Ketika pemerintah meluncurkan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), angin segar berhembus di ruang-ruang guru dan dosen. Pasalnya, mereka akan mendapatkan penghasilan yang “menggiurkan”. Pemerintah akan memberikan tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Namun, untuk mendapatkan tunjungan profesi, seorang guru harus memiliki sertifikat pendidik yang tentu saja tidak mudah untuk mendapatkannya lantaran memang dibikin “sulit” dan “rumit”. Walhasil, bisa dihitung dengan jari guru di Indonesia yang berjumlah sekitar 2.700.000 yang bisa menikmati tunjangan tersebut. Misalnya saja, untuk bisa mengikuti uji sertifikasi, seorang guru harus bisa mengumpulkan dokumen portofolio sekitar 850 poin. Wah, bisa bertumpuk-tumpuk dokumen yang mesti dikumpulkan oleh seorang guru. Dan sudah pasti, hanya guru yang memiliki “jam terbang” tinggi alias masa kerja yang cukup lama yang bisa menyodorkan bukti portofolio semacam itu. Itu pun kalau guru yang bersangkutan pandai-pandai mengarsipkan semua dokumen, seperti sertifikat, SK, ijazah, surat tugas, de-el-el. Kalau tidak, ya, mohon maaf, terpaksa harus lebih banyak berlatih menahan kesabaran.
Pada awalnya sih program sertifikasi guru didesain ideal dan “ndakik-ndakik”. Simak saja pernyataan “Sekapur Sirih” Dr. Zamroni, Direktur Profesional Pendidik, dalam situs http://www.sertifikasiguru.org/ berikut ini.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan telah merencanakan program kegiatan dengan menggunakan dana APBNP Tahun 2006 untuk mengimplementasikan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD). Program tersebut antara lain pelaksanaan sertifikasi guru, peningkatan kualifikasi, peningkatan kompetensi guru, pendidikan di daerah terpencil, dan maslahat tambahan (penghargaan akhir masa bakti bagi guru dan beasiswa bagi putra-putri guru berprestasi/berdedikasi).
Tujuan sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Guru dalam jabatan yang telah memenuhi syarat dapat mengikuti proses sertifikasi untuk mendapat sertifikat pendidik. Dalam APBNP-P tahun 2006, Depdiknas menargetkan untuk dapat melakukan uji sertifikasi terhadap 20.000 guru. Prioritas uji sertifikasi tahap awal ini adalah guru-guru yang mengajar di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) yang telah memenuhi persyaratan.
Peningkatan kualifikasi guru disamping untuk meningkatkan kompetensinya, sehingga layak untuk menjadi guru yang profesional, juga dimaksudkan agar guru yang bersangkutan dapat mengikuti uji sertifikasi setelah memperoleh ijasah S1/D4 serta mengikuti pendidikan profesi. Pemberian bantuan biaya pendidikan untuk meningkatkan kualifikasi bagi guru-guru SD dan SMP dengan menggunakan dana APBNP tahun 2006 merupakan salah satu wujud implementasi UUGD.
Berkaitan dengan maslahat tambahan, UU No. 14 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa, “maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain”. Salah satu bentuk maslahat tambahan yang diprogramkan adalah pemberian penghargaan akhir masa bakti bagi guru dan pemberian beasiswa pendidikan bagi putra-putri guru berprestasi/ berdedikasi.
Simak juga tulisan saya “Latar Belakang Sertifikasi Guru“.
Namun, ketika UUGD sudah diluncurkan, sedangkan PP-nya dibikin “ngadad”, desain ideal dan “ndakik-ndakik” semacam itu banyak menimbulkan tanda tanya. (Simak juga tulisan saya “MAMPUKAH SERTIFIKASI GURU MENDONGKRAK MUTU PENDIDIKAN?)
Secara jujur harus diakui, implementasi program sertifikasi para “Oemar Bakrie” ini sangat rentan terhadap ulah manipulasi, kecurangan, nepotisme, dan berbagai ulah tak terpuji lainnya. Rekruitmen guru yang berhak mengikuti uji sertifikasi hanya mereka yang memiliki hubungan kedekatan dengan “lingkaran” birokrat pendidikan di tingkat lokal. Apalagi, pertimbangan utama yang dikedepankan adalah senioritas alias masa kerja. Para guru “yunior” yang sarat prestasi pun bisa jadi akan tersingkir.
Jika praktik-praktik tak terpuji semacam itu dibiarkan terus terjadi dalam dinamika dunia pendidikan kita, maka peningkatan mutu pendidikan yang menjadi rencana strategis (Renstra) Depdiknas dan gencar digembar-gemborkan secara masif di berbagai media itu hanya akan menjadi slogan tanpa makna. Apalagi kalau guru-guru muda potensial –yang seharusnya layak untuk menerima penghargaan dan kesejahteraan memadai dan bisa “diambil hati”-nya untuk ikut memperbaiki carut-marutnya dunia pendidikan– sengaja “disingkirkan”, jangan harapkan pamor pendidikan di tanah air kita tercinta ini mampu bersinar terang di tengah-tengah masyarakat global dan mondial. Belum lagi dampak “kecemburuan sosial” antarguru di tingkat sekolah. Mereka yang telah mengantongi sertifikat pendidik bisa jadi akan tertimpa beban sosial yang lebih berat. Semangat pengabdian dan loyalitas guru yang belum memiliki sertifikat akan mengendur dan –ini dampak yang lebih buruk– menyerahkan semua tugas kependidikan di sekolah kepada guru yang telah duduk di atas “singgasana” sertifikat pendidik dengan segenap fasilitas kesejahteraannya. Bukankah ini sebuah implikasi sosial yang perlu dipikirkan secara serius oleh para pengambil kebijakan pendidikan kita?
Sertifikasi guru di negeri kita, agaknya akan menjadi sebuah “Indonesia” yang tertinggal ketika program “prestisius” itu hanya akan menciptakan kegelisahan dan kerumitan baru. Apalagi jika tidak diimbangi dengan kalkulasi anggaran yang cermat dan memadai. Atau, jangan-jangan lambatnya uji sertifikasi guru dan “penyingkiran” guru-guru “yunior” itu lantaran tidak tersedianya anggaran untuk mengangkat harkat, martabat, dan citra guru? Kalau itu “asbabunnuzul”-nya, betapa sosok guru selama ini memang hanya diposisikan untuk menjadi “kelinci percobaan” seperti dalam praktik pelaksanaan kurikulum yang sering kali berubah-ubah itu?
Kalau memang para pengambil kebijakan pendidikan memiliki “kemauan politik” untuk meningkatkan kesejahteraan guru, idealnya program sertifikasi guru dilaksanakan secara terbuka. Berikan kesempatan kepada semua guru, baik negeri maupun swasta, untuk mengikutinya. Biarkan mereka berkompetisi secara fair dan terbuka melalui proses ujian. Kalau memang mereka gagal meraih sertifikat pendidik, mereka pasti bisa menerima dengan sikap lapang dada. Jika untuk mengikuti ujian saja mesti dibikin rumit karena harus mengumpulkan dokumen portofolio yang bejibun jumlahnya itu, jangan salahkan guru kalau mereka jadi “alergi” terhadap program sertifikasi guru. Yang lebih mencemaskan, kalau sampai guru kehilangan komitmen dan kepedulian untuk ikut “mendongkrak” mutu pendidikan kita. Kalau kekhawatiran ini benar, maka “musibah” besar yang akan melanda dunia pendidikan kita hanya menunggu waktu. ***
Semua orang, kayaknya hobi banget yaa sama sertifikasi, apa dengan sertifikasi membuat segalanya jauh lebih baik?
Ya begitulah, Pak, Anggara, kayaknya sertifikasi pendidik hanya memiliki tendensi politis dan tidak semata-mata didesain untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru.
Sertifikasi yang saya kenal sangat terkait dengan profesi dan ini membutuhkan perangkat kode etik yang harus bisa ditegakkan. Nah, salah satu syarat untuk dijadikan profesi, profesi tersebut harus bisa bekerja secara independen dan tidak dimaksudkan bekerja pada orang lain.
Saya pikir, bukan sertifikasi, tapi akreditasi sepertinya. Karena guru tidak mungkin bekerja secara independen, dia harus bekerja secara institusional ini yang membedakan dengan profesi lainnya seperti Notaris, Dokter, Advokat, Rohaniawan, dan juga Jurnalis
Salam kenal Pak. Saya punya pengalaman, Saya pernah diterima ngajar di satu SMU Negeri tapi saya terganjal karena latar belakang pendidikan saya tidak sesuai dengan bid studi yang diajarkan, walopun pengalaman saya tidak diragukan oleh beliau. Hanya saja, status saya akan tetap honorer. Untuk bisa jadi guru bantu, solusinya saya diminta untuk kuliah S1 lg yang sesuai dengan bid studi yang saya ajar. Dan saya harus mengikuti sertifikasi guru. Dipikir-pikir kok mbulet banget ya? Harus punya ijasah, sertifikasi, dan entah apalagi.
Untuk Pak Anggara, terima kasih atas komentarnya. Berkaitan dengan sertifikasi pendidik memang agak unik. Guru yang jelas-jelas sudah memiliki ijazah dan akta ternyata masih dinilai belum layak untuk mengajar sehingga masih harus mengikuti ujian sertifikasi. Program “ambisius” itu konon dianggap mampu menjadi “therapi kejut” bagi dunia pendidikan yang dinilai sedang “mati suri” alias bermutu rendah. Berkaitan dengan profesi, tugas guru memang tidak bisa digantikan oleh seseorang yang tidak memiliki kecakapan khusus. Dari kecakapan khusus yang ditimba dari LPTK itulah seorang guru diharapkan mampu menjalankan tugas-tugas profesinya. Itu juga yang tersurat dalam UU Sisdiknas (link di
http://www.depdiknas.go.id/PP/uu_20_2003.pdf). Dalam pasal 39 ayat 2 disebutkan bahwa (2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Nah, persoalan ini menjadi rumit setelah pemerintah meluncurkan UU No. 14/2005 tentang (UUGD), tetapi tidak segera diikuti dengan PP-nya.
Untuk Bu Enggar, terima kasih atas komentarnya. Itulah ironi yang terjadi di negeri ini, Bu. Hak seseorang untuk menduduki profesi tertentu bukan dilihat dari kecakapannya, melainkan lebih didasarkan pada selembar ijazah yang dimilikinya. Demikian juga untuk menjadi seorang guru, harus memiliki ijazah (minimal S1) dan akta IV. Itu pun harus dilengkapi dengan sertifikat pendidik setelah dinyatakan lulus mengikuti ujian sertifikasi. Memang, rumit, ya, Bu? Tapi itulah kenyataan yang –mau atau tidak– harus diterima.
Waktu itu saya diminta untuk kuliah jurusan komputer. Saya sendiri lulusan S1 manajemen dan juga punya Akta IV. Nah, kata mereka bid studi yang akan saya ajar (TIK) tidak sesuai dengan ijasah S1 saya. Saya memang memahami ini akan jadi hambatan di sekolah negeri. Mereka lebih bisa menerima jurusan fisika, atau apa saja asal IPA untuk mengajar TIK, dan bukan orang dari jurusan sosial. Ya, sudah saya terima dengan lapang dada saja :). Tapi, apa memang begitu ya Pak?
oOo
Untuk Bu Enggar, landasan hukum tentang pendidik, selain tersurat dalam UU no. 2o tentang Sisdiknas (bisa dibaca di http://www.depdiknas.go.id/PP/uu_20_2003.pdf), juga diatur dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (bisa dibaca di http://www.djpp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=2000+5&f=uu14-2005.htm dan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (bisa dibaca di http://www.unissula.ac.id/v1/download/Peraturan/PP_19_2005_STANDAR_NAS_PENDDKN.PDF. Berdasarkan landasan hukum tersebut, untuk menjadi seorang guru ternyata banyak persyaratan dan tuntutannya. Meskipun demikian, ibu yang memiliki jiwa dan daeah seorang pendidik tetap bisa menyumbangkan ilmu pada dunia pendidikan. Bukankah KTSP sekarang sudah memasukkan TIK sebagai mata pelajaran inti.
Inilah kalau ketetapan yang diambil masih setengah-setengah. Kalau keprofesionalitasan seorang guru dinilai dari sisi senioritas maka pastinya justru yang lebih berpotensi dari generasi guru yang disebut yunior jadi terpinggirkan. Lantas seperti yang pak Sawal bilang pasti akan banyak ketimpangan sosial yang mendalam karena perbedaan kelas/strata jadi begitu terbuka sementara porsi mengajar tetaplah sama. Kalau sudah begitu saya khawatir justru semangat untuk mengajar secara profesional juga tidak akan tumbuh dari para guru yunior ini.
Totok Sugianto’s last blog post..Pantura Awal Tahun, Hujan dan Banjir
@ Totok Sugianto :
bener sekali mas totok. mudah2an saja yang dikejar dan menjadi motiv sertfikasi guru bukan lantaran gaji naik semata2, melainkan justru yang lebih penting bagaimana meningkatkan mutu kinerja guru setelah mendapatkan sertifikasi.
Sawali Tuhusetya’s last blog post..Tumbal
Inilah Indonesia …
Padahal untuk menentukan kompetensi seorang guru hanya dari tumpukan portofolio saja adalah sebuah hal yang sangat absurd!!
Kenapa tidak dibuat terbuka saja? Ooo, kalo dibikin gitu, nanti nggak ada celah untuk berjualan “surat/dokumen sakti” dong … Begitu katanya. 👿
STR’s last blog post..Ini Kesempatan
@ STR:
emang banyak yang ironis di negeri ini mas satria. tujuan utama sertifikasi guru itu kan sebenarnya untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memperbaiki kinerja guru. implikasinya, gaji guru dinaikkan. tapi kalo proses sertikasi hanya dinilai sebatas portofolio ya ngacok juga namanya. celakanya, menurut kabar yang beredar dokumen portofolio yang dikumpulkan banyak juga dokumen fiktifnya. walah, gimana kinerja guru bisa meningkat, yak! *halah*
Sawali Tuhusetya’s last blog post..Pindah Rumah pada Awal Tahun
saya guru tik disebuah sekolah swasta di banyumas yang umur sekolahnya baru menjelang 2 tahun pak, mungkin saya banyak membutuhkan bimbingan bapak tentang mengembangan pendidikan di sekolah saya yang masih banyak perjuangan dan masih sering free honor.
sebelumnya saya terima kasih dapat bersilahurahmi dengan bapak semoga saya dapat berbagi ilmu dan informasi dengan bapak.
Bertahun-tahun saya jadi guru tidak tetap digaji Rp. 135.000,- anak didik saya sekarang sudah ada yang kuliah di Belanda, Australia. Pemerintah tak penah menoleh sedikitpun dengan saya … Mengadu kemana saya wahai pakar-pakar pendidikan yang terhormat ……
Nizar’s last blog post..Kebohongan, Pembodohan dan Penipuan dlm UAN 2007
Saya sepakat dengan Bapak, model portofolio tidak tepat dalam menilai sertifikasi guru. Harusnya asesor datang sendiri ke sekolah dimana guru hendak dinilai atau melakukan kunjungan ke sekolah dan bertanya pada kolega guru yang lain serta murid yang diajar oleh guru yang hendak diuji. Saya cukup yakin data yang didapat akan lebih valid dibanding portofolio. Kalau berkenan, Bapak bisa baca tulisan saya di http://www.ardansirodjuddin.wordpress.com. Matur nuwun
Ardan Sirodjuddins last blog post..CARA MUDAH EDITING MOVIE
@Ardan Sirodjuddin,
bapak/ ibu guru yang terhormat saya sarankan ikuti aja itu sertifikasi ,dengan syarat – syarat yang kadang tidak kita setujui .cuma saya juga berpesan bukan sertifikasinya yang penting, berharap tunjangannya juga boleh ,tapi ada satu yang saya mau katakan dihadapan cikgu adalah anak manusia ,kita harapkan tidak melakukan kesalahan seniornya hingga bangsa ini tidak menjadi bangsa yang bingung .maju kena mundur kena kanan tak oke kiri pun tak.
@slameto,
ok, makasih info dan masukannya, semoga dibaca oleh rekan2 sejawat guru.
Mas, didaerah saya (Ngawi) kayaknya sertifikasi tidak menjadikan guru semakin kompak tiap ada pengumuman peserta sertifikasi, malah bikin perpecahan antar guru, karyawan, dinas pendidikan dan lain2. Pasalnya di Ngawi Dindik membaginya berdasarkan kuota yang ditentukan oleh dindik melalui UPT sehingga tidak adil karena guru yang masih masa kerja 3 th sudah sertifikasi yang seperti say yang masa kerja 18 th belum sertifikasi. Kelihatannya ada indikasi penyimpangan di jajaran dinas pendidikan. Yang jelas kalau uud (ujung ujungnya duit) pasti berantakan… he..he..he.. Semoga dibaca oleh para pejabat dinas pendidikan di Ngawi. Oh iya mestinya penentuan sertifikasi mestinya di ranking sesuai aturan semua guru di Kab.Ngawi.
@tjatur,
wah, kok bisa begitu toh, pak tjatur. di kendal ndak masalah itu. para peserta sertfikasi, selain menggunakan ketentuan yang ada, juga didasarkan pada masa kerja. di kendal, sekarang ini masa kerja 5 tahun rata2 sudah bisa ikut sertifikasi dan semuanya lancar. kalau ndak lulus, ya, mereka harus tetep mengikuti PLPG. semoga saja persoalan sertifikasi di ngawi bisa segera teratasi, pak.
Tolong dong guru-guru yang sudah sertifikasi dan dapat tunjangan plus dievalusi. Pa betul mereka dah pada profesional? lha wong buat RPP ja masih banyak yang cuman copy paste! Kok kayaknya gak ada perubahan! banyak yang ngajar seenaknya! dan juga, antar guru jadi timbul keiri hatian! lha gimana, yang sudah 12 tahun jadi guru PNS sama yang baru diangkat 2008 kok duluan yang 2008 sertifikasinya? Jelsa tidak adil! Ini main-main pa gimana?
wah, saya tak tahu persis itu, pak. soalnya banyak juga sih yang meragukan tingkat profesionalitas guru yang sudah lolos sertifikasi, apalagi sempat diberitakan bahwa dokumen portofolio-nya banyak yang diragukan keasliannya.
Tunjangan sertifikasi guru dikabupaten Ngawi lulus 2008 kapan dicairkan. dan sekaligus mohon evaluasibagi guru – guru yang telah disertifikasi
semoga masukannya didengar oleh para pengambil kebijakan, masyon.
mas permisi salam kenal, saya newbie dan guru yang pingin berkontribusi di blog guru mohon pencerahannya, untuk itu ditunggu kunjungannya. terimaksih