Tumbal

Orang-orang bagai rusa masuk kampung. Bingung. Subuh tadi, anak Lik Karimun yang baru berusia tujuh bulan, hilang. Konon, si Nok tiba-tiba raib dari sisi tetek simboknya. Kontan saja Yu Painem menjerit-jerit histeris. Lik Karimun yang tidur di sisi Yu Painem pun limbung. Tubuhnya loyo.

Marto Klawung

Untuk ke sekian kalinya, Marto Klawung kembali mengamuk. Sorot matanya liar, ganas, menantang. Ke mana-mana, dia membawa parang terhunus, berkilat-kilat. Kalau sedang kambuh, nyaris tak ada seorang pun yang sanggup menjinakkannya.

Sang Pembunuh

Sepekan lagi, aku akan segera terbebas dari sekapan penjara terkutuk ini. Hampir sepuluh tahun, aku dipaksa mengakrabi dunia lembaga pemasyarakatan yang busuk. Busuk baunya dan orang-orang yang menghuninya. Ini memang sudah menjadi kenyataan tak terbantahkan. Penjara memang tempatnya para pesakitan. Setidaknya, mereka pernah berbuat keji. Dalam kamus hukum jelas tersurat bahwa orang yang dinyatakan bersalah harus menjadi penghuni bui. Menurut orang yang arif dan bijak, bui itu konon bisa dijadikan sebagai medium pertobatan agar para penghuninya tidak mengulang perbuatannya. Tapi, itu teori yang terlalu absurd jika diterapkan untuk saya. Seperti sudah saya kemukakan bahwa saya menjadi penghuni ruang sumpek berjeruji besi ini karena dipaksa. Saya telah menjadi korban permainan busuk juragan Karta yang kaya.

Pulang

Si Ratih muntah-muntah lagi. Badannya panas menyengat. Napasnya sengal. Dadanya seperti terhimpit beban yang teramat berat. Aku mulai panik. Menurut petugas puskesmas yang memeriksanya tadi pagi, si Nok yang belum genap dua tahun itu mestinya cepat-cepat kularikan ke rumah sakit. Tapi sama sekali aku tak punya keberanian. Sepeser pun duwit tak punya. Jangankan untuk berobat, sekadar untuk bisa makan pun terpaksa harus ngutang di warung Bu Mantri Darsan. Pemberian Kang Kadir, suamiku, tempo hari pun sudah ludes di perut dan mencicil sebagian utangku pada Bu Mantri.

Gapit

Darah Gopal berdesir. Hatinya panas. Daun telinganya perih seperti tersengat lebah. Bola matanya menyala liar seolah hendak membakar orang-orang yang duduk di sekitarnya. Dia berdiri, berkacak pinggang. Otot-ototnya yang kekar menegang. Orang-orang yang semula duduk santai sambil ngobrol ngalor-ngidul terhenyak. Mereka bertatapan sambil mencuri pandang ke wajah Gopal yang sangar. Rasa waswas menggantung di wajah mereka. Hening sejenak. Di dada mereka berkecamuk tanda tanya.

Santhet

Kang Jolodot marah besar. Darahnya berdesir deras. Kabut duka menyumbat dadanya.

“Pasti ada yang nggak beres!” berangnya menyaksikan ayam jagonya dihantam telak lawannya. “Jagoku ini sudah tiga kali jawara! Mustahil, mustahil!” pekiknya. Kang Jolodot menjadi gusar. Batinnya menerawang jauh. Tenggorokannya panas. Sementara matahari membakar bumi dengan dahsayt. Menambah beban arena semkin panas. Penonton sabung ayam jingkrak-jingkrak tanpa irama. Rasanya Kang Jolodot ingin menyumbat mulut mereka. Namun, kini benar-benar terpjok. Merasa asing.

Wisuda

Bola mata Mak Sarmini berkaca-kaca. Tanpa terasa, kedua pipinya yang nampak keriput basah oleh air mata. Dadanya ditimbuni rasa haru yang sulit diterjemahkan. Tubuhnya yang kurus tenggelam di antara hiruk-pikuk dan tepuk sorak yang membahana. Gedung besar dan megah itu seperti hendak roboh. Para tamu undangan yang berjubel larut dalam suasana gemuruh. Menuntaskan impian yang telah lama terpendam. Menyaksikan sukses putra-putri yang tengah menjalani prosesi “bersejarah”, wisuda! Senyum ceria pecah di sana-sini. Kilatan lampu kamera tak henti-hentinya membidik wajah dan gerak-gerik sang wisudawan.

Pengakuan

Warti hamil! Kabar itu segera menyentakkan kampung. Kalau Warti bersuami, jelas tak bermasalah. Tetapi, perempuan bertubuh pendek, berwajah kasar, dan berambut keriting itu jelas masih perawan, meskipun tergolong perawan kasep untuk ukuran di kampungnya. Umurnya sudah menginjak kepala tiga. Karuan saja, kampung dekat bibir hutan jati itu jadi gempar. Orang-orang tua mencibir sinis. Para pemuda blingsatan dan saling melempar kasak-kusuk.

Aib

Seumur-umur baru ini kali Jaidul menatap kasunyatan yang nganeh-anehi. Apa memang zaman sudah terbalik, pikirnya. Betapa tidak! Narti yang dulu gadis lugu, kini berubah liar. Pak Mantri Jamino, yang dulu orang terhormat, kini jadi sumber aib. Persitiwa aib inilah yang menggoncangkan kampung. Di perempatan jalan, di gardu poskamling, di warung, di pasar, dan di mana tempat yang ramai, selalu membicarakan keanehan ini.

Siapkah Guru Sastra Menyongsong KBK?

RENDAHNYA tingkat apresiasi sastra di kalangan pelajar sudah lama mencuat ke permukaan. Berbagai macam forum diskusi digelar unluk menemukan solusinya. Terakhir, program ‘Sastrawan Masuk Sekolah’ diusung oleh Yayasan Indonesia, Majalah Horison, dan Depdiknas. Tidak main-main. Sastrawan-sastrawan papan atas semacam Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ikram Jamil, atau Hamid Jabar dilibatkan. Namun, seperti dapat ditebak, forum semacam itu hanya sekadar melahirkan sejumlah slogan dan retorika. Kondisi apresiasi sastra di kalangan pelajar tetap saja memprihatinkan.