Dokter Isman

Cerpen Wilson Nadeak Dimuat di Kompas (01/13/2002) KEPADA kawan-kawan dan pasiennya yang akrab dengannya, dokter Isman selalu memberi resep sebagai berikut.Jangan sekali-sekali menulis pesan penting. Jangan membuat catatan dari rapat…

Pakde Letek

Cerpen Beni Setia Dimuat di Republika (02/25/2001) Oyon menelepon minta dihubungkan dengan Pakde Letek -- biasanya kami memanggilnya dengan sebutan Pakde saja. Aku tertawa. "Ada apa?" kataku. Oyon menarik nafas…

Upit

Cerpen Gus tf Sakai Dimuat di Kompas (07/09/2000) Tugas Upit selesai begitu mobil Si Abang meluncur dari pintu pagar dan berbelok di ujung jalan lalu lenyap. Pukul tujuh pagi. Upit…

STASIUN MBALAPAN (Balada Wartoloyo)

Cerpen Bre Redana Dimuat di Nova, Tabloid (04/02/2000) Stasiun Mbalapan, tanggal pitu, sasi songo, sewu sangangatus pitungpuluh siji... (Stasiun Balapan, tanggal tujuh, bulan sembilan, seribu sembilan ratus tujuh puluh satu...)…

Tukang Cukur

Cerpen Gus tf Sakai Dimuat di Kompas (08/27/1995) Barangkali memang ada perubahan dalam dirinya. Tapi entahlah. Sebagai seorang tukang cukur, ia hanya berhadapan dengan kerutinan, melakukan hal yang sama setiap…

Sepanjang Braga

Cerpen Kurnia Effendi Dimuat di Koran Tempo (04/08/2001) PERASAANKU dibungkus kesunyian luar biasa. Dua jam termangu dalam kamar yang memiliki lebih dari seratus warna dan aroma cat minyak. Ada jendela…

Tumbal

Cerpen Kurnia Effendi Dimuat di Republika (10/24/1993) MENJELANG akhir musim hujan, Kali Gung meluap. Arusnya yang bengis telah menyeret beberapa rumah penduduk Dukuh Salam, Kagok, dan Dukuh Sembung. Jembatan panjang…

Santhet

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Kang Jolodot marah besar. Darahnya berdesir deras. Kabut duka menyumbat dadanya.

“Pasti ada yang nggak beres!” berangnya menyaksikan ayam jagonya dihantam telak lawannya. “Jagoku ini sudah tiga kali jawara! Mustahil, mustahil!” pekiknya. Kang Jolodot menjadi gusar. Batinnya menerawang jauh. Tenggorokannya panas. Sementara, matahari membakar bumi dengan dahsyat. Menambah beban arena semakin panas. Penonton sabung ayam jingkrak-jingkrak tanpa irama. Rasanya Kang Jolodot ingin menyumbat mulut mereka. Namun, kini benar-benar terpojok. Merasa asing.

“Hore, jago Kang Jolodot KO. Kena tanduk matanya!” teriak salah seorang penonton disambung kegaduhan lain yang bergemuruh. Penonton semakin merapat. Riuh tanpa kendali. Gemanya membubung ke angkasa.

“Ayo hantam terus biar mampus!” teriak yang lain memberi semangat pada Bagong, jago lawan Kang Jolodot. Suasana semakin kacau. Lelap dalam keonaran yang mahadahsyat.

“Stop, stop!” bentak Kang Jolodot menyeruak kerumunan penonton. Dengan berkacak pinggang di tengah arena, mata Kang Jolodot menyapu bersih keributan. Mendadak suasana menjadi sepi. Nyenyet. Mirip deru bara api disiram air. Senyap. Semua penonton merunduk. Mereka hanya saling mencuri pandang dengan yang lain. Suasana tetap hening. Hanya sesekali terdengar kepakan sayap Bagong tanda kemenangan. Jago Kang Jolodot babak belur, tak berdaya.

“Dengar semua! Aku akan bikin perhitungan dengan Bejo. Pemilik Bagong. Mana orangnya?” serunya memecah keheningan. Tak ada yang berani bersuara. Sebab, mereka tahu selama ini Kang Jolodot dikenal sebagai orang yang brutal. Mudah sekali mengayunkan bogem mentah bila kemarahan sudah mencapai puncaknya, walau tindakannya salah besar. Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh gempal berkelebat di tengah arena. Semua penonton terkejut. Bisikan lirih mulai terdengar. Akhirnya ribut dan suasana bergemuruh lagi.

Gapit *)

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Darah Gopal berdesir. Hatinya panas. Daun telinganya perih seperti tersengat lebah. Bola matanya menyala liar seolah hendak membakar orang-orang yang duduk di sekitarnya. Dia berdiri, berkacak pinggang. Otot-ototnya yang kekar menegang. Orang-orang yang semula duduk santai sambil ngobrol ngalor-ngidul terhenyak. Mereka bertatapan sambil mencuri pandang ke wajah Gopal yang sangar. Rasa waswas menggantung di wajah mereka. Hening sejenak. Di dada mereka berkecamuk tanda tanya.

“Siapa yang bilang Pak Bandiyo mata keranjang, he? Siapa tadi yang bilang?” bentaknya sambil menatap tajam orang-orang yang dilanda waswas itu.

Sepi. Tak ada jawaban. Maklum, mereka tahu siapa Gopal. Lelaki keras dan kasar, bahkan terkesan brangasan. Jika amarahnya tersulut, dia akan berubah menjadi serigala. Brutal dan tidak punya pengampunan. Memukul, menempeleng, menendang, meludahi orang, menyikut, dan semacamnya. Sangatlah beralasan kalau orang-orang di sekitarnya memilih diam.

Dhawangan

Cerpen: Sawali Tuhusetya

Ketakutan dan kecemasan menggerayangi wajah setiap penduduk. Tak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu ketika senja menyelubungi perkampungan. Lorong dan sudut-sudut kampung yang gelap seperti dihuni oleh monster-monster ganas. Sudah lima warga kampung yang menjadi korban. Tewas mengenaskan dengan cara yang sama. Leher mereka nyaris putus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas. Darah kental kehitam-hitaman berceceran.

“Tolooong …. tttolooong, tttoo……” Terdengar jeritan histeris yang memilukan. Menggetarkan perkampungan. Para penduduk bergegas keluar rumah dengan setumpuk pertanyaan yang menyerbu kepala. Namun, jeritan histeris itu seketika menghilang seperti ditelan senja yang berkabut. Sepi. Nglangut.

Dhawangan1) keparat itu muncul lagi, Kang?” tanya seorang penduduk.

“Mungkin!”

“Lho, kok, mungkin?”

“Mana aku tahu? Memang aku ini prewangan?2)”

“Tapi biasanya Sampeyan menjawab dengan penuh kepastian? Takut, ya, Kang?”

“Dasar gemblung!3)”

“Ah, sudah, sudah! Nggak ada gunanya berdebat! Yang perlu kita lakukan sekarang, kita harus secepatnya mencari tahu siapa yang menjerit-jerit tadi!” sergah penduduk yang lain.