Catatan dari Balik Kabut
Dari balik kabut
Kurentangkan tangan dhaifku menggapai mega-mega
Kutuliskan namaku di setiap labirin kesunyian
Memberikan tanda-tanda
Aku berdiri di sini
Di balik kabut mega-mega
Kusaksikan para malaikat mengadili para pendosa
Pilu tangis mengiris kolong langit
Menggetarkan semesta
Kabut berwarna merah darah
Mengurung semesta
Namaku tak lagi punya tanda
***
Ya, negeri ini memang tengah diselimuti kabut. Tak hanya tsunami, bencana alam, atau kebakaran hutan. Tapi ada yang jauh lebih parah yang telah membikin negeri terpuruk dalam lumpur kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Ya, korupsi! Maksiat korupsi telah membikin bangsa ini jatuh dalam kebangkrutan. Marwah dan martabat bangsa tergadaikan oleh keserakahan sekelompok elite yang telah melupakan sumpah dan ikrarnya. Demikian parahnya “efek domino” yang ditimpakan oleh para koruptor sampai-sampai bangsa dan negeri ini tak berdaya ketika bangsa lain melempari wajah bangsa kita dengan telor busuk. Bangsa kita yang miskin, terbelakang, dan bodoh seakan-akan sudah tak punya kekuatan untuk sekadar mengingatkan, apalagi berteriak. Sipadan dan Lipadan sudah diembat, batik sudah diklaim sebagai karyanya, lagu-lagu sudah disikat habis dan dipatenkan. Belum lagi terhitung saudara-saudara kita yang menjadi korban arogansi bangsa yang mengaku dirinya sebagai bangsa serumpun itu. Namun, apa yang bisa kita lakukan? Kita hanya bisa mengerutkan jidat dan menunggu-nunggu, ulah apalagi yang akan dipertontonkan oleh negeri jiran itu di depan mata kita.
Catatan dari Balik Kabut
Di Manakah Empati Kita terhadap Sesama?
Revitalisasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Sebagai bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah mencapai bilangan ke-62 tahun. Bahkan, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah. Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar pun pemerintah telah menempuh “politik kebahasaan” dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?
Sepotong Kepala
Cerpen: Sawali Tuhusetya
Para penduduk bergidik ngeri menyaksikan jasad Sukardal yang hanya tinggal gembungnya, seperti bangkai babi yang barusan dibantai tukang jagal. Sepotong kepalanya menggelinding entah di mana. Bayangan kebiadaban menggerayangi setiap kepala.
“Untuk apa orang gemblung seperti Sukardal dibunuh!” teriak seseorang disambung gumam-gumam lirih yang tumpah di tengah kerumunan penduduk.
“Benar-benar biadab!” sahut yang lainnya.
“Kalau bukan iblis, pasti demit yang melakukannya!”
“Belum tentu juga, Kang! Aku yakin, pelakunya pasti manusia! Zaman sekarang, cukup banyak orang yang perangainya melebihi kebiadaban iblis dan demit!”
“Eh! Jangan sok tahu, sampeyan! Jangan suka memastikan sesuatu yang belum jelas kebenarannya! Bisa-bisa sampeyan diperkarakan orang!”
Di manakah Empati Kita terhadap Sesama?
Belakangan ini praktik kehidupan yang terpampang di atas panggung peradaban makin liar dan buas saja. Praktik kekerasan dan vandalisme (hampir-hampir) menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dalam dinamika perjalanan bangsa ini. Lihat saja di layar TV! Kotak ajaib itu seolah-olah sudah belepotan darah setiap hari. Tawuran antarkampung, perampokan, pencurian, penggusuran, pemerkosaan, dan lain-lain sudah menjadi berita jamak sehari-hari. Becermin dari berbagai kejadian tragis itu, ada sebuah pertanyaan yang mengusik nurani kemanusiaan kita. Benarkah kita telah kehilangan empati terhadap sesama sehingga demikian tega menyakiti dan tak peduli lagi terhadap penderitaan hidup sesama?
Banyak pertanyaan yang bisa dikemukakan, mengapa sikap empati kita terhadap sesama seolah-olah sudah terkikis dari dinding hati dan nurani kita. Seiring dengan merebaknya pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif, dan hedonistis, yang melanda masyarakat kita belakangan ini, diakui atau tidak, telah membikin perspektif kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan menyempit. Kesibukan berurusan dengan gebyar duniawi, disadari atau tidak, telah membuat kita abai terhadap persoalan esensial yang menyangkut interaksi dan komunikasi sosial terhadap sesama. Jangankan mengurus nasib orang lain, mengurus diri sendiri saja masih payah? Mengapa kita mesti repot-repot merogoh uang recehan untuk gelandangan dan pengemis kalau mencari duwit haram saja sulit? Mengapa kita susah-payah membantu korban kecelakaan lalu lintas kalau pada akhirnya kita mesti repot-repot memberikan kesaksian di depan aparat yang berwenang? Kenapa kita mesti membebani diri mengurus anak-anak telantar dan yatim piatu kalau setiap pagi kita masih kerepotan memberikan uang saku untuk sekolah anak-anak kita?
Sastra Koran vs Sastra Cyber
Semenjak dunia sastra merambah dunia maya alias internet, banyak kalangan –terutama mereka yang mengklaim dirinya sebagai sastrawan– merasa gerah. Pasalnya, lewat berbagai blog yang gratisan, hampir setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya. Bahkan, teks sastra yang tergolong “sampah” pun bisa dengan mudah terpublikasikan. Hal yang (hampir) mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari “barikade” selera sang redaktur. Ini artinya, tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.
Menurut hemat saya, dikotomi sastra koran versus sastra cyber bukanlah perkara substansial. Sastra sangat erat kaitanya dengan dunia imajiner yang bebas ditafsirkan oleh orang dari berbagai kalangan. Ini artinya, siapa pun punya hak untuk menafsirkan nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika alias pesan moral yang terkandung di dalamnya. Persoalan sastra koran dan sastra cyber hanyalah persoalan medianya saja. Kalau sastra koran selalu mengenal batasan-batasan yang dikendalikan oleh otoritas sang redaksi dan selera pasar, sastra cyber (hampir) tak mengenal batasan-batasan otoritas itu. Setiap orang pun bebas memiliki blog gratisan yang bisa dijadikan sebagai media untuk memublikasikan karya-karyanya. Selain itu, koran juga mengenal batasan dimensi ruang dan waktu. Pembacanya hanya kebetulan mereka yang berlangganan dan dibatasi oleh waktu penerbitan. Untuk rubrik sastra dan budaya biasanya terbit setiap hari Minggu yang acapkali hanya dijadikan sebagai “suplemen” hiburan, melengkapi kolom-kolom keluarga dan entertainment lainnya.
Taufiq Ismail tentang “Gerakan Syahwat Merdeka”
Tulisan ini mungkin bisa dikatakan terlambat. Pasalnya, fenomena “Gerakan Syahwat Merdeka” ini telah mencuat pada 20 Desember 2006 yang lalu dalam sebuah pidato kebudayaan yang disampaikan Taufiq Ismail di depan Akademi Jakarta. Namun, sekadar untuk ikut urun rembug dalam menyikapi dinamika dunia sastra, tak apalah kalau akhirnya saya ikut-ikutan latah membuat postingan “sampah” ini. hehehehe 😀
Di depan Akademi Jakarta pada 20 Desember 2006, Taufiq Ismail dengan gayanya yang memukau menyampaikan sebuah pidato kebudayaan berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” yang berisi 37 paragraf. Dalam pidatonya, penyair Angkatan ’66 itu mengeluhkan dan merisaukan munculnya arus besar yang menyerbu negeri ini, yakni gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Menurutnya, gerakan tersebut tak bersosok organisasi resmi yang tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa yang mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. Dismpulkan oleh Taufiq Ismail, GSM telah mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.
Bangsa yang Malas Membaca
Di bulan September ini sebenarnya ada dua agenda penting dan bermakna dalam membangun sebuah peradaban yang lebih mulia dan bermartabat, yakni ibadah puasa dan aktivitas membaca. Ibadah puasa, seperti yang telah banyak ditulis oleh para pakar dan pemerhati masalah keagamaan, merupakan wahana yang tepat untuk menggembleng dan menyempurnakan diri menjadi insan kamil. Melalui puasa, kita mampu membangun kesalehan hidup, baik sosial maupun individu, bahkan juga mampu membangun kesalehan secara kaffah. Dalam kacamata sosial, ibadah puasa mampu membangkitkan solidaritas hidup terhadap kaum dhuaffa sekaligus meningkatkan kepekaan untuk ikut meringankan beban hidup sesama yang menderita. Secara individu, puasa mampu meningkatkan intenstitas interaksi dan komunikasi dengan Sang Pencipta melalui bahasa religi dan peribadatan sesuai dengan syarat dan rukunnya.
Lantas, bagaimana dengan aktivitas membaca? Ya, bulan September telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. *Sebuah kultur yang telah lama bernaung turba dalam pranata sosial masyarakat kita. Untuk membangun kebiasaan positif seringkali diawali dengan gerakan dan pencanangan, bahkan juga upacara-upacara. *