KETIKA PENDIDIKAN MEMBERHALAKAN PASAR

Dalam sebuah kesempatan, Garin Nugroho, pernah bilang bahwa dunia pendidikan kita tidak lagi mencerahkan dan telah kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Nilai-nilai rasionalitas dan etos kerja keras, misalnya, telah disulap menjadi sikap instan. Hal ini disebabkan karena ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tetapi dikembalikan pada pasar (Suara Pembaruan, 20/3/07).
Pernyataan Garin Nugroho tampaknya tidak berlebihan. Secara jujur mesti diakui, sudah terlalu lama dunia pendidikan kita tenggelam dalam pusaran arus industri yang menghamba dan memberhalakan selera pasar. Keluaran pendidikan kita dari tahun ke tahun agaknya telah didesain untuk menjadi tenaga siap pakai dan “robot-robot” industri. Dunia pendidikan kita pun jadi kering dari sentuhan nilai-nilai luhur kemanusiaan secara utuh dan paripurna. Selama proses pembelajaran berlangsung, peserta didik bukannya diajak untuk mengapresiasi nilai-nilai intelektual, kearifan, kejujuran, atau kesalehan hidup, melainkan sekadar dicekoki hal-hal praktis yang berkaitan dengan nilai materialistis, teknokratis, ekonomis, bahkan hedonistis. Hilanglah “roh” akal budi dan budi nurani dalam dunia pendidikan kita. Tak heran jika banyak kalangan menilai, merajalelanya korupsi, manipulasi, atau suka menilap uang negara, disebabkan oleh carut-marutnya dunia pendidikan kita yang gagal menaburkan benih-benih religius, kemanusiaan, moral, dan karakter kepada peserta didik.
Yang lebih ironis, Depdiknas secara masif meluncurkan iklan layanan masyarakat yang menampilkan pesan, “Pilihlah sekolah menengah kejuruan agar cepat mendapat pekerjaan setelah lulus!” Sebuah ajakan tendensius yang mengimbau anak-anak negeri ini untuk memilih sekolah menengah kejuruan ketimbang sekolah menengah umum dengan argumen kemudahan mendapat pekerjaan. Logika sang pemasang iklan, lulusan sekolah kejuruan memiliki keahlian teknis yang dapat langsung diterapkan, dan tak perlu meneruskan ke pendidikan tinggi setingkat akademi atau universitas.
Selain diskriminatif, disadari atau tidak, iklan semacam itu akan menumbuhkan pencitraan publik bahwa sekolah menengah kejuruan akan lebih menjamin kepastian masa depan daripada sekolah menengah umum. Sebuah iklan yang menyesatkan, tidak edukatif, tidak cerdas, tak jauh berbeda dengan ulah dan siasat kaum penjajah dulu yang mendesain sekolah-sekolah kita untuk mendukung substruktur industri dan selera pasar. Penjajah Belanda merasa takut apabila dari kaum pribumi banyak bermunculan kaum intelektual yang akan mengkritisi sepak terjang mereka di tanah jajahannya sehingga tidak mau mendirikan lembaga pendidikan sekelas universitas.
Ironis memang. Penjajah Belanda sudah lama hengkang dari negeri ini, tetapi mental dan semangat kolonialisnya yang mengebiri dan membodohi rakyat masih kita warisi.

“Virus” Selera Pasar
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang telah disempurnakan ke dalam Standar Isi (Permendiknas No. 22/2006) yang kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pun belum sepenuhnya terbebas dari “virus” selera pasar. Dalam prinsip pengembangan KTSP, misalnya, dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja sehingga pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan. Prinsip ini tak jauh berbeda dengan konsep ”Link and Match”-nya Wardiman Joyo Negoro, mantan Mendikbud, beberapa tahun yang silam, yang mengaitkan secara langsung antara supply dan demand, antara lulusan sekolah dan kebutuhan pasar.
Ketika dunia pendidikan kita memberhalakan selera pasar, yang terjadi kemudian adalah fenomena berikut ini. Pertama, hilangnya ”roh” pendidikan berbasis karakter. Jika anak-anak bangsa negeri ini telah kehilangan karakternya, bukan mustahil kelak mereka akan menjadi manusia yang besar kepala, mau menang sendiri, antidemokrasi, dan korup. Mereka akan dengan mudah melakukan tindakan konyol dan tak terpuji demi memenuhi ambisi dan kepentingan pribadinya. Proses pendidikan pun akan cenderung bergaya mekanis yang hanya sekadar melahirkan para ”tukang” yang sesuai dengan selera pasar.
Kedua, terciptanya lingkaran dan jaringan bisnis dalam dunia pendidikan. Aroma bisnis dalam dunia pendidikan kita sebenarnya sudah lama tercium. Jual beli kursi dalam PSB, penerimaan mahasiswa baru, jual beli jabatan, bahkan jual beli ijazah hingga jenjang S2/S3, merupakan fenomena yang sudah lama terjadi dalam dunia pendidikan kita. Masyarakat yang masuk dalam lingkaran bisnis pendidikan semacam itu menjadi tak berdaya dan sulit berkelit lantaran sudah terbangun oleh sistem dan kultur budaya pendidikan feodalistik yang menghamba pada selera pasar.
Ketiga, merebaknya sikap permisif masyarakat terhadap merajalelanya tindakan kriminal, korupsi, kejahatan “krah putih”, dan semacamnya. Masyarakat yang diharapkan mampu menjalankan perannya sebagai kekuatan kontrol terhadap meruyaknya berbagai ulah kriminal jadi cuek, masa bodoh, dan membiarkan berbagai perilaku anomali sosial dan amoral berlangsung di depan mata.
Keempat, hilangnya otonomi dan kemandirian dalam dunia pendidikan. Secara struktural, dunia pendidikan kita memang sudah mengalami pergeseran paradigma dari gaya sentralistis menuju ke pola desentralistis. Dengan kata lain, sudah ada “kemauan politik” dari para pengambil kebijakan untuk memosisikan dunia pendidikan kita pada jalur yang benar. Namun, pada aras kultural, perubahan paradigma semacam itu belum diwujudnyatakan pada tataran praksis akibat masih begitu kuatnya sikap feodalistis dan paternalistis yang membelenggu mental kaum birokrat pendidikan kita. Tidak heran apabila dunia pendidikan kita masih banyak dihuni oleh para pejabat bermental korup, sendika dhawuh, penjilat, dan oportunis.
Jika fenomena semacam itu terus terjadi secara berkelanjutan dalam dunia pendidikan kita, bukan tidak mungkin bangsa kita hanya akan melahirkan manusia-manusia “tukang” yang hanya tunduk pada selera pasar, penjilat, tidak intelek, korup, munafik, dan mementingkan diri sendiri. Oleh karena itu, dunia pendidikan kita tidak hanya membutuhkan perubahan paradigma pada aras struktural, tetapi juga perlu dibarengi dengan perubahan sikap mental para birokrat pendidikan kita pada aras kultural dan tataran praksis. Semua pemangku kepentingan pendidikan harus benar-benar membersihkan dunia pendidikan dari virus kekuasaan yang menghamba pada selera pasar. Hanya dengan perubahan sikap semacam itu pendidikan kita benar-benar mampu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang mendesain peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1 UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas).

Pengasuhan Ramah Otak
Sementara itu, dalam proses pembelajaran, para guru perlu mentradisikan terciptanya atmosfer pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa didik dalam sebuah kesadaran persaingan sosial. Melalui proses semacam itu, setiap individu secara bertahap akan berbagi dengan sumber-sumber moral dan pengetahuan dalam kehidupan manusia. Dewey (1987) berkeyakinan bahwa individu pembelajar telah menjadi bagian dari sebuah realitas sosial yang pada akhirnya akan terstimulasi untuk bertindak atas nama kelompoknya, lepas dari keterbatasan tindakan dan perasaannya sebelum menjadi bagian kelompok tersebut. Apabila kita menghilangkan faktor sosial dari seorang anak, yang tersisa hanyalah sebuah kekosongan. Sebaliknya, jika kita menghilangkan faktor individu dari masyarakat, yang tersisa hanyalah kemalasan, ketidakberdayaan, dan masyarakat yang mati (Reed dan Johnson, 1996: 114).
Yang tidak kalah penting, pendidikan berbasis karakter harus benar-benar diwujudnyatakan secara masif dalam dunia persekolahan kita. Dengan basis karakter yang kuat, dunia persekolahan kita akan mampu melahirkan generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran, para guru yang berada di garda depan dalam dunia persekolahan kita perlu – meminjam istilah Ratna Megawangi (Kompas, 21/5/2007)—membiasakan diri untuk melakukan pengasuhan ramah otak (brain base parenting) yang sangat penting peranannya dalam membentuk manusia secara utuh (holistik) dengan mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual, dan intelektual anak secara optimal. Guru, orang tua, dan masyarakat perlu membangun sinergi yang kokoh dalam melakukan pengasuhan ramah otak anak-anak bangsa negeri ini sehingga mampu “menghidupkan” otak kiri dan otak kanan secara seimbang.
Hingga saat ini tampaknya belum ada realisasi kurikulum yang secara konkret mengembangkan potensi diri dan pemikiran peserta didik. Masih sangat minim institusi pendidikan kita yang menyediakan fasilitas pengembangan individu yang berbasis konteks sosial dan budaya nasional. Yang ada melulu pengetahuan teknis dan intelektual statis yang kaku.
Kini, sudah saatnya dunia persekolahan kita bangkit untuk membebaskan diri dari vius kekuasaan yang mendesain para lulusan menjadi “tukang” dan “robot” industri yang menghamba pada selera pasar. KTSP perlu didesain sedemikian rupa sehingga anak-anak bangsa ini benar-benar menjadi generasi masa depan yang cerdas, unggul, dan kompetetif. Semoga! ***

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *