Sastra dan Anomali Sosial Generasi Muda Masa Kini
Saya tersentak ketika membaca sebuah berita seperti ini.
Sementara itu, berita dari kota Gudeg Yogyakarta juga tak kalah menyentakkan.
Politik, Budaya, dan Sastra Indonesia
Saya tersentak ketika membaca sebuah berita seperti ini.
Sementara itu, berita dari kota Gudeg Yogyakarta juga tak kalah menyentakkan.
Melalui millis KlubSastraBentang di http://groups.yahoo.com/group/klub-sastra/ saya baru dapat kabar kalau Saeful Badar telah “dihabisi” DDII Jawa Barat. Melalui pernyataan sikapnya, DDII Jawa Barat mengecam puisi “Malaikat” karya Saeful Badar yang dimuat di lembaran budaya “Khazanah” Pikiran Rakyat 4 Agustus 2007. (Ketika saya kunjungi puisi tersebut sudah sirna). Menurut DDII Jawa Barat, puisi tersebut dinilai telah jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.
Masih ada 9 pernyataan lain dari DDII Jawa Barat yang intinya menyatakan “penistaan” terhadap kepenyairan sekaligus “keislaman” Saeful Badar. (Pernyataan sikap DDII Jawa Barat selengkapnya bisa dilihat di sini). Menyaksikan kerasnya reaksi DDII Jawa Barat, redaksi Pikiran Rakyat segera meminta maaf dan menyatakan puisi “Malaikat” karya Saeful Badar tidak pernah ada. (Pantas saja ketika saya kunjungi sudah raib. Tapi Anda bisa membacanya di sini). Saeful pun telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.
Sementara itu, Fadjroel Rachman, penggagas Memo Indonesia menentang keras pengekangan itu. Berikut pernyataan sikapnya:
Pernyataan dari Fadjroel Rachman (via sms):
“Memo Indonesia menentang keras pemberangusan puisi MALAIKAT karya SAEFUL BADAR oleh lembaga dan individu manapun. Ini skandal perampasan hak kebebasan berekspresi” (Fadjroel Rachman, esais, penyair, novelis, penggagas Memo Indonesia).
Ada sikap latah yang sering hinggap dalam diri para pemimpin, pejabat, “penghuni” senayan, atau orang-orang terhormat yang sudah biasa masuk dalam lingkaran kekuasaan. Saat-saat menjelang Agustus-an seringkali dijadikan sebagai momentum untuk menunjukkan kepekaan akal budi dan kesalehan hati nurani. Orang mulia dan terhormat yang biasanya amat “alergi” terhadap puisi, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk menjadi pembaca puisi yang baik di atas mimbar terhormat. Dengan tampilan meyakinkan, mereka lantang membaca puisi heroik, kata demi kata, larik demi larik, bait demi bait. Meski dengan vokal, intonasi, dan penghayatan pas-pasan, mereka amat bangga mendapat aplaus meriah auidens yang merasa “tersihir” dan terpukau. Pejabat kok mau ya, baca puisi? Olala!
Ingin mendownload puisi-puisi heroik? Cari saja di sini! atau kunjungi saja URL ini!
Gaung 17-an telah menggema di seantero tanah air, mulai dari pedalaman, pesisir, pegunungan, hingga ke dusun-dusun yang nyaris tak pernah tersentuh kemajuan. Semua anak bangsa saling berlomba merayakannya, mulai dari baca puisi, karnaval, hingga upacara-upacara. Namun, seringkali kita lupa menyentuh roh dan maknanya. 17-an hanya sebatas dimaknai bagaimana agar suasana yang dibangun tampak rame, meriah, dan gemebyar. Semangat juang yang terkandung di dalamnya nyaris terlupakan.
Padahal, 62 tahun yang silam, para pejuang negeri ini mengorbankan jiwa dan raganya demi menjaga kehormatan dan martabat sebuah bangsa. Mereka yang telah tenang di alamnya, tentu akan merasa sedih menyaksikan kondisi Indonesia yang kini masih silang sengkarut. Korupsi makin menjadi-jadi bagaikan gunung es –jika tutupnya dibuka mungkin seperti kotak pandora– angka kriminal tak juga drop, kemiskinan hampir mencapai 50 juta jiwa, pengangguran masih menguasai sebagian besar kaum muda kita. Quovadis bangsa kita pasca 62 tahun merdeka?