Kembali Ke Fitrah

Tanpa terasa sebulan sudah kita berada di dalam kawah candradimuka. Berlatih dan menempa diri, merontokkan segala macam penyakit hati, meluluhlantakkan noda dan kotoran yang bersarang di rongga hati. Jika berhasil…

Catatan dari Balik Kabut

Dari balik kabut
Kurentangkan tangan dhaifku menggapai mega-mega
Kutuliskan namaku di setiap labirin kesunyian
Memberikan tanda-tanda

Aku berdiri di sini
Di balik kabut mega-mega
Kusaksikan para malaikat mengadili para pendosa

Pilu tangis mengiris kolong langit
Menggetarkan semesta
Kabut berwarna merah darah
Mengurung semesta
Namaku tak lagi punya tanda
***

Ya, negeri ini memang tengah diselimuti kabut. Tak hanya tsunami, bencana alam, atau kebakaran hutan. Tapi ada yang jauh lebih parah yang telah membikin negeri terpuruk dalam lumpur kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Ya, korupsi! Maksiat korupsi telah membikin bangsa ini jatuh dalam kebangkrutan. Marwah dan martabat bangsa tergadaikan oleh keserakahan sekelompok elite yang telah melupakan sumpah dan ikrarnya. Demikian parahnya “efek domino” yang ditimpakan oleh para koruptor sampai-sampai bangsa dan negeri ini tak berdaya ketika bangsa lain melempari wajah bangsa kita dengan telor busuk. Bangsa kita yang miskin, terbelakang, dan bodoh seakan-akan sudah tak punya kekuatan untuk sekadar mengingatkan, apalagi berteriak. Sipadan dan Lipadan sudah diembat, batik sudah diklaim sebagai karyanya, lagu-lagu sudah disikat habis dan dipatenkan. Belum lagi terhitung saudara-saudara kita yang menjadi korban arogansi bangsa yang mengaku dirinya sebagai bangsa serumpun itu. Namun, apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya bisa mengerutkan jidat dan menunggu-nunggu, ulah apalagi yang akan dipertontonkan oleh negeri jiran itu di depan mata kita.

Mengapa Saya Ngeblog di WordPress?

Entah, tiba-tiba saja saya tergelitik untuk merespon komentar seorang pengunjung berikut ini menjadi sebuah postingan.

graphic11.jpg

Mengapa saya tergelitik untuk merespon komentar Bung Abi –kalau boleh memanggilnya demikian– ke dalam sebuah postingan? Pertimbangan saya sederhana saja. Pertama, respon terhadap komentar Bung Abi cukup panjang sehingga lebih tepat dan relevan jika saya sajikan ke dalam sebuah postingan. Kedua, respon terhadap komentar tersebut tidak cukup hanya diketahui oleh Bung Abi, tetapi juga bagi komunitas pendidikan atau pengunjung yang lain.

Baik, terpaksa saya harus buka kartu untuk menjawab judul postingan ini. *Mohon maaf kalau ada ungkapan atau pernyataan yang agak narcis, hehehehe 😀 *

Revitalisasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah

Sebagai bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah mencapai bilangan ke-62 tahun. Bahkan, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah. Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar pun pemerintah telah menempuh “politik kebahasaan” dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.

Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?

Kepala di Bilik Sarkawi

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Bilik Sarkawi yang sumpek, singup, dan gelap diselimuti asap dupa. Baunya yang khas berbaur aroma kembang telon dan minyak serimpi menyedak hidung. Sarkawi merasakan pikirannya hanyut dan tenggelam dalam arus percumbuan yang ganjil. Melayang-layang. Sepotong kepala yang tergantung dalam bilik itu tampak menjelma bagai wajah bidadari. Anggun, cantik, memesona, putih bercahaya, memancarkan aura kegaiban. Sarkawi merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Diusapnya sepotong kepala itu lembut. Mesra. Darah Sarkawi berdesir. Ada sebuah kekuatan aneh yang tiba-tiba muncul dari balik kepala itu, lantas merayap-rayap dan menjalar bersama aliran darah Sarkawi. Lelaki kurus itu tersenyum penuh makna. Ia paham, sinyal itu memberi isyarat bahwa ia harus segera bersiap memasuki pengembaraan batinnya.

Sembari duduk bersila takzim, mulut Sarkawi mulai komat-kamit merapal mantra. Tidak jelas benar apa yang meluncur dari balik bibirnya yang pucat itu. Lantas dengan gerak refleks, ia segera melolos sisir dari balik saku baju kumalnya. Sekali lagi, dengan lembut dan mesra, wajah sepotong kepala dibelainya seperti memperlakukan seorang kekasih. Rambut sepotong kepala yang menjuntai ke bawah itu disisirnya pelan-pelan. Sarkawi tersentak.

Sepotong Kepala

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Para penduduk bergidik ngeri menyaksikan jasad Sukardal yang hanya tinggal gembungnya, seperti bangkai babi yang barusan dibantai tukang jagal. Sepotong kepalanya menggelinding entah di mana. Bayangan kebiadaban menggerayangi setiap kepala.

“Untuk apa orang gemblung seperti Sukardal dibunuh!” teriak seseorang disambung gumam-gumam lirih yang tumpah di tengah kerumunan penduduk.

“Benar-benar biadab!” sahut yang lainnya.

“Kalau bukan iblis, pasti demit yang melakukannya!”

“Belum tentu juga, Kang! Aku yakin, pelakunya pasti manusia! Zaman sekarang, cukup banyak orang yang perangainya melebihi kebiadaban iblis dan demit!”

“Eh! Jangan sok tahu, sampeyan! Jangan suka memastikan sesuatu yang belum jelas kebenarannya! Bisa-bisa sampeyan diperkarakan orang!”

Di manakah Empati Kita terhadap Sesama?

Belakangan ini praktik kehidupan yang terpampang di atas panggung peradaban makin liar dan buas saja. Praktik kekerasan dan vandalisme (hampir-hampir) menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dalam dinamika perjalanan bangsa ini. Lihat saja di layar TV! Kotak ajaib itu seolah-olah sudah belepotan darah setiap hari. Tawuran antarkampung, perampokan, pencurian, penggusuran, pemerkosaan, dan lain-lain sudah menjadi berita jamak sehari-hari. Becermin dari berbagai kejadian tragis itu, ada sebuah pertanyaan yang mengusik nurani kemanusiaan kita. Benarkah kita telah kehilangan empati terhadap sesama sehingga demikian tega menyakiti dan tak peduli lagi terhadap penderitaan hidup sesama?

Banyak pertanyaan yang bisa dikemukakan, mengapa sikap empati kita terhadap sesama seolah-olah sudah terkikis dari dinding hati dan nurani kita. Seiring dengan merebaknya pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif, dan hedonistis, yang melanda masyarakat kita belakangan ini, diakui atau tidak, telah membikin perspektif kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyempit. Kesibukan berurusan dengan gebyar duniawi, disadari atau tidak, telah membuat kita abai terhadap persoalan esensial yang menyangkut interaksi dan komunikasi sosial terhadap sesama. Jangankan mengurus nasib orang lain, mengurus diri sendiri saja masih payah? Mengapa kita mesti repot-repot merogoh uang recehan untuk gelandangan dan pengemis kalau mencari duwit haram saja sulit? Mengapa kita susah-payah membantu korban kecelakaan lalu lintas kalau pada akhirnya kita mesti repot-repot memberikan kesaksian di depan aparat yang berwenang? Kenapa kita mesti membebani diri mengurus anak-anak telantar dan yatim piatu kalau setiap pagi kita masih kerepotan memberikan uang saku untuk sekolah anak-anak kita?

Taufiq Ismail tentang “Gerakan Syahwat Merdeka”

Tulisan ini mungkin bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, fenomena “Gerakan Syahwat Merdeka” ini telah mencuat pada 20 Desember 2006 yang lalu dalam sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan Taufiq Ismail di depan Akademi Jakarta. Namun, sekadar untuk ikut urun rembug dalam menyikapi dinamika dunia sastra, tak apalah kalau akhirnya saya ikut-ikutan latah membuat postingan “sampah” ini. hehehehe 😀

Di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf. Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 itu mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Menurutnya, gerakan tersebut tak bersosok organisasi resmi yang tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. Dismpulkan oleh Taufiq Ismail, GSM telah mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

“Premanisme” dalam Dunia Pendidikan

3 Juli 2007 yang lalu, Presiden SBY mengeluarkan PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2007 TENTANG DAFTAR BIDANG USAHA YANG TERTUTUP DAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL. Dalam lampiran II disebutkan, Pendidikan Dasar dan Menengah termasuk Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan (dengan batasan kepemilikan modal asing maksimal 49%).

Menurut hemat saya, ada empat hal mendasar yang melatarbelakangi keluarnya Perpres itu. Pertama, Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia yang mustahil mampu mengelak dari pengaruh globalisasi. Mau atau tidak, Indonesia harus beradaptasi dengan “peradaban” dan tata dunia baru ke dalam arus global dan mondial, sehingga harus lentur terhadap setiap dinamika dan perubahan. Ini artinya, bangsa kita harus siap menerima kehadiran “preman-preman” asing, termasuk dalam sektor pendidikan.

Menjual Ideologi Lewat Blog

Beberapa hari belakangan ini, para blogger WP disentakkan oleh kehadiran blogger baru yang unik dan kontroversial. Pasalnya, blogger dengan nama “mistis” Ratu Adil Satria Pinandhita dengan slogan “Pendekar supersakti pemimpin seluruh manusia memasuki dimensi baru” itu selalu nangkring di BOTD WP pada posisi teratas. Efeknya, banyak blogger yang penasaran untuk mengunjunginya. Semakin banyak yang berkunjung, jelas akan makin mengangkat nama blogger itu “setinggi langit”.

Saya kira sudah banyak blogger yang “menelanjangi” kehadiran sang ratu itu dari berbagai sisi, mulai dari ideologinya yang provokatif, menyebarkan kesesatan, menaburkan kebencian, hingga memanipulasi komentar yang mampir di blognya. Ulasan tentang kahadiran “sang ratu” di antaranya bisa dilihat di sandynata, sandynata, BlogGirang, newradical, almascatie, die4pleasure, dan di blog-blog lain yang –mohon maaf– luput dari pantauan awam saya. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menyikapi ideologi-ideologi menyesatkan yang dengan sangat sadar dipublikasikan di dunia maya semacam itu?