Memaksimalkan Peran Ibu sebagai Pencerah Peradaban

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan rnembentuk dinamika zaman. Lahimya generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang ibu. Ibulah orang yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan. pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak.
Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban, ‘”pusat” pembentukan nilai, atau “‘pancer” penafsiran makna kehidupan, tak seorang pun menyangsikannya. Hanya Malin Kundang saja yang arogan dan menihilkan peran seorang ibu dalam membestirkan dan “memanusiakan” dirinya.
Namun, seiring gerak roda peradaban, peran ibu sebagai pencerah peradaban bakal menemui tantangan yang semakin berat. Setidaknya ada dua tantangan mendasar yang harus dihadapi oleh seorang ibu di tengah dinamika peradaban global. Pertama, tantangan internal dalam lingkungan keluarga yang harus tetap menjadi sosok feminin yang lembut, penuh perhatian dan kasih sayang, serta sarat sentuhhan cinta yang tulus kepada suami dan anak-anak. Kedua, tantangan eksternal di luar “pagar” rumahtangga seiring tuntutan zaman yang semakin terbuka terhadap masuknya nilai-nilai mondial dan global yang menuntut dirinya untuk bersikap maskulin.
Dalam menyikapi dan menyiasati dua tantangan mendasar itu, seorang ibu jelas dituntut untuk semakin memaksimalkan perannya, memberdayaakan potensi dirinya sehingga mampu tampil feminin dan maskulin sekaligus dalam menerjemahkan dan menginternalisasi selera zaman yang mustahil dihindarinya sebagai seorang ibu yang hidup pada era kesejagatan. Ini artinya, fitrah seorang ibu tidak hanya “dicairkan” dalam lingkup domestik, tetapi juga harus ditebarkan pada ranah publik, seiring dengan semakin kompleks dan rumitnya masalah-masalah yang harus diatasi.

Peran Domestik
Dalam UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtero diungkapkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dengan anaknya atau ibu dengan anaknya atau ayah dengan anaknya. Dari batasan lersebut, peran seorang ibu dalam lingkup domestik atau dalam lingkup keluarga memiliki entitas pengabdian yang tinggi. Ia menjadi “ruh” keluarga yang akan menjadi penentu ”mati hidupnya” sebuah paguyuban batih (keluarga), menjadi “pelepas anak panah” keluarga sesuai sasaran bidik yang dituju. Tidak jarang keluarga yang gagal dalam membangun fondasi kesejahteraan lantaran kekurangsiapan seorang ibu dalam menjalankan peran domestiknya.
Dalam konteks yang demikian itu, peran seorang ibu dalam memaksimalkan fungsi keluarga menjadi semakin penting untuk mendapatkan perhatian khusus. Yaumil Agus Achir mengungkapkan, setidaknya ada delapan fungsi keluarga, yakni fungsi sosial budaya, cinta kasih, perlindungan/proteksi, reproduksi, sosialisasi, pendidikan, ekonomi, danfungsi pembinaan lingkungan. Meskipun tidak mutlak menjadi tanggung jawab ibu sepenuhuya, kedelapan fungsi keluarga tersebut akan terwujud dalam tataran praktik hidup apabila diimbangi dengan kesiapan, kemampuan, dan kesanggupan seorang ibu dalam menjalankan fitrahnya di lingkup domestik.
Arus modernisasi yang demikian gencar menawarkan pergeseran dan perubahan pranata-pranata hidup dan nilai-nilai luhur buku, agaknya memiliki imbas yang cukup kuat terhadap masyarakat dalam menginternalisasi dan mengapresiasi fungsi keluarga. Keagungan sebuah keluarga sebagai entitas sosial dalam menyosialisasikan nilai-nilai luhur kepada para anggotanya, dinilai mulai semakin luntur. Para anggota masyarakat dalam mengapresiasi fungsi keluarga mengalami pergeseran dan perubahan. Keluarga tidak lagi dipandang sebagai “institusi” dan yang menjadi satu-satunya wadah yang cukup akomodatif dan adaptif terhadap selera dan atmosfer zaman yang sulit diduga.
Kondisi di atas, setidaknya juga dipengaruhi oleh pergeseran peran orangtua, yang semula diyakini sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap upaya pewarisan nilai dan tradisi, kini telah tereduksi sebagai pihak yang secara biologis sekadar menghadirkan seorang anak ke muka bumi. Bahkan, dalam banyak hal, orangtua sekadar dipahami sebagai pihak yang hanya memiliki otoritas ekonomi dalam rentang waktu tertentu hingga anak dinilai dewasa.
Seiring dengan itu, pandangan anak terhadap orangtua pun tidak lagi “sakral” dengan bentuk penghormatan yang optimal dan proporsional. Hubungan anak dengan orangtua melulu sebagai hubungan darah “‘kekerabatan” yang kehilangan basis moral dan spiritualnya. Tidaklah mengherankan kalau generasi masa kini menjadi sulit menerima petuah dan nasihat luhur orangtua. Mereka telah memiliki “referensi” tersendiri yang cocok dengan gejolak naluri purbanya.
“Anak buah” teknologi yang begitu canggih mentransfer berbagai bentuk kemasan informasi dan hiburan, menyebabkan anak menjadi rentan terhadap imaji kekerasan, kemanjaan, kemunafikan, dan hipokrit. Anak menjadi kehilangan kepekaan terhadap makna kearifan hidup. Sikap sabar, tawakal, tabah, telaten, dan tahan uji –yang merupakan entitas moral yang tinggi—telah menjelma ke dalam sikap hidup instan, kehilangan naluri “proses” dalam mendapatkan sesuatu. Kota-kota besar yang sarat gebyar materi akhirnya menjadi “ladang” subur bagi tumbuhnya generasi-generasi zaman yang menanggalkan sikap responsifnya terhadap iklim spiritual. Terjadi proses dereliginasi (pendangkalan agama), pembonsaian nilai-nilai kemanusiaan, dan involusi budaya di kalangan generasi muda. Bukan hal yang mustahil kalau sudah tak terbilang lagi jumlah remaja kita yang terjebak ke dalam lembah seks bebas, pesta “pilsetan”, penyalahgunaan obat terlarang, tindak kekerasan, dan kriminal, atau ulah amoral lainnya.
Fenomena yang penuh pengingkaran terhadap ajaran agama dan moral di atas membutuhkan intensitas peran ibu sebagai pencerah peradaban dalam lingkup keluarga, yang pada gilirannya nanti akan benar-benar mampu melahirkan generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, maju, mandiri dan tahan uji, sehingga kelak sanggup menghadapi kerasnya tantangan peradaban di era global.

Peran Publik
Persoalannya ialah ketika banyak kaum ibu berbondong-hondong meninggalkan rumah, menggeluti peran publiknya sebagai wanita karier, mampukah sang ibu memaksimalkan perannya di ranah domestik yang mustahil dihindarinya? Sanggupkah sang ibu mengembalikan fungsi keluarga yang ideal di tengah kesibukannya menggeluti profesi? Pertanyaan semacam itu memang tidak mudah untuk dijawab. Peran ganda yang harus diemban kaum ibu masa kini, sering tidak bisa berjalan selaras dan serasi. Artinya, ada salah satu peran yang dikorbankan.
Dalam perspektif agama, kaum wanita (ibu) tidak dilarang untuk bekerja di luar rumah. Dalam Islam, kita mengenal para istri Rasulullah yang terkenal dengan keterampilannya di berbagai bidang. Aisyah sebagai ulama dan perawi hadis yang disegani, Saudah mahir dalam hal kerajinan tangan, bahkan Khadijah sukses dalam menggeluti bisnisnya. Namun, mereka toh tetap mampu mewujudkan keluarga sakinah, tidak mengorbankan peran domestiknya. Hal ini mengisyarakan, peran publik seorang ibu bukan menjadi penghalang untuk memaksimalkan peran ibu sebagai pencerah peradaban melalui lingkungan keluarga.
Yang penting dicermati kaum ibu ialah kejelian untuk memilih profesi yang memungkinkannya untuk tetap mampu menjadi ibu yang lembut bagi anak-anak dan istri yang setia terhadap suami. Artinya, pekerjaan yang bisa melalaikan fungsi ibu sebagai “pusat” pembentukan nilai dan “pancer” budaya keluarga, sebaiknya dihindari.
Huda Khaltab (1995:81-85) menyatakan, setidaknya ada tujuh bidang profesi yang bisa dipilih kaum ibu agar peran domestiknya tidak dikorbankan, yaitu bidang medis (dokter, perawat kesehatan, dan staf rumah sakit), bidang penyuluhan {pekerja sosial dan penasihat), bidang pengajaran (guru/tenaga administrasi), perancang dan penjahit, seni dan keterampilan, kesekretarisan, serta bidang media dan penerbitan.
Proses globalisasi yang setidak-tidaknya menawarkan tiga iklim: perdagangan bebas, hadimya teknologi komunikasi yang mahadahsyat, dan keterbukaan gelombang informasi (Wasari, 1997), memang tidak mungkin lagi memasung kaum ibu dalam kungkungan rumah tangga. Mereka juga dituntut untuk memberdayakan potensi dirinya, mewujudkan kebutuhan akan prestasi (need of achievement), dan mengaktualisasikan motivasi intelektualnya. Dalam keadaan demikian, kaum ibu idealnya menjadi sosok androgini; bisa tampil maskulin di ranah publik dengan capaian prestasi yang seimbang dengan kaum pria, sekaligus tidak menanggalkan sifat femininnya di ranah domestik yang tetap menjaga kelembutan, sikap keibuan, dan ketulusan kasih sayang terhadap suami dan anak-anak. Dengan sosok androgini ini, kaum ibu tetap akan mampu memaksimalkan perannya sebagai pencerah peradaban; peran luhur dan mulia yang sudah teruji lewat sejarah peradaban yang panjang, walaupun sang ibu sibuk meniti karierdi pang-gung publik.
Hanya saja, kaum pria mestinya tidak bersikap “arogan”, mempersempit ruang gerak kaum ibu di sektor publik, serta mau memberikan legitimasi terhadap kemampuan dan “kekuatan” internal kaum ibu. Mitos konco wingking yang memosisikan kaum wanita (ibu) sebagai makhluk kelas dua harus dibebaskan. Perlu keberanian kaum pria untuk mengakui posisi dan martabat kaum wanita sebagai mitra yang benar-benar sejajar dengan dirinya. Sudah bukan saatnya lagi pembagian peran semata-mata didasarkan pada bias gender dan jenis kelamin minded, melainkan pada tingkat kapabilitas dan kredibilitasnya dalam mengakses peran. Dengan demikian, pola kemitrasejajaran yang genear disosialisasikan Bu Mien Sugandhi tidak terjebak menjadi slogan egaliter yang kehilangan basis dan makna kesetaraan. Nah, dirgahayu Ibu Indonesia! ***

(Republika, 22 Desember 1997)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *