Gapit

Darah Gopal berdesir. Hatinya panas. Daun telinganya perih seperti tersengat lebah. Bola matanya menyala liar seolah hendak membakar orang-orang yang duduk di sekitarnya. Dia berdiri, berkacak pinggang. Otot-ototnya yang kekar menegang. Orang-orang yang semula duduk santai sambil ngobrol ngalor-ngidul terhenyak. Mereka bertatapan sambil mencuri pandang ke wajah Gopal yang sangar. Rasa waswas menggantung di wajah mereka. Hening sejenak. Di dada mereka berkecamuk tanda tanya.
“Siapa yang bilang Pak Bandiyo mata keranjang, he? Siapa tadi yang bilang?” bentaknya sambil menatap tajam orang-orang yang dilanda waswas itu.

Sepi. Tak ada jawaban. Maklum, mereka tahu siapa Gopal. Lelaki keras dan kasar, bahkan terkesan brangasan. Jika amarahnya tersulut, dia akan berubah menjadi serigala. Brutal dan tidak punya pengampunan. Memukul, menempeleng, menendang, meludahi orang, menyikut, dan semacamnya. Sangatlah beralasan orang-orang di sekitarnya memilih diam.

“Ayo! Siapa yang bilang tadi?” bentakya lagi.

Hening. Gumam-guman lenyap. Hanya sesekali terdengar ranting kering pohon trembesi raksasa tua yang patah tersentuh angin. Amarah Gopal memuncak seperti hendak meledakkan ubun-ubun. Tiba-tiba saja tangan kanannya menarik dengan keras lengan Paijo.

“Siapa yang bilang tadi, Jo? Ayo, tunjukkan!”

Paijo geragapan. Wajahnya memucat. “Tttidak tahu, kang!”

“Sundal, Kamu!”

Paijo didorong Gopal dengan kasar. Lelaki muda kurus itu terjengkang. Bola mata Gopal masih tampak liar menyala-nyala. Orang-orang makin dicekam rasa waswas, bahkan kini berubah menjadi ketakutan. Tak seorang pun berani menatap wajah Gopal.

“He, dengar semua! Pak Bandiyo itu orang baik, dermawan, dan suka menolong orang susah! Sampean jangan suka mencari-cari kejelakannya!” cerocos Gopal.

Entah kenapa, tiba-tiba saja nyala matanya meredup. Tak lagi tampak garang. Senyum pun sesekali mengembang dari bibirnya yang tebal. Orang-orang kaget. Mereka mendongak serentak dan mulai berani menatap wajahnya.

Gopal menatap wajah mereka dengan senyum, berupaya meraih simpati. Dia terus berupaya melakukan pembelaan terhadap pribadi Pak Bandiyo dengan silat lidah. Kedua tangannya sibuk memberikan isyarat untuk memperkuat barisan argumentasi yang meluncur dari mulutnya. Suasana beku pun mencair. Suara tawa membuncah bersambung-sambungan. Riuh.

Pohon trembesi tua raksasa yang kukuh menancap jantung desa bagaikan payung iblis yang melindungi perkampungan. Di bawah pohon tua itu –konon berusia ratusan tahun—orang-orang kampung terbiasa mengsuir kepenatan, melepaskan lelah sembari mengobral pergunjingan hingga larut malam, setelah seharian bergumul lumpur di sawah.
Lebih-lebih setelah listrik masuk desa, mereka yang keranjingan judi menggelar arena hingga menjelang subuh. Tak seorang pun yang melarang, lantaran ada di antara aparat desa yang mabuk judi hingga tak sempat mengurus tugas-tugasnya.
***

Pembelaan Gopal terhadap Pak Bandiyo menjadi perbincangan hangat orang-orang kampung. Mereka heran, kenapa dia bisa berubah secepat itu? Bukankah dia pernah mengancam akan membunuh calon lurah itu lantaran berselingkuh dengan Sarikem, istrinya?

“Ah, Pak Bandiyo kan orang kaya. Apa pun bisa dibelinya. Gopal pasti sudah disuapnya, bahkan mungkin dibujuknya agar bersedia menjadi gapit!” seloroh kang Duladri berapi-api.
Orang-orang yang nongkrong di perempatan jalan selepas Maghrib itu membelalakkan mata, mencoba memahami jalan pikiran Kang Duladri. Mereka tahu, Kang Duladri adalah orang kepercayaan Pak Rasipin, pensiunan guru agama SD yang turut meramaikan perebutan kursi kepala desa.

Lelaki itu diserahi tugas menarik simpati penduduk menjelang pemilihan. Penduduk menyebutnya gapit. Tidaklah mengherankan jika setiap omongan Kang Duladri selalu menarik perhatian orang-orang.

“Wah, bisa gawat kalau sampai Gopal jadi gapit Pak Bandiyo! Penduduk pasti takut bila tidak memilihnya! Sahut Paijo yang nyaris jadi korban kebringasan Gopal.

“Itu bisa saja terjadi! Tapi menurutku, itu hanya perangkap Gopal untuk menjerat duwit Pak Bandiyo. Dia memeras. Bila Pak Bandiyo menolak, dia mungkin akan mewujudkan ancamannya. Paling tidak, melaporkan kasus perselingkuhan itu kepada pihak yang berwajib!” kata Min Kecel serius.

Orang-orang mengangguk sambil merunut berdasarkan alur pikiran masing-masing. Perbincangan mereka makin hangat. Berbagai topik terlontar ditingkah analisis sepihak yang kadang diberi muatan emosi berlebihan, khas orang desa.
***

Dua orang sudah dipastikan menjadi calon lurah. Pak Bandiyo, juragan terkaya di desa, dan Pak Rasipin, pensiunan guru agama SD. Pertarungan memperbutkan kursi akan dimulai. Setiap calon sibuk memasang strategi.

Dalam menjalankan aksi pengumpulan massa, Pak Rasipin lebih banyak mengandalkan program. Melalui gapit-gaput-nya, termasuk Duladri, dia selalu menekankan arti penting calon pemimpin desa yang paham kebutuhan warga. Jalan-jalan desa, jembatan-jembatan yang rusak, dan perbaikan pelayanan administrasi kepada warga desa terangkum dalam programnya. Sebab, selama dipimpin Pak Rapani yang keranjingan judi, pembangunan desa itu macet total.

Pak Bandiyo mengumpulkan massa lewat andalan kekayaan. Dia mengerahkan para gapit-nya untuk menyuap penduduk. Dan ternyata, Gopal menilap sebagian uang yang seharusnya dibagikan kepada penduduk itu. Pak Bandiyo tak dapat berbuat apa-apa.

“Ancaman Gopal tentu tak main-main,” pikirnya. Lagi pula, menggaet Gopal sebagai gapit dia anggap sebagai sukses tersendiri. Karena senang, dia menjanjikan sehektar sawah kepada lelaki itu jika dia berhasil menjadi orang nomor satu.

Gopal kian bersemangat memenangkan jagonya. Berbagai macam cara dia tempuh. Menyuap, merayu, menekan, mengancam, dan menakut-nakuti.

Cara-cara yang tidak sehat itu tercium oleh Pak Rasipin. Dia memohon kebijakan pihak Muspika untuk menghentikan cara-cara yang tidak manusiawi itu. Namun, tampaknya dia tidak mendapatkan tanggapan. Pak Bandiyo dan para gapit-nya makin tenggelam dalam sihir kebohongan.

Pak Bandiyo merasa terhina dan dilecehkan. Dia ingin membuktikan bahwa dia mampu berbuat melebihi Pak Bandiyo. Dia segera beraksi. Beberapa petak sawah dan ternak dia jual sebagai modal. Melalui para gapit, dia menyuap rakyat. Dia tak peduli lagi program-program. Yang penting, bagaimana cara memenangi perebutan kursi.

Desa kian memanas menjelang pemilihan. Para gapit antarkubu terlibat perseteruan sengit dalam memperebutkan massa. Adu fisik tak terelakkan. Gopal mengumbar kebringasan. Beberapa gapit Pak Rasipin, termasuk Duladri dan Paijo, babak-belur dihajar Gopal saat memasuki rumah seorang penduduk.

Kampung benar-benar tidak aman. Aparat keamanan dari Polsek dan Koramil turun tangan dan memberlakukan jam malam. Keadaan terkuasai dan terkendalikan. Namun, kejadian itu memberikan luka yang menyakitkan bagi para gapit.

Keberuntungan tampaknya memang belum berpihak pada Pak Rasipin. Sawah dan ternaknya ludes, dia pun gagal meraih jabatan. Pak Bandiyo duduk di kursi pemimpin desa itu. Gopal bersorak. Sehektar sawah menari-nari di matanya.
***

Akan tetapi, siapa dapat menduga, sepekan setelah pelantikan, Pak Bandiyo bernasib tragis. Tubuhnya ditemukan sudah tak bernyawan dengan luka-luka menganga. Lehernya nyaris putus.

Desa gempar dan berkabung. Kasak-kusuk dan kecurigaan merebak. Penduduk sibuk menerka-nerka, siapa pembantai sadistis itu? Aparat keamanan turun tangan. Berhari-hari desa diubek-ubek untuk melacak sang pembunuh. Mungkinkah Gopal?

Masih samar, sesamar kesaksian pohon trembesi tua raksasa, betapa di desa yang sepi itu telah terjadi pembonsaian dan pengerdilan nilai-nilai kemanusiaan. ***
(Suara Merdeka, 20 Juli 1997)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *