Penerbitan Mandiri dan “Kopdar Mini”
Atas jasa baik seorang teman blogger, akhirnya saya bisa “terdampar” di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, 9 November 2007 yang lalu. Ada acara workshop menarik di sana; “Cara Gampang Menerbitkan Buku Sendiri“. Narasumbernya adalah para “pendekar” dunia perbukuan yang punya gagasan kreatif untuk bisa terlepas dari jeratan penerbit komersial yang –maaf– seringkali tidak jujur kepada para penulis. Siapa yang tidak kenal Edy Zaqeus? Yak, anak muda kelahiran Madiun, 24 Maret 1971 dengan nama Sutopo Sasmito Edy ini telah menghasilkan beberapa buku “heboh” yang diterbitkan sendiri. Beberapa di antaranya bisa dibilang best-seller. (Selengkapnya baca di sini.) Siapa pula yang tak kenal Her Suharyanto? Beliau lebih senior ketimbang Edy Zaqeus. Bahkan, diakui sebagai gurunya Edy Zaqeus. Siapa pula yang tak kenal Andreas Harefa? Ya, Bung Harefa dikenal sebagai sosok muda yang gigih mewujudkan lahirnya pembelajar-pembelajar sejati untuk tidak terbelenggu dalam formalisme dunia persekolahan sebagaimana tercermin dalam buku best-seller-nya Menjadi Manusia Pembelajar. Mereka bertiga juga gencar memublikasikan gagasan-gagasan kreatif tentang dunia menulis lewat situs www.pembelajar.com.
Membudayakan Aktivitas Ngeblog di Kalangan Guru
Selama dua hari (Sabtu dan Minggu, 10-11 November 2007), saya didaulat untuk mendampingi rekan-rekan sejawat guru dalam pelatihan KKG (Kelompok Kerja Guru SD) dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran SMP/SMA) berbasis ICT yang digelar oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Tengah di Semarang. Dalam pelatihan itu, saya ketiban sampur untuk menyampaikan materi “Pengenalan dan Pembuatan Blog”. Jelas, ini merupakan tugas yang berat bagi saya yang masih miskin pengalaman dalam dunia blog. Apalagi, basis akademik saya sebenarnya tidak terlalu akrab dengan dunia TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Saya sempat membayangkan betapa sulitnya ketika saya harus mendampingi rekan-rekan sejawat dalam membuat sebuah blog. (Mengurus blog sendiri saja masih kacau Apalagi, saat itu kondisi saya masih capek sepulang dari Jakarta. Belum sempat ketemu anak-anak, langsung cabut ke Semarang.) Namun, apa pun yang terjadi, the show must go on. Dengan modal seadanya, akhirnya saya “nekad” juga. Alhasil, saya pun terpaksa harus “cuap-cuap” di depan rekan-rekan sejawat itu dengan didampingi tayangan power-point sederhana.
Membudayakan Aktivitas Ngeblog di Kalangan Guru
Sertifikasi Guru, Sebuah “Indonesia” yang Tertinggal
Teks Fiksi dan Kehadiran Dokumentator
Paling tidak dalam paro dekade terakhir, muncul fenomena baru dalam jagad kesusastraan Indonesia mutakhir, yakni memburu legitimasi kesastrawanan melalui antologi. Seseorang baru layak disebut sastrawan apabila dari tangannya telah lahir sebuah antologi (baik puisi maupun cerpen). Sebaliknya, mereka yang belum memiliki antologi, meski sudah bertahun-tahun intens menggeluti dunia kesastraan, belum layak menyandang predikat sastrawan. Begitu pentingkah sebuah antologi bagi seorang penulis sehingga perlu terus berjuang untuk mewujudkannya?
Ya, ya, ya! Antologi memang bisa menjadi alat dan media untuk mengukuhkan legitimasi kesastrawanan seseorang. Apalagi, seseorang yang memilih dunia kesastraan sebagai bagian dari “panggilan” hidup, tetaplah butuh sebuah pengakuan. Kehadiran sebuah antologi bisa jadi akan makin mengukuhkannya sebagai sastrawan. Namun, persoalan akan menjadi lain ketika antologi menjadi sebuah tujuan.
Bang Kempul Bergaya Selebritis: Sebuah Refleksi
Setelah jadi wakil rakyat, gaya hidup Bang Kempul berubah drastis. Kesibukannya luar biasa padat. Ia memang sering mangkir dan selintutan pada agenda yang “kering” dan melelahkan, tapi selalu hadir pada acara-acara “basah” yang mengalirkan kerincing dhuwit ke koceknya. Mobil mewahnya yang nongkrong di garasi siap memanjakan ke mana pun lelaki muda berjidat licin itu pergi. Rumah dinasnya magrong-magrong, lengkap dengan segenap perabot dan fasilitas serba mewah. Busana yang membungkus tubuhnya pun harus bikinan luar negeri yang konon bisa membuat pemakainya pede dan bergengsi.
Topeng
Cerpen: Sawali Tuhusetya
Entah! Setiap kali memandangi topeng itu lekat-lekat, Barman merasakan sebuah kekuatan aneh muncul secara tiba-tiba dari bilik goresan dan lekukannya. Ada semilir angin lembut yang mengusik gendang telinganya, ditingkah suara-suara ganjil yang sama sekali belum pernah dikenalnya. Perasaan Barman jadi kacau. Kepalanya terasa pusing. Sorot matanya tersedot pelan-pelan ke dalam sebuah arus gaib yang terus memancar dari balik topeng. Dalam keadaan demikian, Barman tak mampu berbuat apa-apa. Terpaku dan mematung. Getaran-getaran aneh terasa menjalari seluruh tubuhnya. Barman benar-benar berada dalam pengaruh topeng itu.
Memang hanya sebuah topeng. Bentuknya pun mungkin sudah tidak menarik. Permukaannya kasar. Dahinya lebar. Hidung pesek dengan kedua pipi menonjol. Goresan dan lekuknya terkesan disamarkan, tidak tegas. Warnanya pun sudah kusam, menandakan ketuaan. Orang-orang kampung menyebutnya topeng tembem. Tapi dengan topeng itulah nama ayah Barman, Marmo, pernah melambung sebagai pemain reog yang dikagumi pada masa jayanya.
Membebaskan Dunia Pendidikan dari “Virus” Politik
Pemilihan Presiden (Pilpres) memang baru akan berlangsung 2009 nanti. Namun, denyutnya sudah kita rasakan mulai sekarang. Para calon presiden (Capres) mulai “tabur pesona” dengan menjaga komunikasi seramah dan seefektif mungkin. Sebisa-bisanya membangun citra dan imaji positif di tengah-tengah publik untuk meraih simpati. Sikap kritis terhadap kepemimpinan RI I pun kian gencar dilakukan. Yang pasti, para Capres mulai ancang-ancang dan memasang strategi untuk menjerat rival politiknya sekaligus merangkul berbagai kelompok dan organisasi untuk membangun citra positif secara kolektif.
Dunia pendidikan dan dunia politik memang merupakan khazanah yang berbeda. Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia secara utuh dan paripurna, sedangkan dunia politik sangat erat kaitannya dengan proses bertindak dan mekanisme kebijakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan visi dan platform perjuangannya. Untuk mencapai tujuan, para politikus tidak jarang menempuh langkah dengan menghalalkan segala macam cara. Kawan bisa jadi lawan, lawan pun bisa menjadi kawan. Tidak heran apabila publik sering dibuat tercengang oleh ulah para elite politik yang suka berubah-ubah pendirian.