Gerah Gara-gara Guru

25 November telah ditetapkan sebagai Hari Guru Nasional, bersamaan dengan HUT PGRI. Menurut rencana, puncak peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2007 akan dipusatkan di Pekanbaru, Riau, yang akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat teras pendidikan lainnya. Untuk ke sekian kalinya, guru dihadirkan di ruang publik. Upacara digelar di seantero negeri, mulai dari pusat ibukota hingga dusun-dusun terpencil. Semua siswa didik mengangkat tangan tanda hormat tingginya marwah guru dalam membimbing mereka meraih masa depan. Lirik Hymne Guru disenandungkan dengan rasa haru yang menyesak di dada. Para guru hanya bisa menunduk mendengarkan senandung pujian dan sanjungan. Tak kalah harunya menyaksikan siswa didiknya yang begitu tulus memberikan kado “Hymne Guru“.

Ya, ya, ya, ibarat serdadu, guru di medan pendidikan mengemban misi memerdekakan generasi bangsa dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Mereka berada di garda depan dalam “menciptakan” generasi-generasi muda yang cerdas, terampil, tangguh, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, berwawasan luas, memiliki basis spiritual yang kuat, dan beretos kerja andal, sehingga kelak mampu menghadapi kerasnya tantangan peradaban.

Mengemban misi tersebut jelas bukan tugas yang ringan. Selain harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup, guru juga dituntut untuk memiliki integritas kepribadian yang tinggi dan keterampilan mengajar yang dapat diandalkan, sehingga mampu menciptakan iklim belajar mengajar yang kondusif, sehat, dan menyenangkan. Hanya dengan bekal ideal tersebut, guru akan tampil sebagai figur yang benar-benar mumpuni, disegani, dan digugu lan ditiru (dipercaya dan teladani). Menurut versi UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen dan PP 19/2009 tentang Standar Nasional Pendidikan, guru mesti memiliki kualifikasi akademik yang dipersyaratkan dan menguasai empat kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional).

Sementara itu, jika kita melihat fakta di lapangan, banyak kalangan mulai meragukan kapabilitas dan kredibiltas guru. Perannya sebagai pengajar dan pendidik mulai dipertanyakan. Misinya sebagai pencetak generasi pinunjul –terampil dan bermoral—belum sepenuhnya terwujud. Para pelajar kita justru kian menjauh dari kondisi ideal seperti yang diharapkan. Yang lebih memperihatinkan, para pelajar itu dinilai mulai kehilangan kepekaan moral, terbius ke dalam atmosfer zaman yang serba gemerlap, tersihir oleh perikehidupan yang memburu selera dan kemanjaan nafsu, terjebak ke dalam sikap hidup instan. Tawur antarpelajar merajalela, pesta “pil setan” menyeruak, pergaulan bebas semakin mencuat ke permukaan.

handsphere.jpg

Zaman memang sudah berubah. Modernisasi yang melanda berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dinilai memiliki imbas yang cukup kuat dalam memengaruhi sikap dan pola hidup masyarakat. Pergeseran nilai menyergap di segenap lapis dan sektor kehidupan. Nilai kesalehan, baik pribadi maupun sosial, mulai dikebiri dan dimarginalkan. Nilai-nilai lama yang semula dipegang kukuh mulai memudar.

Orang mulai semakin tidak intens dalam memburu jatidiri yang lebih bermartabat. Perburuan gengsi yang berkembang dalam kelatahan membuat orang mengejar keberhasilan secara instan, entah melakukan korupsi atau usaha magis melalui cara mistis dalam memperoleh kekayaan. Pada hakikatnya mereka gemar menempuh terobosan dan “jalan kelinci” dengan sukses gaya “Abu Nawas”. Kursi empuk kepejabatan, titel, dan kedudukan keilmuan pun tak jarang disergap melalui kelancungan dalam ilmu permalingan” (Slamet Sutrisno, 1997).

Dalam kondisi masyarakat yang demikian itu, petuah dan nasihat luhur tentang budi pekerti hanya menjadi slogan moral yang kehilangan basis spiritualnya. Masyarakat menjadi semakin masa bodoh dan cuek terhadap masalah-masalah moral. Masyarakat yang diharapkan menjadi kekuatan kontrol terhadap segala macam bentuk perilaku kejahatan justru makin menunjukkan sikap permisif, membiarkan setumpuk dosa berkeliaran di sekitarnya.

Pergeseran nilai yang melanda masyarakat modern, agaknya juga membawa dampak terjadinya pergeseran penilaian masyarakat terhadap dunia pendidikan. Urusan pendidikan anak-anak hanya dibebankan kepada lembaga pendidikan (sekolah), sehingga kalau ada pelajar yang terlibat dalam perilaku amoral, misalnya, masyarakat dengan enteng menuding guru sebagai biangnya, lantaran dianggap telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pendidik.

Seiring dengan itu, posisi sosial guru dalam strata masyarakat pun tampaknya juga mulai bergeser. Guru tidak lagi memiliki legitimasi sosial yang terhormat dan bermartabat. Guru tidak lagi dijadikan sebagai sumber informasi, bahkan dalam banyak hal guru tidak lagi dijadikan sebagai patron teladan. Peran guru di masyarakat sebagai sumber informasi telah digantikan oleh “anak buah” teknologi yang lebih canggih lewat media televisi dan internet. Makna luhur yang tersirat di balik hymne guru “Pahlawan tanpa Tanda Jasa” pun nadanya telah berubah menjadi sebuah elegi getir yang sarat parodi dan sindiran.

Sosok guru yang bermartabat dan terhormat pernah muncul ketika insitusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan dan padepokan yang begitu bersahaja. Konon, guru atau resi pada masa itu benar-benar menjadi figur anutan, berwibawa, dan disegani. Apa yang dikatakan sang resi merupakan “sabda” tak terbantahkan.

Institusi pertapaan tak ubahnya “kawah candradimuka”, tempat seorang resi menggembleng para siswa (cantrik) agar kelak menjadi sosok yang arif, tangguh, kaya ilmu, memiliki kepekaan moral dan sosial yang tinggi. Di mata masyarakat, kehadiran sang resi pun begitu tinggi citranya; bermartabat, terhormat, dan memiliki legitimasi sosial yang mengagumkan. Masyarakat benar-benar respek terhadapnya. Apresiasi masyarakat terhadap “profesi” resi atau guru sangat kental sehingga tidak jarang sang resi menjadi sumber “sugesti” atau sumber inspirasi masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul.

Apakah guru masa kini masih mampu menginternalisasi sifat-sifat seorang resi dalam mengemban misinya sebagai pengajar dan pendidik? Masihkah masyarakat memiliki apresiasi yang cukup baik dan memadai terhadap profesi guru? Mampukah lembaga pendidikan (sekolah) dengan fasilitasnya yang lebih komplit dan modern mencetak manusia-manusia “unggul”?

Agaknya mengharapkan sosok guru yang pinunjul, mumpuni, dan disegani seperti yang tergambar dalam figur seorang resi terlalu berlebihan pada saat ini. Di hadapan siswanya, kata-kata guru bukan lagi “sabda” yang mesti diturut.

Untuk menaikkan pamor guru, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen pun diluncurkan. Untuk itu, guru perlu menempuh uji sertifikasi pendidik. Jika lulus mereka akan mendapatkan sertifikat sebagai bukti bahwa mereka layak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Persoalan apakah sertifikasi guru mampu mendongkrak mutu pendidikan yang selama ini tersaruk-saruk, itu persoalan lain.

Yang tidak kalah memprihatinkan, hingga saat ini guru belum benar-benar menjadi profesi yang “merdeka”. Mereka gampang dipolitisir dan dipengaruhi oleh hegemoni kekuasaan. Masih ingat kasus yang menimpa Kelompok Air Mata Guru dalam Ujian Nasional di Medan beberapa waktu yang lalu? Ya, kelompok guru yang ingin membongkar berbagai praktik kecurangan tentang pelaksanaan UN justru diintimidasi dan ditekan. Sebuah tindakan “kekanak-kanakan” yang seharusnya tidak perlu terjadi. Agaknya, banyak pihak yang merasa gerah gara-gara guru. Bagaimana mungkin guru mampu mendidik anak-anak bangsa negeri ini menjadi generasi yang cerdas dan kritis kalau guru selalu diposisikan dalam keadaan tertekan? Apakah guru harus ikut-ikutan bersikap permisif dengan membiarkan berbagai kecurangan dan manipulasi berlangsung telanjang di depan mata?

Selain itu, guru tak jarang dijadikan “kendaraan” untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Guru tidak punya banyak pilihan. Kebebasan dan kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat telah dibatasi oleh simbol-simbol tertentu. Guru harus menjadi sosok yang nrima, pasrah, dan tidak banyak menuntut. Kondisi semacam itu diperparah dengan harapan masyarat yang terlalu “perfeksionis” dan berlebihan. Dalam kondisi yang belum sepenuhnya bisa menjadi sosok “merdeka”, masyarakat tetap menuntut agar guru tetap memiliki idealisme sebagai figur pengajar dan pendidik yang bersih dari cacat hukum dan moral.

Beratnya beban yang mesti dipikul guru masa kini jelas memerlukan perhatian serius dari berbagai kalangan untuk memosisikan guru pada aras yang lebih proporsional dan manusiawi. Reaktualisasi peran dan gerakan penyadaran dari semua pihak sangat diharapkan untuk memulihkan citra guru.

Guru harus lebih meningkatkan profesionalismenya sehingga tidak “gagap” ketika mengemban misinya sebagai penyemai intelektual, pemupuk nilai kemanusiaan, dan penyubur nilai moral kepada peserta didik. Tentu saja, misi luhur guru ini harus diimbangi dengan intensifnya pendidikan keluarga di rumah. Orang tua harus mampu mengembalikan fungsi keluarga sebagai basis penanaman dan pengakaran nilai moral, budaya, dan agama kepada anak, sehingga mereka mampu mengontrol perilakunya sesuai ajaran-ajaran luhur. Sedangkan, pemerintah perlu segera merealisasikan janjinya untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang sudah jelas landasan hukumnya, yaitu UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

Yang tidak kalah penting, apresiasi masyarakat terhadap profesi guru harus proporsional dan manusiawi. Guru bukanlah “dewa” atau “nabi” yang luput dari cacat dan cela. Kalau ada guru yang terlibat dalam kasus amoral, misalnya, hal itu memang kurang bisa ditolerir. Namun, juga terlalu naif jika buru-buru menghujatnya tanpa menyikapinya secara arif.

Sebagai serdadu pendidikan, kita semua jelas tidak menginginkan guru tampil loyo dan tidak berdaya memanggul beban di pundaknya. Memikirkan dan memberikan apresiasi yang cukup proporsional tentangnya identik dengan memikirkan nasib masa depan negeri ini. Sebab, generasi yang cerdas, terampil, dan bermoral tinggi yang kelak akan memimpin negeri ini, tidak luput dari sentuhan tangan sang guru. Yang tidak kalah penting, kembalikan “kemerdekaan” kepada guru agar mereka mampu menjalankan profesinya secara mandiri dan otonom, terbebas dari intervensi dan reduksi hegemoni kekuasaan. Sudah saatnya guru kembali ke “fitrah”-nya sebagai sosok yang bebas dan merdeka sehingga mampu menjalankan fungsi dan perannya secara optimal dalam upaya melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kritis, kreatif, berbudaya, bermoral, dan berperadaban. Nah, bagaimana? ***

Dirgahayu Guru Indonesia!!!

AddThis Social Bookmark Button

No Comments

  1. Pertamax?

    Bagi saya, minimal, guru telah berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin (sekarang). Ada yang baik, banyak pula koruptor. Yang paling menyedihkan, anak didik guru —mudahan bukan anak harimau— gairahnya surut manakala meningkatkan kesejahteraan guru secara nyata. Semoga cepat sadar, dan kesadaran ditumpahkan untuk guru. Amin.

  2. Tidak saja institusi pendidikan yang bisa dipersalahkan oleh kebobrokan perilaku dan karakter anak-anak kita sekarang tapi juga lingkungan masyarakat yang terkecil yaitu keluarga. Saya terkadang mengelus dada bahkan rasanya kata-kata pun sudah hilang entah kemana menghadapi tingkah pola anak didik.
    Menurut saya, ada baiknya anak-anak sejak dini diajarkan untuk belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman mereka yang berbeda strata sosialnya. Contoh sederhana, dengan memasukkan mereka ke sekolah biasa, dimana semua lapisan masyarakat bertemu. Dibanding menyekolahkan anak ke tempat dimana satu kalangan tertentu berkumpul. Walaupun saya bisa memahami dan mengerti alasan orang tua. Itu sah-sah saja, bukan? Sejauh pendidikan dari keluarga pun ikut andil memberikan pengaruh yang positif. Karena bagaimanapun membentuk mereka menjadi pribadi yang baik bukan hanya tugas guru semata.

  3. Dulu semasa jadi siswa SD saya sering menyanyikan lagu Hymne Guru saat upacara bendera. Tapi, saya belum mengerti makna syair lagunya. Ya, waktu itu baru sebatas seremonial belaka, maklum masih anak-anak.

    Sekarang, ketika saya jadi guru, saya baru nyadar, ada kegetiran makna di balik sanjungan syair lagu tersebut.

    Sang pahlawan tanpa tanda jasa, sangat senang bila anak didiknya berhasil, sukses, dan jadi “orang”. Tapi, sayang banyak di antara mantan anak didik tsb yang ketika sudah menjadi “orang”, memegang jabatan, lupa akan sang pahlawannya. Akibatnya sang pahlawan, sebagiannya, berteriak mengemis untuk memperbaiki nasibnya. Bila para mantan anak didik itu sadar, dan mau membalas jasa baik pahlawannya, mungkin kejadian tsb (sang pahlawan yang terpaksa mengemis kesejahteraan) tak akan pernah terjadi. Sehingga, sang pahlawan pun bisa dengan tenang mengantar anak didiknya ke masa depan dengan baik.

    Wahai para mantan anak didik (saya pun jadi ikutan mengemis deh.,..) sadarlah dan hargailah sang pahlawanmu..!!! 😀

  4. Apakah guru masa kini masih mampu menginternalisasi sifat-sifat seorang resi dalam mengemban misinya sebagai pengajar dan pendidik?

    Pasti sih tidak Pak Guru, tapi patut di-coba dan kemungkinan itu akan selalu ada selama seorang Guru mau kembali ke “asal-nya” sebagai orang yang di-gugu oleh siswa-siswi-nya 😉

    kembalikan “kemerdekaan” kepada guru agar mereka mampu menjalankan profesinya secara mandiri dan otonom, terbebas dari intervensi dan reduksi hegemoni kekuasaan

    Sangat setuju dengan yang satu ini Pak Guru, mungkin ini juga salah satu alasan ke-tidak mampu-an sebagian oknum-oknum Guru tidak bisa men-jalan-kan tugas-nya dengan baik 🙂

    Pro dan Kontra yang terus terjadi saat ini dalam posisi Guru sebagai pendidik sebenar-nya harus di-sikapi dengan melihat perspektif ke-dua belah pihak yang aku yakin bisa sedikit banyak meng-hasil-kan solusi yaitu dari masyarakat yang membutuh-kan pendidikan dan juga guru sebagai orang yang memilih profesi untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat yang berarti harus siap secara moral dan mental. Analogi-nya mungkin seperti seorang ahli ke-rohani-an, tidak mungkin bisa mem-berikan pencerahan rohani kepada umat-nya kalau dia sendiri tidak bisa mem-bukti-kan kalau dia melaksana-kan hal-hal rohani yang di-ajar-kan-nya. (Maaf kalau mungkin ada kerancuan)

    Oh iya, Selamat Hari Guru Pak, Semoga Guru-Guru kita saat ini dan di masa depan bisa menjadi Guru yang benar-benar Guru :mrgreen:

  5. artikel menarik pak, saatnya guru kembali ke’fitrah’nya, tapi ini juga harus dibarengi dengan dukungan dan perhatian pemerintah/masyarakat/murid dll.
    saya jadi teringat guru SD kelas satu.. orang itulah yang bener2 berjasa buat saya sampe saya jadi bisa nulis di blog gini, beliau sudah seperti ibu saya sendiri sampai ajal menjemput beliau saya berkali-kali mengucap trimakasih.. ah jadi sedih saya
    maap ya pak saya ngelantur jadi curhat.. 😀

    SELAMAT HARI GURU!!!

  6. “SELAMAT HARI GURU, BUAT PAK GURU SAWALI DAN GURU-GURU YANG LAIN”
    semoga dalam satu ataw dua tahun lagi saya bisa jadi bagian dari panjengan semua.
    sekali lagi……
    “SELAMAT HARI GURU DAN CIPTAKAN GENERASI UNGGUL YANG TAAT PADA AGAMA DAN BERJIWA KSATRIA”

  7. Hayayayayah… Pak Sawali… aduh…. mudah2an ini salah ketik aja ya!!: :mrgreen:

    Masyarakat yang diharapkan menjadi kekuatan kontol terhadap segala macam

    Ayo dong para guru, bangun, hari esok masih panjang, memang sih masalah guru ini kompleks sekali mulai dari kualitas guru hingga (lagi2!!) honor yang ‘kecil’. Tapi saya masih yakin kok banyak guru2 yang masih mumpuni dalam menghasilkan anak didik yang berkualitas walaupun dalam kondisi ekonomi yang pas2an. Mudah2an di hari guru tahun ini, guru dapat lebih melihat jati dirinya sendiri sehingga dapat lebih mencintai, menghayati dan mendalami profesi guru yang sebenarnya sehingga guru dapat menemukan jati dirinya kembali.
    omong2 soal honor, guru tidak sendirian loh, satpam sama aja gajinya juga ngga lebih baik **halaah** huehehehe…. 😀

  8. @ Ersis WA:
    Terima kasih Pak Ersis, sepakat banget, Pak, mudah2an para murid yang sekarang banyak yang jadi pengambil kebijakan mulai melirik untuk memikirkan “mantan” gurunya yang sudah membekalinya dengan berbagai ilmu pengetahuan. OK, salam.

    @ almascatie:
    Makasih Mas Almas, ucapan selamatnya mudah2an makin menambahn semangat dan gairah guru dalam mengajar dan mendidik siswa-siswinyam amiin.
    *Wah Mas Almas terlalu rendah hati dan santun banget nih*
    OK, salam.

    @ enggar:
    Setuju banget Bu Enggar. Anak2 memang perlu belajar bersosialisasi dengan lingkungan yang terdiri dari orang2 yang memiliki karakter beragam sehingga kelak mereka bisa bergaul tanpa membeda2kan latar belakang.
    OK, makasih banget ucapan selamatnya, Bu.

    @ mathematicse:
    Yak, terima kasih, Pak Al-Jupri telah ikut menyuarakan beratnya perjuangan guru. Mudah2an penghargaan kepada guru bukan karena paksaan, melainkan muncul karena kesadaran nurani. OK, salam.

    @ extremusmilitis:
    Yak, makasih banget, Bung Militis. Pendapat Bung Militis makin memperkaya pemahaman kita mengenai posisi guru, baik di tempat tugas maupun di tengah2 kehidupan masyarakat. Hari Guru tahun ini mudah2an menjadi pemicu bagi semua komponen bangsa untuk ikut membenahi guru. OK, salam.

    @ bachtiar:
    Makasih ucapan selamatnya Mas Bachtiar. OK, salam.

    @ brainstorm:
    Wah, mengharukan bengat nih pengalamannya, Mas. Yak, ternyata masih suka mendengarkan lagunya Bang Iwan Fals tentang derita guru itu, yak? Mudah2an ada perubahan berarti tentang nasib guru sehingga beban tugasnya menjadi semakin ringan dan bisa menjalankan tugas secara profesional. OK, salam.

    @ gempur:
    Makasih Pak Gempur, mudah2an kita tetap bersemangat untuk tetap memperjuangkan nasib sesama, meski hanya sebatas tulisan. OK, salam.

    @ abee:
    Ya, makasih banget ucapan selamatnya, Mas Abee. Wah, salut nih, Mas Abee kepingin jadi guru juga, yak? Selamat juga nih mudah2an studinya lekas rampung dengan prestasi yang bagus sehingga bisa segera diamalkan untuk melahirkan generasi bangsa yang hebat. OK, salam.

    @ Yari NK:
    Waduuuh, untung Buang Yari sangat cermat dan teliti, bisa berabe nih, konotasinya bisa kacau, hehehehe 😆 OK, makasih banget Bung Yari, nanti akan segera saya ralat nih. Benar2 salsah ketik nih Bung, nggak ada unsur kesengajaan.
    Terima kasih ucapan selamatnya dan juga masukan2nya Bung Yari, mudah2an makin menambah semangat guru dalam mengabdikan dirinya untuk membangun peradaban. OK, salam.

    @ peyek:
    Itulah kenyataannya, Mas, guru masih belum bisa terbebas dari limbah kekuasaan. Ke depan mudah2an guru benar2 bisa menjadi profesi yang bebas dan otonom. OK, salam.

  9. Sabar, pak Guru! eniwei, Selamat Hari Guru. Jujur saya lupa hymne guru tapi karena saya pernah jadi guru, saya salut dengan apa yang sudah diperjuangkan oleh para guru. hendaknya, mantan-mantan murid gantian memperjuangkan hak guru, bukan melupakannya.

    Hidup Para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa!

  10. Kayanya yang meneruskan wacana “kawah candradimuka” pesantren kali ya Pak… *mencoba narsis* Btw, pesantren juga sama dengan pendidikan umum. Para santri yang memiliki guru pun bisa tidak ngeh dengan lingkungan sekitarnya, ujung2nya, masalah kenakalan remaja bisa terjadi.. hanya saja melihat masalah ini, kenalan santri kayanya belum ada…
    *mencoba narsis kembali** kira2 apa ya tangapan Pak Gu(ruku) menunggu dilabrak 🙂
    *kabur dulu ah*

  11. @ munggur:
    Terima kasih ucapan selamatnya, Pak, semoga mampu menambah gairah dan semangat para guru dalam membangun peradaban yang lebih cerah. OK, salam.

    @ Hanna:
    Terima kasih juga ucapan selamatnya, Mbak Hanna, semoga para guru tetap semangat dan terus meningkatkan profesionalisme demi melahirkan generasi bangsa yang cerdas dan bermoral. OK, salam.

    @ kurtubi:
    Ya, ya, dunia pesantren saya kira bener Mas Kurt *nggak narsis kok* harus diakui masih mampu menjalankan fungsinya sebagai “kawah candradimuka” peradaban. Yang mengagumkan, para santri nggak identik dengan gaptek atau kuper 😆 Lihat saja Lapesdam NU, misalnya, mereka adalah jebolan pesantren, tetapi nggak kalah ilmunya dengan lulusan perguruan tinggi formal.
    OK, salam.

  12. Hidup HARI GURU (rada telat nih 🙁 )
    mudah-mudahan citra mereka bisa diperbaiki seiring dengan kemerdekaan profesi yang diraih.

    Meski ujian yang ditempuh benar-benar berat, tugas mereka untuk mencerdaskan anak bangsa, sementara tujuan untuk memperoleh pendidikan itu sendiri sudah banyak menyimpang dari yang seharusnya.

    Jelas hal ini bukan hanya tanggung jawab mereka, tapi tanggung jawab kita semua.

  13. selamat hari guru pak.
    pada saat kita merayakan hari guru, ada salah satu stasiun tivi yg menanyangkan konser karya legenda 70th titik puspa. begitu besar apresiasi orang kepada sosok titik puspa (baca:penyanyi). semoga saja suatu hari ada guru2 yg begitu dibangggakan n dielu2kan (seperti titik puspa) berkat semua dedikasinya di dunia pendidikan..

  14. @ SQ:
    Terima kasih ucapan selamatnya, Pak Syam, (nggak telat kok), semoga hari guru tahun ini bisa menjadi momentum yang tepat bagi segenap komponen bangsa untuk memperhatikan nasib guru. OK, salam.

    @ eNPe:
    Makasih Bu Ita ucapan selamatnya. Waduh, kapan nasib guru bisa seperti Titiek Puspa, ya, Bu? Apa kira-kira nanti ada sebutan baru “seleb guru”, hehehehe 😆 OK, salam.

  15. Saya mempertanyakan istilah : Tanpa tanda jasa… 😀
    Maksudnya apa sih pak ? 😆
    Semestinya kan para “bos-bos” itu yg tanpa tanda jasa … CMIIW

    Hidup guru…
    Hormati guru…
    Kenang juga guru2 mu… :mrgreen:

    SELAMAT [lah] [ber] HARI GURU [2] [ku] 😀

  16. Selamat Hari Guru juga Pak Sawali. Mudah2an guru indonesia terus berkembang maju seiring waktu dg kualitas dan kuantitas yang semakin baik. Dan tentunya gaji guru ngga ada yg di potong lagi ya pak. 😀

  17. @ alief:
    Makasih ucapan selamatnya, Mas! Harapan semua guru saya kira begitu. Tapi saya masih punya keyakinan, etos kerja guru tidak semata-mata ditentukan gaji. Gaji hanya salah satu faktor saja.

  18. @ Herianto:
    Nah, ya itu tuh Pak Heri, konon yang sering bikin ngeres di kalangan guru :mrgreen: Lagu itu telah ditafsirkan sebagai sebuah ironi, bahkan satire ketika penghasilan guru dinilai banyak kalangan belum layak. Nah, yang tak butuh tanda jasa ya bener seperti yang Pak Heri katakan itu, hehehehe 😆 OK, salam.

    @ benbego:
    Makasih Mas Riziq atas ucapan selamat dan supportnya. Mudah2an hari guru tahun ini bisa menjadi momentum yang tepat bagi segenap komponen bangsa untuk memperhatikan nasib guru. OK, salam.

  19. Sebelumnya, walau terlambat ijinkan saya mengucapkan Dirgahayu Hari Guru, semoga tercapai cita-citanya 😀

    Sosok guru yang bermartabat dan terhormat pernah muncul ketika insitusi pendidikan kita masih berbentuk pertapaan dan padepokan yang begitu bersahaja. Konon, guru atau resi pada masa itu benar-benar menjadi figur anutan, berwibawa, dan disegani. Apa yang dikatakan sang resi merupakan “sabda” tak terbantahkan.

    Benar, paman… bahkan sampai sekarang di kampung saya, masih ada sebagian dari orang-orang tua yang menyebut ayah saya Mas Guru, bukan Pak Guru atau nama ayah saya langsung, Paman Sawal tentu mengetahui apa artinya ini :mrgreen:

    Untuk menaikkan pamor guru, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen pun diluncurkan. Untuk itu, guru perlu menempuh uji sertifikasi pendidik. Jika lulus mereka akan mendapatkan sertifikat sebagai bukti bahwa mereka layak menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Persoalan apakah sertifikasi guru mampu mendongkrak mutu pendidikan yang selama ini tersaruk-saruk, itu persoalan lain.

    Sedihnya paman, sertifikasi ini sudah dicurigai di dini hari. Sepertinya menjadi prasangka buruk yang salah alamat ya?? Atau prasangka itu benar??

  20. @ goop:
    Makasih ucapan selamatnya, Mas Goop. Nggak terlambat, kok, upacaranya juga kan baru kemarin, hehehehe 😆
    Ya, begitulah Mas Goop, di kampung2 posisi sosial guru masih cukup bagus. Mudah2an di kota besar pun demikian.
    Tentang sertifikasi guru memang masih sering menimbulkan “kecurigaan” dari sebagian kalangan karena dinilai belum mampu menjamin peningkatan mutu pendidikan. OK salam. (Maaf, Mas Goop masih pakai login blog sekolah yang baru aja dibikin, hehehehe 😀 )

  21. Guru itu manusia biasa. Tak biasa untuk dianggap luar biasa. Maka biasa-biasa sajalah mengganggap guru itu. Kebiasaan guru pun biasa-biasa saja. Mendidik dan memberikan hal-hal yang luar biasa bagi anak didiknya. Jadi, jika guru punya hari yang luar biasa semacam ‘Hari Guru’, tolong dianggap biasa saja. Karena peringatan hari-hari khusus semacam itu sudah biasa di Indonesia ini. Jika ingin berbuat yang luar biasa buat guru, maka biasakanlah berterimakasih dengan guru, walaupun ilmu yang telah kalian terima baru seujung kuku. Tapi percayalah, kuku itu bisa kalian gunakan untuk mencongkel rezeki buat hidupmu kelak. Ini catatan biasa dari seorang guru yang luar biasa! Tabik

  22. Bangga sekali dengan semangat Bapak, kalau ada kesempatan saya untuk memperkenalkan buku saya , pasti akan sangat bermanfaat pak, besar harapan saya spirit saya bisa meringankan beban guru yang sudah overload. Selamat hari guru . Bravo Pak

  23. @ melly:
    Wah, senang senang sekali kalau *ibu atau bapak nih, hehehe 😀 * berkenan memperkenalkan buku itu. Makasih banget. BTW, waktu saya berkunjung ke bukuibuku.wordpress.com signup-nya belum selesai. Dilanjutin aja, Bu, hanya tinggal, beberapa klik aja dah jadi blog, kok, hehehehe 😀

  24. mas, aku mau kontak dengan Mbak Melly, yang memberi komentar setelah aku. Katanya dia punya buku. Jika Mbak Melly baca sendiri suratku ini atau via Mas Suwali, tolong dia kontak aku. Boleh via blog aku http://zufaisalputera.wordpress.com atau via e-mail. Ok, Mas. Teruslah jadi guru yang luar biasa untuk Indonesia yang biasa-biasa saja ini

    Salam!

  25. *telat datang*
    😐

    terpujilah wahai engkau ibu bapak guru…
    Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
    semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
    sbagai prasasti terimakasihku ‘tuk pengabdianmu…

    engkau sebagai pelita dalam kegelapan
    engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
    engkau patriot pahlawan bangsa…
    TANPA TANDA JASA

    😥
    selalu terharu kala lagu ini mengalun.

    itulah bedanya negara yang maju dan negara yang masih money oriented kayak negara kita.
    di negara2 berhasil seperti Jepang misalnya, profesi guru adalah profesi yang sangat terhormat dengan gaji yang terhormat juga 😀
    jadi, kesejahteraan seorang gurupun terjamin, dan hal ini secara langsung atau tidak telah membuat suasana / kondisi pendidikan yang kondusif, tidak seperti disini…
    🙁

    ah, mungkin belum masanya kali ya Pak?

  26. Salam sejahtera!!!

    Saya seorang pelajar dari Malaysia, saya amat tertarik dengan penulisan tuan…. benar, prinsip dan fahaman inilah yang akan akan meletakkan pembangunan dan manusia dalam keadaan bahagia, sa’adah tidak dirundung tragedi, kerosakkan, fasad atau sengsara; tiada ‘decadence’ kepada sifat manusiawi dan persekitarannya.

    tahniah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *