulah fakta yang terjadi dalam dunia persekolahan di negeri ini Pak Ersis. Sepakat sekali kalau guru mesti kembali ke “khittah”-nya, sebagai pengajar sekaligus sebagai pendidik.

    @ bacteria:
    Alhamdulillah kalau Mas Bach ndak mengalami peristiwa tragis. Moga2 baik2 aja, yak. Sebentar lagi kan ujian. Belajar dan berdoa jangan dilupakan. OK?

    @ Hoek Soegirang:
    Walah, merenungnya terlalu berlebihan, Mas Hoek, hehehehe 😆 Saya hanya guru biasa yang kebetulan punya hobi ngeblog, kok, hehehehehe 😆

    @ enggar :
    Ya, ya, bener juga, ya Bu Enggar. Tapi apa pun motifnya, kekerasan tetap bukan jalan terbaik, Bu. Tentang siswa yang dengan gampang bilang “dengan uang, semuanya akan beres”, walah, ini saya kira juga akibat demikian parahnya budaya instan yang telah mengakar dalam masyarakat kita sehingga siswa didik tak mau belajar keras. Ini tantangan besar buat para guru seperti kita ini, Bu.

  12. Bukankah secara gampangnya guru adalah suatu pihak yang meberikan atau menjadi perantara lahirnya suatu pengetahuan?
    Jadi orang tua pun guru, alam pun guru … jadi kenapa mesti menimpakan kesalahan pada PROFESI guru?
    *********
    Ssssttt jangan dianggap serius pendapat saya ini. Lha saya hanya membela guru kok :mrgreen:

  13. @deKing

    pak guru tersindir ya? 😛 😀

    ya jangan sampe deh jdi guru yg seperti ini

    Surabaya – Guru, digugu dan ditiru. Namun untuk kasus satu ini ungkapan ini tak layak diikuti. Sepasang guru dari SDN Menanggal 601 Jalan Wisma Menanggal No 35 Surabaya ketahuan berbuat mesum.

    Perbuatan asusila ini terbongkar oleh salah satu guru bernama Siti yang tanpa sengaja menemukan Compact Disk (CD) yang berisi gambar mesra kedua guru tersebut di laboratorium komputer sekolah, akhir November lalu.

    Guru yang terlihat dalam kondisi bugil dan bermain seks tersebut berinisial S, guru PNS bidang olahraga dan DN seorang guru tidak tetap yang mengajar bidang studi IPA.

    Setelah menemukan file berjudul ‘Bulan Madu’ tersebut, Siti langsung melaporkan ke kepala sekolah. Namun oleh kepala sekolah bernama Dra Budiarti tidak ditanggapi.

    “Kepala sekolah waktu itu malah mengancam akan melaporkan guru yang menemukan film tersebut dengan alasan pencemaran nama baik,” kata Ketua Komite Sekolah, Sutrisno ketika ditemui wartawan di Komisi D DPRD Surabaya Jalan Yos Sudarso Surabaya, Senin (17/12/2007).Dia melaporkan temuannya ke DPRD Surabaya.

    Sikap kepala sekolah yang terkesan melindungi pelaku membuat resah kalangan wali murid. Sebab, kabar itu sudah menyebar cepat. Karena proses belajar mengajar tidak kondusif, wali murid melapor ke komite sekolah. Pihak komite sekolah pun melaporkan ke badan pengawas (Bawas) Kota Surabaya dan DPRD Surabaya.

    Komite sekolah juga membawa bukti berupa CD yang berisi foto-foto perbuatan asusila kedua orang tersebut. Sutrisno menambahkan, hingga saat ini pihak komite sudah mengeluarkan DN yang menjadi guru tidak tetap. Sedangkan S masih aktif mengajar.

    Pasangan guru tak senonoh ini sebenarnya sudah bukan menjadi rahasia umum, Berdasarkan keterangan dari guru-guru, lanjut Sutrisno, kedua guru tersebut terlihat bermesraan sejak berbulan-bulan lamanya.

    “Mereka sering kepergok kadang berciuman di dalam lingkungan sekolah,” paparnya.

  14. Postingan bagus Pak Guru, sebuah refleksi yang harus di-lihat, di-baca oleh para Guru-Guru se-antero bangsa ini…

    Jika anak dibesarkan dengan Kasih sayang & Persahabatan, ia belajar menemukan Cinta dalam Kehidupannya

    Se-harus-nya seperti ini, tapi kapan semua ini bisa ter-jadi?
    Tanpa ber-maksud me-nafi-kan keberadaan Guru-Guru yang memang masih memiliki kasih sayang sebagai seorang Guru

  15. Yup Pak. Semoga sinergi benar2 bisa diwujudkan dan bukan sekedar wacana tanpa aksi, oleh segenap komponen (orang tua, guru, pemerintah juga anak didik itu sendiri) yang berkaitan dengan kelangsungan nasib anak-anak didik sebagai generasi yang diharapkan mampu dan layak untuk meneruskan perjalanan bangsa ini ke arah yang lebih baik dari segala sisi (terutama akhlak/moral)..

    Selamat Berjuang Pak Sawali dan para guru juga semua.

    Wassalam

  16. Wah kalau menurut saya guru tidk boleh terlalu berlebihan dalam menghukum tapi juga tidak boleh terlalu lembek, ya harus sedang2 saja begitu. Toh guru yang streng belum tentu seorang guru yang baik. Benar meskipun carut marut dan wajah bopeng pendidikan di negeri kita tanggung jawab seluruh komponen bangsa tapi sudah sepatutnya para guru dan juga pakar pendidikan kita berbuat lebih daripada komponen2 bangsa lainnya dalam mengoperasi plastik memoles wajah pendidikan kita. Bukan karena nanti jikalau dikerjakan bersama, guru jadi nggak ada kerjaan, ya bukan begitu, :mrgreen: namun ini justru memberikan kesempatan bahwa guru dan ahli2 pendidikan bisa ‘unjuk gigi’ kayak begini —-> :mrgreen: dan posisi guru tentu dapat terangkat dengan sendirinya, sehingga profesi guru tidak dipandang sebelah mata lagi oleh masyarakat. 😀

  17. Saya terlambat nih ceritanya! Gak dihukum khan?! hehehehehehe

    Maaf, untuk semua saja, kekerasan bukanlah cara terbaik, tapi bukan berarti kekerasan tak perlu, semua ada porsinya dan ada tempatnya..

    Saya kira Rasulullah SAW adalah orang yang sangat kasih sayang dan cinta damai, tapi ketika Nash Perang telah turun, mau tak mau, beliau harus berangkat perang juga. Perang khan kekerasan.

    Saya tak hendak menjustifikasi kekerasan, saya hanya bilang, semua ada tempat dan proporsinya. Kekerasan tak layak ada di dunia pendidikan. Sebaiknya, kasih sayang dan cinta lebih mengemuka ketimbang kekerasan. Ada waktu di mana harus lembut dan sabar dan ada waktu harus tegas tanpa kekerasan. Alhamdulillah, hingga sekarang tak terjadi kontak fisik antara saya dan murid saya.

    Saya ikut prihatin dengan yang terjadi pada mas moer, juga prihatin dengan gurunya. Kesalahan sepele yang diperbuat mas moerz memiliki rentetan cerita panjang yang kemudian ditanggapi dengan kekerasan yang dilakukan oleh gurunya yang juga memiliki sejarah panjang kekecewaan.

    Saya hanya ikut berduka cita dan berbela sungkawa.

    Terakhir, jangan budayakan kekerasan dan yang terpenting jagalah diri kita untuk tidak menjadi penyulut dan penyebab kekerasan itu timbul atau malah menjadi pelakunya.

  18. @ deKing yang biasa2 saja :
    Hahahahahaha 😆 Guru pada era sekarang, termasuk saya, Pak deKing, hehehehehe 😀 , agaknya juga perlu belajar menerima kritik, Pak. Saya kira sepanjang kritik tersebut positif utk meningkatkan mutu pendidikan, sekeras apa pun, bisa kita terima, termasuk kritik dari seorang siswa semacam Mas Moer itu.

    @ dobelden :
    Walah, kalau guru sdh terlibat dalam kasus semacam itu, waduh, angkat tangan deh saya, Mas, biar masyarakat yang menilai :mrgreen:

    @ extremusmilitis :
    Harus dimulai sekarang juga Bung Militis, hehehehehe 😆 Kalau hubungan guru dan murid dilandasi perhatian dan kasih sayang, penanaman nilai2 luhur hakiki, bisa jadi akan mudah merasuk dalam kalbu siswa didik. Kalau sebaliknya, justru mungkin tindakan agresif yang akan muncul.

    @ Fakhrurrozy :
    Sepakat Mas Rozy. Semua komponen bangsa harus bersinergi utk meningkatkan mutu pendidikan. Tdk hanya diserahkan sepenuhnya kepada sekolah atau guru.

    @ Yari NK :
    Sepakat Bung Yari. Harus tarik-ulur. Tapi kalau hukuman fisik seperti yang dialami Mas Moer, apa pun motifnya tetap nggak bagus untuk kepentingan dunia pendidikan. Memang benar, peran kaum pendidik sangat besar dalam peningkatan mutu pendidikan, Bung, tapi perlu dukungan riil dari seluruh komponen bangsa.

    @ gempur :
    Setuju, pak Gempur. Jangan jadikan sekolah sbg ajang pamer kekuatan fisik. Ndak bagus jadinya utk masa depan dunia pendidikan :mrgreen:

  19. yup, setuju banget dgn pendapat pak sawali.
    gak ada manfaatnya mendidik muri ddgn kekerasan dll, cuma nambah dosa! 😀
    apa yg dibilang Dorothy Law Nolthe perlu ditempel di setiap kelas, jadi biar guru gak lupa n melaksanakan PBM dgn kasih sayang. piss!! :mrgreen:

  20. Anti kekerasan, rindu kekenyalan ….

    *ditimpuk pak Sawali*

    Memang ada beberapa kasus guru yang menggunakan kekerasan dalam mengajar, namun guru yang baik saya yakin tahu bagaimana mendidik siswanya tanpa harus menggunakan kekerasan.
    Contohnya pak Sawali :mrgreen:

  21. @ Sayap KU:
    Oh, kerja kemanusiaan yang mulia sekali itu. Semoga sukses, yak!

    @ Sarah:
    OK, memang seharusnya begitu. Penuh perhatian dan kasih sayang, hehehehe 😆

    @ eNPe :
    Bener sekali, Bu. Saran yang bagus tuh Bu Ita. Jika perlu ditulis dengan huruf yang besar2, hehehe 😀

    @ sigid :
    Ditimpuk? Maksudnya kekenyalan itu apa Pak Sigid, hehehehehe 😆
    Menang perlu tindakan yang proporsional, pak, tidak asalh main kasar aja, hehehehe :mrgreen:
    Walah, kok contohnya saya. Saya hanya guru biasa2 saja, Pak Sigid.

  22. Ops, sampai kelupaan kasih komentar sesuai isi tulisan :). Tentu saja saya tidak menyetujui adanya kekerasan dalam lingkungan sekolah, apapun alasannya.

  23. Guru yang banyak dituntut kasihan juga yaa… padahal sebegitu beratnya tugas yang diembannya…
    tapi ituh gambar mewakilikikah dengan knodisi sekarang pak? murid2 seperti botol2 minyak yang diiisi… 🙂

  24. @ reiza:
    Bener sekali, kawan. Kalo anak2 didekati dengan penuh sentuhan perhatian dan kasih sayang, mereka akan jadi anak baik juga, kok, tanpa harus melalui kekerasan.

    @ kurtubi:
    Hehehehehehe 😆 Gambaran siswa sekarang ini kayaknya seperti itu Mas Kurt. Diperlakukan sebagai objek yang harus menerima kucuran ilmu dari sang guru, tanpa memiliki kesempatan untuk melakukan pemahaman dan pendakaman.

  25. Duh, saya tetap membela seorang guru, hehehehehe. Kalau muridnya bisa menempatkan diri sebagai siswa teladan, disiplin, dan menimba ilmu dengan sungguh-sungguh saya rasa gurunya itu tidak akan sembarangn bertindak. Kalau masih bertindak kejam terhadap muridnya, saya kira orang itu tak lagi pantas kita sebut sebagai guru.

  26. Saya turut merasa prihatin dengan apa yang di alami oleh Moerz. Sejauh yang saya tahu di sekolahan kita belum ada pelajaran tentang budi pekerti ya, Pak. Yang lebih mengecewakan lagi orang tua murid lebih tertarik mendidik anaknya bagaimana mencari duit daripada mengajarkan budi pekerti. Moga saya tidak begitu ya.

  27. @ Hanna yang lagi bersemadi:
    Username-nya kok menakutkan toh, Mbak, hehehehehe 😆
    Bener, juga ya, Mbak. Ya, agaknya memang perlu sinergi antara orang tua dan sekolah agar anak2 negeri ini cerdas secara intelektual, emosional, sosial, dan spiritualnya. OK, Mbak, makasih!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *