Jika Cerpen Dicemari Limbah Politik

Suara Merdeka edisi Minggu (18/2/2001) memuat cerpen berjudul “Dialog Kambing di Pasar Hewan” (DKPH) karya T. Atmawidjaja. Cerpen itu betutur tentang sekelompok kambing dengan beragam karakter di sebuah pasar hewan yang riuh. Dalam bahasa kambing yang sulit dipahami manusia, mereka (baca: para kambing) berdialog tentang nasib teman mereka yang disembelih, dijadikan tumbal akibat kebiadaban massa di Kendal beberapa waktu lalu. Darahnya digunakan untuk menandatangani pernyataan sikap sekelompok orang yang akan dikirim ke Jakarta sebagai respons terhadap situasi politik yang berkembang saat itu.

Romantika, Logika, dan Religiusitas

Nurdien H Kistanto, Sajak-sajak Orang Desaku, IKIN dan Penerbit Undip, Semarang 1996, V+45 halaman.

PROF. A. Teeuw pernah mengatakan puisi tak akan pernah tercipta dalam suasana kosong. Artinya, puisi akan senantiasa diwarnai oleh visi, persepsi, dan obsesi penyairnya dalam memandang kehidupan. Penyair bebas memilih gaya pengucapan sesuai dengan kepekaan intuitifnya.

Jika Penyair Menjadi Seorang Narcisus

TAMPAKNYA, Nurdien H. Kistanto benar-benar “berang” atas serangan kritik yang ditujukan kepada kumpulan pusinya Sajak Orang-Orang Desaku (SOOD). “Keberangan” Nurdien bisa dimaklumi lantaran sebagai penyair, ia butuh legitimasi, butuh dipahami cara dia berkesnian. Bukan caci-maki, apalagi hujatan yang menafikan nilai-nilai keberadaan manusiawi dalam memahami proses kretivitasnya.

Tak Harus Bilang “Brengsek”

(Catatan untuk Kusprihyanto Namma)

Tulisan Kusprihyanto Namma di Suara Merdeka (21 April 1989) berjudul “Penerbitan Puisi, Sekadar Dokumentasi) menarik disimak. Menurut pewmahaman saya, minimal ada dua hal yang ingin digarisbwahinya. Pertama, sajak yang termuat di koran (sajak koran) terpola oleh selera media massa cetak sehingga penyair terjebak dalam sikap hipokrit (kepura-puraan). Denagn demikian, sajak bukan hasil penjelajahan proses kreativitas yang intens.

Karya Sastra yang Baik Tak Lepas dari Dimensi Hidup

Sebuah artikel yang cukup menggelitik disajikan oleh Suara Merdeka Minggu, 15 Oktober 1989 dengan judul “Kritik Sosial dalam Sdastra”. Menurut pemahaman saya, dalam artikel itu ada tiga hal yang ingin digarisbawahi oleh penulis artikel tersebut. Pertama, karya sastra yang mengandung amanat, tendens, bersifat edukatif, dan memberi nasihat kepada pembaca kurang proporsional dan berlebih-lebihan.

Dimensi Sosial dalam Sastra

Sudah terlalu sering memang dimensi sosial dalam sastra ini diangkat ke permukaan sekaligus menjadi sebuah pembicaraan yang hangat. Namun, seperti dapat ditebak bahwa persoalannya justru kian kabur lantaran telah merembet ke berbagai ranah kreativitas para sastrawan sesuai dengan persepsi yang dikukuhinya. Para sastrawan makin getol mempertahankan visi personalnya masing-masing.

Menemukan Kristal Hakikat Danarto

(Sambung rasa dengan Bung Rosa Widyawan)

Sungguh tak terduga kalau tulisan saya “Menguak Absurditas Cerpen Danarto” (Wawasan Minggu, 26 Juni 1988) yang sekadar selentingan itu mendapatkan respon yang sangat menarik dari Bung Rosa Widyawan RP dengan judul “Tentang Cerpen Danarto: Absurditas Macam Apa?” (Wawasan Minggu, 4 September 1988). Ya, sebuah judul yang bernada retorika, namun justru menggelitik untuk dicarikan bias-bias jawabannya. Dengan munculnya tulisan itu, saya bermaksud mengadakan sambung rasa dengan Bung Rosa. Atau, boleh juga dibilang sebagai hak jawab saya atas pertanyaan yang diluncurkan Bung Rosa.

MENGUAK ABSURDITAS CERPEN DANARTO

Berdasarkan pengakuannya sebagai sastrawan, Danarto tergolong lamban dan sangat tidak produktif. Dalam kurun waktu 12 tahun (1975-1987) hanya muncul tiga buku kumpulan cerpen, yaitu Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), dan Berhala (1987). Hal ini bisa dimaklumi, sebab selain Danarto menggeluti dunia sastra, ia juga mengakrabi dunia seni lain, yakni seni leukis. Baginya, menulis dan melukis berjalan bersamaan. Sebuah pengakuan jujur.