Jagal Abilawa

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Sudah hampir sebulan ini aku dipusingkan oleh ulah Sumi, istriku, yang tengah hamil. Menurut para tetangga, istriku lagi nyidham, hal yang wajar dialami oleh perempuan yang sedang menjalani kodratnya. Dia minta dicarikan seorang tokoh dalam jagad pewayangan, Jagal Abilawa, salah satu kerabat Pandawa yang amat dikagumi lantaran keberanian dan ketegaran hatinya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Kalau sembarangan Jagal Abilawa, bagiku tak masalah. Aku bersahabat baik dengan banyak dalang dan perajin wayang kulit. Tentu, mereka dengan senang hati akan membantuku. Namun, yang diinginkan istriku, Jagal Abilawa yang usianya sudah mencapai usia ratusan tahun. Aku menganggap permintaan istriku merupakan sesuatu yang mustahil. Mana ada wayang kulit yang sanggup bertahan hingga umur ratusan tahun? Kalau toh ada, pasti sudah jatuh ke tangan para kolektor barang antik yang berkantong tebal. Tetapi, istriku tak peduli. Dia terus mendesakkan keinginannya untuk bisa dipertemukan dengan ksatria Jodipati yang perkasa itu.

Jagal Abilawa

Cerpen: Sawali Tuhusetya Sudah hampir sebulan ini aku dipusingkan oleh ulah Sumi, istriku, yang tengah hamil. Menurut para tetangga, istriku lagi nyidham, hal yang wajar dialami oleh perempuan yang sedang…

“Langit Makin Mendung”: Cerpen Multiwajah yang Kontroversial

Pernah membaca cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) karya Kipandjikusmin? Bagaimana kesan Sampeyan? Benci, geram, atau justru diam-diam mengaguminya? Ya, cerpen itulah yang pernah membikin “heboh” jagad sastra Indonesia karena dinilai telah melanggar batas kepantasan sebagai sebuah teks cerpen yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Sastra No. 8 (edisi Agustus) tahun 1968 itu telah mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan disita oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan berbagai hujatan dan hinaan. Redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin harus berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP).

39 tahun sudah “heboh sastra” itu berlangsung. Namun, LMM dan Kipandjikusmin tetap saja menjadi sebuah fenomena dalam dinamika sejarah sastra Indonesia.

Kang Panut

Nada tangis pilu memecah perkampungan, mengiris atap-atap rumah, mengusik mimpi-mimpi yang membadai di layar bawah sadar para penduduk. Fajar baru saja menggeliat dari kepungan malam yang busuk. Sambil mengucak-ucak pelupuk mata, beberapa penduduk berjingkat dari pembaringan, menerobos pintu, menyibak kabut dingin.

“Ada yang meninggal, ya, Kang?” tanya seseorang.

“Mungkin!” sahut yang lain.

“Kira-kira siapa yang meninggal, ya, Kang?”

“Mana aku tahu? Tapi kalau ndak salah tangisan itu dari rumah Kang Panut!”

“Tapi setahu saya keluarga Kang Panut sehat-sehat saja, kok!”

“Yah, semoga tidak ada apa-apa!”

Mereka terus berjalan menyusuri jalan desa yang dingin dan berkabut. Tergesa-gesa. Suara tangis makin menyayat-nyayat. Para penduduk makin tak sabar. Ketika tiba di rumah Kang Panut, mereka menyaksikan kesibukan yang berlangsung di gubug reot berdinding bambu itu.

Teks Fiksi dan Kehadiran Dokumentator

Paling tidak dalam paro dekade terakhir, muncul fenomena baru dalam jagad kesusastraan Indonesia mutakhir, yakni memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya telah lahir sebuah antologi (baik puisi maupun cerpen). Sebaliknya, mereka yang belum memiliki antologi, meski sudah bertahun-tahun intens menggeluti dunia kesastraan, belum layak menyandang predikat sastrawan. Begitu pentingkah sebuah antologi bagi seorang penulis sehingga perlu terus berjuang untuk mewujudkannya?

Ya, ya, ya! Antologi memang bisa menjadi alat dan media untuk mengukuhkan legitimasi kesastrawanan seseorang. Apalagi, seseorang yang memilih dunia kesastraan sebagai bagian dari “panggilan” hidup, tetaplah butuh sebuah pengakuan. Kehadiran sebuah antologi bisa jadi akan makin mengukuhkannya sebagai sastrawan. Namun, persoalan akan menjadi lain ketika antologi menjadi sebuah tujuan.

Teks Fiksi dan Kehadiran Dokumentator

Paling tidak dalam paro dekade terakhir, muncul fenomena baru dalam jagad kesusastraan Indonesia mutakhir, yakni memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya telah lahir…

Kang Sakri dan Perempuan Pemimpi

Puluhan mayat terjepit mengenaskan di sela-sela reruntuhan dan puing-puing bangunan yang porak-poranda. Bau busuk menyembur-nyembur. Ratusan burung pemangsa bangkai terbang rendah. Lantas, dengan kecepatan tak terduga menyerbu mayat-mayat itu. Dengan…

Sang Pembunuh

Sepekan lagi, aku akan segera terbebas dari sekapan penjara terkutuk ini. Hampir sepuluh tahun, aku dipaksa mengakrabi dunia lembaga pemasyarakatan yang busuk. Busuk baunya dan orang-orang yang menghuninya. Ini memang…

Sepotong Kepala

Para penduduk bergidik ngeri menyaksikan jasad Sukardal yang hanya tinggal gembungnya, seperti bangkai babi yang barusan dibantai tukang jagal. Sepotong kepalanya menggelinding entah di mana. Bayangan kebiadaban menggerayangi setiap kepala.…

Topeng

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Entah! Setiap kali memandangi topeng itu lekat-lekat, Barman merasakan sebuah kekuatan aneh muncul secara tiba-tiba dari bilik goresan dan lekukannya. Ada semilir angin lembut yang mengusik gendang telinganya, ditingkah suara-suara ganjil yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Perasaan Barman jadi kacau. Kepalanya terasa pusing. Sorot matanya tersedot pelan-pelan ke dalam sebuah arus gaib yang terus memancar dari balik topeng. Dalam keadaan demikian, Barman tak mampu berbuat apa-apa. Terpaku dan mematung. Getaran-getaran aneh terasa menjalari seluruh tubuhnya. Barman benar-benar berada dalam pengaruh topeng itu.

Memang hanya sebuah topeng. Bentuknya pun mungkin sudah tidak menarik. Permukaannya kasar. Dahinya lebar. Hidung pesek dengan kedua pipi menonjol. Goresan dan lekuknya terkesan disamarkan, tidak tegas. Warnanya pun sudah kusam, menandakan ketuaan. Orang-orang kampung menyebutnya topeng tembem. Tapi dengan topeng itulah nama ayah Barman, Marmo, pernah melambung sebagai pemain reog yang dikagumi pada masa jayanya.