Ancaman

Jam di tembok ruang tamu menunjuk angka 08.30 pagi. Miranti terkesiap ketika tiba-tiba saja seorang lelaki –entah dari mana datangnya—sudah berdiri di depan pintu. Tubuhnya kurus. Dekil. Rambutnya gondrong acak-acakan. Pakaiannya lusuh. Matanya yang kuning kemerahan menyorot liar. Daraha Minranti mendesir. Ia letakkan koran yang barusan dibacanya ke atas meja.

Cerpen Teror sebagai Bahan Ajar

(Bedah cerpen Triyanto Triwikromo)

 

Layakkah cerpen-cerpen yang meneror dan mengelaborasi kekerasan menjadi bahan ajar di sekolah? Pembacaan cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo yang terhimpun dalam antologi terbarunya, Pintu Tertutup Salju (Bentang Budaya, 2000), oleh Agung Wibowo dan Evi Idawati di aula Depdiknas Kendal, Minggu (28 Mei 2000), agaknya pantas untuk untuk menstimuli kemunculan pertanyaan tersebut. Lebih-lebih auidensinya pada umumnya pengajar sastra di sekolah.

Ancaman

Cerpen Sawali Tuhusetya

Jam di tembok ruang tamu menunjuk angka 08.30 pagi. Miranti terkesiap ketika tiba-tiba saja seorang lelaki –entah dari mana datangnya—sudah berdiri di depan pintu. Tubuhnya kurus. Dekil. Rambutnya gondrong acak-acakan. Pakaiannya lusuh. Matanya yang kuning kemerahan menyorot liar. Daraha Minranti mendesir. Ia letakkan koran yang barusan dibacanya ke atas meja.