Guru Demo, Tanya Kenapa?

diambil-dari-http://www.okezone.com/

Sebagaimana gencar diberitakan di beberapa media, –bisa dilihat di sini, di sini, di sini, di sini, di sini juga, atau di sini — 19 Juli yang lalu ribuan guru yang tergabung dalam elemen PGRI Jawa Barat dan Banten “nglurug” ke istana. Di tengah atmosfer kota Jakarta yang panas, padat, dan sumpek, mereka mengajukan empat tuntutan, di antaranya menagih janji pemerintah untuk merealisasikan tunjangan uang makan (lauk-pauk) dan tunjangan fungsional, direalisasikannya 20% anggaran pendidikan dalam APBN, standarisasi UN, dan pengesahan PP Guru dan pendanaan pendidikan. Namun, seperti dapat ditebak, aspirasi para guru itu seperti hanya terapung-apung dalam slogan dan retorika. 10 orang wakil pendemo yang sempat berdialog dengan empat menteri —Mensesneg Hatta Radjasa, Mendiknas Bambang Sudibyo, Menkeu Sri Mulyani, dan Menkumham Andi Mattalata — merasa tidak puas. Padahal, di luar sana sekitar 10 ribuan guru yang tumpah ruah memenuhi halaman istana sudah tak sabar menunggu hasil kesepakatan mereka dengan para “punggawa” negeri.

Budaya Meneliti di Kalangan Guru

Secara jujur harus diakui, budaya meneliti di kalangan guru belum tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan. Kondisi semacam ini jauh berbeda dengan budaya meneliti di kalangan dosen yang memang termasuk salah satu Tridarma Perguruan Tinggi yang “wajib” dilaksanakan oleh para insan kampus. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa budaya meneliti di kalangan guru termasuk “Indonesia” yang tertinggal dalam dinamika dunia pendidikan kita. Lemahnya budaya meneliti di kalangan guru bisa dilihat berdasarkan minimnya jumlah guru golongan IV-A yang mampu melaju mulus ke golongan IV-B. Hal itu bisa terjadi karena untuk bisa “menikmati” golongan IV-B, seorang guru wajib mengumpulkan angka kredit pengembangan profesi sebanyak 12 point.

MAU MEN-DOWNLOAD PANDUAN PENYUSUNAN PROPOSAL PTK DAN CONTOHNYA?

Surat dari Pak Triman untuk Mendiknas

surat-pak-triman.jpgMelalui alamat sekolah, 21 Juni yang lalu, saya menerima surat dari Pak H. Triman Sd, seorang pensiunan PNS berusia 71 tahun, lulusan SMA 1959, yang tinggal Desa Megawon, RT 05/01 No. 294 Jati, Kudus, Jawa Tengah, Telepon (0291) 432451. Surat bertanggal 11 Mei 2007 perihal Sistem Pendidikan Nasional dengan lampiran dua lembar tersebut ditujukan kepada Mendiknas di Jakarta dengan tembusan Ketua DPR RI u.p. Komisi X, Menteri Agama RI, dan Ketua MPR RI. dialamatkan melalui sekolah, tempat saya mengajar.

Inilah surat dari Pak Triman selengkapnya.

Inovasi Pembelajaran

METODE DISKUSI KELOMPOK MODEL KEPALA BERNOMOR SEBAGAI INOVASI METODE PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA SMP DALAM MENANGGAPI PEMBACAAN CERPEN

Secara jujur harus diakui, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP belum berlangsung seperti yang diharapkan. Guru cenderung menggunakan teknik pembelajaran yang bercorak teoretis dan hafalan sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung kaku, monoton, dan membosankan. Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif, emosional, dan afektif.

Kang Sakri dan Perempuan Pemimpi

Puluhan mayat terjepit mengenaskan di sela-sela reruntuhan dan puing-puing bangunan yang porak-poranda. Bau busuk menyembur-nyembur. Ratusan burung pemangsa bangkai terbang rendah. Lantas, dengan kecepatan tak terduga menyerbu mayat-mayat itu. Dengan kekuatan penuh, paruh dan kuku burung-burung ganas itu mencengkeram dan mencabik-cabik puluhan mayat yang sudah penuh belatung.
“Crok… crok … cruok!” Ratusan burung pemakan bangkai berpesta. Rakus. Buas. Lalat dan serangga terbang berhamburan.

Dhawangan

Ketakutan dan kecemasan menggerayangi wajah setiap penduduk. Tak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu ketika senja menyelubungi perkampungan. Lorong dan sudut-sudut kampung yang gelap seperti dihuni oleh monster-monster ganas. Sudah lima warga kampung yang menjadi korban. Tewas mengenaskan dengan cara yang sama. Leher mereka nyaris putus seperti terkena bekas gigitan makhluk ganas. Darah kental kehitam-hitaman berceceran.

Tumbal

Orang-orang bagai rusa masuk kampung. Bingung. Subuh tadi, anak Lik Karimun yang baru berusia tujuh bulan, hilang. Konon, si Nok tiba-tiba raib dari sisi tetek simboknya. Kontan saja Yu Painem menjerit-jerit histeris. Lik Karimun yang tidur di sisi Yu Painem pun limbung. Tubuhnya loyo.

Marto Klawung

Untuk ke sekian kalinya, Marto Klawung kembali mengamuk. Sorot matanya liar, ganas, menantang. Ke mana-mana, dia membawa parang terhunus, berkilat-kilat. Kalau sedang kambuh, nyaris tak ada seorang pun yang sanggup menjinakkannya.

Sang Pembunuh

Sepekan lagi, aku akan segera terbebas dari sekapan penjara terkutuk ini. Hampir sepuluh tahun, aku dipaksa mengakrabi dunia lembaga pemasyarakatan yang busuk. Busuk baunya dan orang-orang yang menghuninya. Ini memang sudah menjadi kenyataan tak terbantahkan. Penjara memang tempatnya para pesakitan. Setidaknya, mereka pernah berbuat keji. Dalam kamus hukum jelas tersurat bahwa orang yang dinyatakan bersalah harus menjadi penghuni bui. Menurut orang yang arif dan bijak, bui itu konon bisa dijadikan sebagai medium pertobatan agar para penghuninya tidak mengulang perbuatannya. Tapi, itu teori yang terlalu absurd jika diterapkan untuk saya. Seperti sudah saya kemukakan bahwa saya menjadi penghuni ruang sumpek berjeruji besi ini karena dipaksa. Saya telah menjadi korban permainan busuk juragan Karta yang kaya.