Dalang: Ki Sawali Tuhusetya
Di ruang pribadinya yang sejuk ber-ac di lantai V, Prabu Salyapati merasa gerah. Gumpalan-gumpalan peluh dingin sebesar jagung menjebol pori-porinya. Penguasa bercambang lebat itu menahan napas, tak kuasa membendung kegelisahan yang merajam rongga dadanya. Sesekali berjalan mondar-mandir dari satu sudut ruang ke sudut yang lain. Ketika wajahnya nongol di balik jendela, bola matanya menatap ribuan rakyat menyemut di halaman istana.
“Demi kelangsungan hidup negeri Mandaraka, Sang Prabu harus kawin lagi! Tiga putri belum cukup menjadi pilar untuk menjaga keutuhan negeri. Dus, Sang Prabu harus punya putra mahkota. Dan itu bisa terwujud jika Sang Prabu melakukan poligami!” teriak seorang pendemo dengan wajah berkilat-kilat dipanggang terik matahari, diikuti yel-yel pendemo lain. Suasana halaman istana berubah jadi hiruk-pikuk. Para dedengkot LSM dari berbagai latar belakang tampil berorasi secara bergiliran di atas mimbar. Sesekali aplaus dan tepuk sorak membahana. Gemanya membahana seperti hendak mengiris dinding langit; melukai hati para perempuan pendamba keharmonisan hidup. Aparat keamanan tak berdaya. Semprotan gas air mata dan desingan peluru karet tak sanggup melunakkan kekerasan hati mereka.
“Sang Prabu, dengarkanlah suara kami, para kawula Mandaraka, kabulkanlah permohonan kami!” sahut pendemo lain.
Suara-suara rakyat yang lantang itu dengan mudah menerobos gendang telinga Prabu Salyapati. Kegelisahan kembali merajam ulu hatinya. Dengan langkah terseret, sang prabu kembali duduk di atas kursi goyang. Pikirannya menerawang. Tiba-tiba, bayangan istri tercintanya, Dewi Setyawati alias Dewi Pujawati, berkelebat dalam bentangan layar memorinya. Benak sang prabu terbang ke masa silam. Dia masih ingat betul, betapa dia harus bersaing ketat dan “berdarah-darah” dengan para putra mahkota dari negeri lain untuk menggaet gadis yang di dalam tubuhnya mengalir darah kecantikan puluhan ratu sejagat itu. Prabu Salyapati sangat beruntung karena dialah yang akhirnya berhasil memenangkan persaingan itu. Sejak saat itu, dia berjanji untuk tidak pernah menikah dengan perempuan lain. Darma kesetiaannya secara total hanya dipersembahkan untuk Dewi Setyawati. Prabu Salyapati tersentak ketika gendang telinganya tiba-tiba menangkap derap sepatu lars para prajurit di depan pintu. Tak lama kemudian, muncul wajah-wajah tegang dalam sikap sempurna.
“Maaf, sang Prabu, para demonstran nekad akan tidur di halaman istana jika sang Prabu tidak berkenan menemui mereka!” kata seorang prajurit dengan vokal tegas.
“Baik! Antarkan Ingsun menemui mereka!” sahut sang Prabu sambil merapikan busana kebesarannya. Dengan diiring beberapa prajurit, Prabu Salyapati bergegas menuju halaman istana dengan perasaan tak menentu. Di sana, ribuan rakyat telah menanti di bawah terik matahari. Puluhan wartawan media cetak dan elektronik, dari dalam dan luar negeri, segera menajamkan naluri jurnalistiknya. Sesekali, mereka harus menerobos kerumunan massa yang padat demi memburu objek dari sudut pandang yang tepat. Sorot kamera dan kilatan lampu blitz pecah di sana-sini. Suasana halaman istana makin hiruk-pikuk. Wajah Prabu Salyapati berkilat-kilat ditimpa cahaya kamera.
“Wahai, rakyat negeri Mandaraka yang Ingsun cintai!” kata Prabu Salyapati mengawali orasinya di atas mimbar. Aneh, suasana halaman istana mendadak sepi. Hanya terdengar sesekali deru kendaraan yang melintas di jalan-jalan protokol. Ribuan rakyat menunduk takzim. Ratusan spanduk telah dilipat, menandai klimaks demonstrasi para kawula Mandaraka berhari-hari lamanya. “Kalian ini aneh! Kalau penduduk negeri lain beramai-ramai menghujat poligami, di sini justru terjadi sebaliknya! Poligami malah dituntut agar disahkan dalam Undang-undang Perkawinan! Yang lebih aneh, kalian mendorong-dorong Ingsun agar beristri lagi agar Ingsun punya putra mahkota! Punya putra laki-laki atau tidak, itu kan bukan urusan Ingsun, hem? Selain itu, bukankah ketiga putriku Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, dan Dewi Banowati sudah lebih dari cukup untuk melanjutkan suksesi di negeri ini? Sudah saatnya kaum perempuan diberi hak yang sama dengan kaum laki-laki untuk menjadi pemimpin!” lanjut sang Prabu dengan vokal yang mantab dan berwibawa. Sorot matanya menyapu kerumunan massa yang menyemut di hadapannya. Suasana mendadak berubah riuh. Rakyat Mandaraka saling bertatapan, berbisik-bisik, ngedumel tak karuan.
“Maaf, sang Prabu, pertimbangan kami simpel saja!” seorang pendemo berwajah kekar mencoba keberanian untuk menyampaikan pendapat. “Taruhlah kelak salah satu dari ketiga putri Paduka menggantikan kedudukan Paduka. Tapi, apa ada jaminan kedua putri Paduka yang lain berkenan menerimanya? Itu yang pertama. Yang kedua, tidak semua kawula bisa menerima kaum perempuan sebagai pemimpin karena alasan agama atau keyakinan. Itulah sebabnya, kami tetap memohon agar Paduka memiliki putra mahkota. Jalan satu-satunya ya lewat poligami! Bukankah begitu, Saudara-saudara?” lanjutnya.
“Betuuul!” sahut pendemo lain serentak dan bersambung-sambungan.
“Baik! Keinginan kalian akan Ingsun pertimbangkan! Tapi Ingsun mohon kalian tidak perlu lagi melakukan demo. Masih ada tugas dan pekerjaan lain yang lebih bermanfaat, paham?” sahut Prabu Salyapati. Seperti digerakkan oleh sesuatu yang gaib, ribuan massa perlahan-lahan meninggalkan halaman istana. Derap kaki dan deru kendaraan membahana, makin lama makin menjauh, hingga akhirnya sepi nyenyet.
Sepeninggal para demonstran, Prabu Salyapati belum juga mampu meredam kegelisahannya. Dalam gendang nuraninya terjadi perang batin yang dahsyat. Tuntutan rakyat Mandaraka memang masuk akal. Sebagai kawula, mereka berhak khawatir terhadap suksesi di negerinya jika kelak tak ada putra mahkota. Namun, ia juga tidak sanggup mengingkari kesetiaannya sebagai lelaki sejati. Ia sudah berikrar di depan perempuan yang dicintainya, Dewi Setyawati. Seumur hidup, ia tidak akan pernah sekali pun menikah dengan perempuan lain. Prabu Salyapati benar-benar pusing berat. Sudah hampir tiga hari lamanya, lidahnya tak berselera mencicipi makanan. Wajah bercambang lebat yang biasanya tampil gagah, kini tampak layu. Sementara itu, di luar istana, rakyat Mandaraka kembali berdemo; menagih janji.
“Sudahlah, Kanda, nggak usah terlalu dipikirin. Aku rela, Kanda menikah lagi demi kelangsungan hidup negeri Mandaraka. Ingat suara rakyat adalah suara Tuhan. Sia-sia saja Kanda bersikap sentimentil, mengagung-agungkan kesetiaan kalau pada akhirnya rakyat berbicara lain! Sungguh Kanda, aku ikhlas lahir-batin!” hibur Dewi Setyawati. Prabu Salyapati menelan ludah. Dadanya turun-naik. Kepasrahan istrinya justru harus disikapi dengan hati-hati. Ia tidak bisa menerima begitu saja keputusan istrinya itu.
“Dinda, kenapa aku harus menikah lagi? Tuntutan rakyat kan agar kita punya putra mahkota? Seandainya itu bisa kita wujudkan, kenapa aku harus mencari perempuan lain? Bagiku, Dinda adalah satu-satunya ladang, tempat aku menaburkan benih. Justru aku akan makin tersiksa jika aku harus menikah lagi. Ini sudah menjadi keputusanku, Dinda!”
“Lalu, tuntutan para kawula itu, gimana?”
“Yah, kita harus berikhtiar agar kita dikaruniai anak laki-laki?”
“Kanda jangan suka bercanda, ah! Mana mungkin aku bisa hamil lagi, hem, lha wong sudah hampir setengah tahun ini aku sudah memasuki menopause, kok!”
“Di dunia ini tak ada yang mustahil, Dinda, asal kita mau ikhtiar! Kita kan punya penasihat spiritual, kenapa mereka tidak kita mintai petunjuk? Siapa tahu mereka punya resep jitu?” kata Prabu Salyapati sembari mengelus-elus perut istrinya.
Alhasil, setelah para penasihat spiritual dimintai petunjuk, Prabu Salyapati harus melakukan dua macam ritual. Yang pertama, melakukan tapa ngrame. Sang prabu bersama permaisuri harus menyusuri tempat-tempat keramaian dengan menyamar sebagai rakyat biasa selama tujuh puluh hari lamanya. Namun, baru berlangsung dua puluh hari, penyamaran mereka dikenali oleh para penduduk. Terpaksa ritual pertama gagal total.
Yang kedua, sang prabu bersama permaisuri harus melakukan tapa nyusup, yakni berjalan terus siang-malam menyusuri tepi sungai Silugangga selama empat puluh hari. Godaan tapa nyusup ternyata lebih berat. Sepanjang alur sungai, Prabu Salyapati menyaksikan hampir semua jenis binatang melakukan kawin massal. Dia sudah berusaha untuk meredam gejolak libido seksualnya. Namun, semakin diredam, hasrat untuk melakukan hubungan biologis kian dahsyat mengebor ubun-ubun. Persetubuhan pun tak bisa dihindarkan. Setiap kali menyaksikan binatang kawin, hasrat seksual mereka tumbuh berlipat-lipat.
Usai melakukan ritual tapa nyusup, Prabu Salyapati benar-benar bahagia. Dewi Setyowati hamil. Berita itu segera tersebar ke seantero negeri. Demo pun berangsur-angsur surut. Para kawula berharap agar janin yang ada dalam kandungan Dewi Setyawati kelak lahir laki-laki. Harapan Gusti dan Kawula Mandaraka tampaknya dikabulkan Tuhan. Setelah kandungan Dewi Setyawati memasuki bulan ke-9 lebih sepuluh hari, dari gua garbanya lahir jabang bayi laki-laki yang sehat dan montok. Peristiwa itu serentak membikin bumi Mandaraka bergetar. Para penduduk di seantero negeri berduyun-duyun tumplek-bleg di halaman istana.
“Hidup Putra Mahkota!” teriak seorang penduduk disambung kegaduhan yang lain. Sementara itu, dari sudut halaman istana yang lain, muncul serombongan perempuan yang meneriakkan yel-yel gegap-gempita sambil menenteng spanduk warna-warni. Mereka menentang poligami disahkan dalam Undang-undang Perkawinan.
“Apa pun dalihnya, poligami hanya akan membikin sengsara hidup kaum perempuan!” teriak mereka penuh semangat. Tidak jelas, apakah demo itu mereka lakukan setelah mengetahui negeri Mandaraka punya putra mahkota atau karena ada motif lain. ***