Pendidikan Pencerah Spiritual

Dunia persekolahan kita, kata YB Mangunwijaya dalam buku PascaIndonesisa, PascaEinstein (1999), tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya—apalalagi berpikir kritispraktis—adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi didrill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.

Bahasa Indonesia, antara Modernisasi dan Jatidiri

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama, dalam hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global dan mondial, bahasa Indonesia harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan.

Membangun Tradisi Demokrasi Lewat Pendidikan

MASA-MASA yang sarat keterpasungan akibat gaya kekuasaan rezim Orde Baru yang represif dan otoriter telah lewat. 20 Mei 1998 telah dicatat oleh sejarah negeri ini sebagai momentum “mahapenting” di mana seluruh kekuatan reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa berhasil mendobrak sebuah kekuatan tirani yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Era reformasi pun menggelinding ke permukaan. Harapan akan lahirnya sebuah iklim demokrasi yang sehat dan dinamis membayang di setiap kepala. Kran demokrasi dibuka lebar-lebar.

Membumikan Nilai Demokrasi di Sekolah

Sejak reformasi bergulir di negeri ini, atmosfer demokrasi berhembus kencang di segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat. Masyarakat pun menyambut “paradaban” baru itu dengan antusias. Kebebasan yang terpasung bertahun-tahun lamanya kembali berkibar di atas panggung kehidupan sosial.

Siapkah Guru Sastra Menyongsong KBK?

RENDAHNYA tingkat apresiasi sastra di kalangan pelajar sudah lama mencuat ke permukaan. Berbagai macam forum diskusi digelar unluk menemukan solusinya. Terakhir, program ‘Sastrawan Masuk Sekolah’ diusung oleh Yayasan Indonesia, Majalah Horison, dan Depdiknas. Tidak main-main. Sastrawan-sastrawan papan atas semacam Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ikram Jamil, atau Hamid Jabar dilibatkan. Namun, seperti dapat ditebak, forum semacam itu hanya sekadar melahirkan sejumlah slogan dan retorika. Kondisi apresiasi sastra di kalangan pelajar tetap saja memprihatinkan.

Pendidikan dan Moralitas Kaum Terpelajar

Tulisan S Bayu Wahyono berjudul “Pendidikan Humaniora Dalam Era Industrialisasi” (Pembaruan, 22/7/96) menarik dan menggelitik untuk ditanggapi. Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga persoalan mendasar yang ingin digarisbawahi dalam tulisan itu. Pertama, munculnya kekhawatiran terhadap nasib pendidikan humaniora akibat dominannya gejala teknokrasi dalam dunia pendidikan.

Akankah Kurikulum 2004 Berakhir Konyol?

DI harian ini beberapa bulan lalu, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof Suyanto PhD, pernah melontarkan plesetan KBK menjadi “Kurikulum Bakalan Konyol”. Kini, muncul plesetan lain. Pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) -yang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan di kalangan guru- diplesetkan menjadi “Cathet Tinggal Lunga” (catat tinggal pergi); tak ubahnya dengan nasib pendekatan CBSA yang dulu diplesetkan menjadi “Cah Bodho Saya Akeh” atau “Catat Buku Sampai (h)Abis”. Plesetan yang mencerminkan keadaan betapa sulitnya negeri ini mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik dalam ranah dunia pendidikan kita.

Kecemasan Menjelang UN

JIKA tidak ada aral melintang, Mei nanti semua siswa SMP/MTsdan SMA/MA/SMK yang duduk di kelas terakhir akan menempuh Ujian Akhir Nasional(UAN). Namun, Standar Prosedur Operasional (SPO) UAN sebagaimana tertuangdalam Keputusan Mendiknas RI Nomor 153/U/2003 bertanggal 14 Oktober 2003,UAN tahun pelajaran 2003/2004 masih menimbulkan pro dan kontra, terutamayang berkaitan dengan kriteria kelulusan yang mematok batas nilai minimal4,01 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan baik ujian teori maupunpraktik.