Sastra Koran vs Sastra Cyber

Semenjak dunia sastra merambah dunia maya alias internet, banyak kalangan –terutama mereka yang mengklaim dirinya sebagai sastrawan– merasa gerah. Pasalnya, lewat berbagai blog yang gratisan, hampir setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Bahkan, teks sastra yang tergolong “sampah” pun bisa dengan mudah terpublikasikan. Hal yang (hampir) mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari “barikade” selera sang redaktur. Ini artinya, tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.

Menurut hemat saya, dikotomi sastra koran versus sastra cyber bukanlah perkara substansial. Sastra sangat erat kaitanya dengan dunia imajiner yang bebas ditafsirkan oleh orang dari berbagai kalangan. Ini artinya, siapa pun punya hak untuk menafsirkan nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika alias pesan moral yang terkandung di dalamnya. Persoalan sastra koran dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra koran selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber (hampir) tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Setiap orang pun bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk memublikasikan karya-karyanya. Selain itu, koran juga mengenal batasan dimensi ruang dan waktu. Pembacanya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan sebagai “suplemen” hiburan, melengkapi kolom-kolom keluarga dan entertainment lainnya.

Taufiq Ismail tentang “Gerakan Syahwat Merdeka”

Tulisan ini mungkin bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, fenomena “Gerakan Syahwat Merdeka” ini telah mencuat pada 20 Desember 2006 yang lalu dalam sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan Taufiq Ismail di depan Akademi Jakarta. Namun, sekadar untuk ikut urun rembug dalam menyikapi dinamika dunia sastra, tak apalah kalau akhirnya saya ikut-ikutan latah membuat postingan “sampah” ini. hehehehe 😀

Di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf. Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 itu mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Menurutnya, gerakan tersebut tak bersosok organisasi resmi yang tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. Dismpulkan oleh Taufiq Ismail, GSM telah mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

Benarkah Pelajar Kita Mengidap “Rabun” Sastra?

Ini soal klasik. Sejak tahun 2003, sastrawan Taufiq Ismail sudah mempersoalkannya. Diawali dengan melakukan survei sederhana dengan mewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Meski hanya berupa snapshot dan potret sesaat, hasilnya benar-benar membuat kita tersentak.

Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.

Survei yang menyentakkan, bukan? Menurut Taufiq Ismail, hasil snapshot tersebut semakin memperteguh asumsi selama ini bahwa pengajaran sastra dan bimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaan besar yang harus diagendakan adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan bahwa usaha perbaikan harus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca dan mengarang bagaikan dua saudara yang tak terpisahkan harus mulai ditanamkan. Semakin siswa banyak membaca, maka makin bagus karangannya. Dan, kegemaran membaca harus mulai dipupuk melalui buku-buku sastra, yang pada gilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain. Begitu pun bimbingan mengarang (baca: menulis) bisa dimulai di kelas bahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain. (Kaitan antara aktivitas membaca dan menulis juga bisa dilihat di sini -blog yang dikelola oleh Pak Ersis Warmansyah Abbas).

“Bunuhlah Imajinasiku dengan Puisiku!”

Melalui millis KlubSastraBentang di http://groups.yahoo.com/group/klub-sastra/ saya baru dapat kabar kalau Saeful Badar telah “dihabisi” DDII Jawa Barat. Melalui pernyataan sikapnya, DDII Jawa Barat mengecam puisi “Malaikat” karya Saeful Badar yang dimuat di lembaran budaya “Khazanah” Pikiran Rakyat 4 Agustus 2007. (Ketika saya kunjungi puisi tersebut sudah sirna). Menurut DDII Jawa Barat, puisi tersebut dinilai telah jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.

Masih ada 9 pernyataan lain dari DDII Jawa Barat yang intinya menyatakan “penistaan” terhadap kepenyairan sekaligus “keislaman” Saeful Badar. (Pernyataan sikap DDII Jawa Barat selengkapnya bisa dilihat di sini). Menyaksikan kerasnya reaksi DDII Jawa Barat, redaksi Pikiran Rakyat segera meminta maaf dan menyatakan puisi “Malaikat” karya Saeful Badar tidak pernah ada. (Pantas saja ketika saya kunjungi sudah raib. Tapi Anda bisa membacanya di sini). Saeful pun telah meminta maaf dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

Sementara itu, Fadjroel Rachman, penggagas Memo Indonesia menentang keras pengekangan itu. Berikut pernyataan sikapnya:

Pernyataan dari Fadjroel Rachman (via sms):
“Memo Indonesia menentang keras pemberangusan puisi MALAIKAT karya SAEFUL BADAR oleh lembaga dan individu manapun. Ini skandal perampasan hak kebebasan berekspresi” (Fadjroel Rachman, esais, penyair, novelis, penggagas Memo Indonesia).

Siapkah Guru Sastra Menyongsong KBK?

RENDAHNYA tingkat apresiasi sastra di kalangan pelajar sudah lama mencuat ke permukaan. Berbagai macam forum diskusi digelar unluk menemukan solusinya. Terakhir, program ‘Sastrawan Masuk Sekolah’ diusung oleh Yayasan Indonesia, Majalah Horison, dan Depdiknas. Tidak main-main. Sastrawan-sastrawan papan atas semacam Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ikram Jamil, atau Hamid Jabar dilibatkan. Namun, seperti dapat ditebak, forum semacam itu hanya sekadar melahirkan sejumlah slogan dan retorika. Kondisi apresiasi sastra di kalangan pelajar tetap saja memprihatinkan.

Jika Cerpen Dicemari Limbah Politik

Suara Merdeka edisi Minggu (18/2/2001) memuat cerpen berjudul “Dialog Kambing di Pasar Hewan” (DKPH) karya T. Atmawidjaja. Cerpen itu betutur tentang sekelompok kambing dengan beragam karakter di sebuah pasar hewan yang riuh. Dalam bahasa kambing yang sulit dipahami manusia, mereka (baca: para kambing) berdialog tentang nasib teman mereka yang disembelih, dijadikan tumbal akibat kebiadaban massa di Kendal beberapa waktu lalu. Darahnya digunakan untuk menandatangani pernyataan sikap sekelompok orang yang akan dikirim ke Jakarta sebagai respons terhadap situasi politik yang berkembang saat itu.

Romantika, Logika, dan Religiusitas

Nurdien H Kistanto, Sajak-sajak Orang Desaku, IKIN dan Penerbit Undip, Semarang 1996, V+45 halaman.

PROF. A. Teeuw pernah mengatakan puisi tak akan pernah tercipta dalam suasana kosong. Artinya, puisi akan senantiasa diwarnai oleh visi, persepsi, dan obsesi penyairnya dalam memandang kehidupan. Penyair bebas memilih gaya pengucapan sesuai dengan kepekaan intuitifnya.

Jika Penyair Menjadi Seorang Narcisus

TAMPAKNYA, Nurdien H. Kistanto benar-benar “berang” atas serangan kritik yang ditujukan kepada kumpulan pusinya Sajak Orang-Orang Desaku (SOOD). “Keberangan” Nurdien bisa dimaklumi lantaran sebagai penyair, ia butuh legitimasi, butuh dipahami cara dia berkesnian. Bukan caci-maki, apalagi hujatan yang menafikan nilai-nilai keberadaan manusiawi dalam memahami proses kretivitasnya.

Tak Harus Bilang “Brengsek”

(Catatan untuk Kusprihyanto Namma)

Tulisan Kusprihyanto Namma di Suara Merdeka (21 April 1989) berjudul “Penerbitan Puisi, Sekadar Dokumentasi) menarik disimak. Menurut pewmahaman saya, minimal ada dua hal yang ingin digarisbwahinya. Pertama, sajak yang termuat di koran (sajak koran) terpola oleh selera media massa cetak sehingga penyair terjebak dalam sikap hipokrit (kepura-puraan). Denagn demikian, sajak bukan hasil penjelajahan proses kreativitas yang intens.