Matahari Musim Dingin

Cerpen Triyanto Triwikromo
Dimuat di Kompas (03/25/2007)

Jangan pernah percaya pada apa pun yang kau lihat di bawah matahari Melbourne. Mungkin kau pernah menganggap makhluk bersayap merah-biru yang bertengger di genteng rumah berarsitektur Yunani itu hanya sepasang burung Rosella yang menggigil kedinginan. Namun, bukan tidak mungkin mereka adalah para Kookabbura yang menjerit memekakkan telinga karena memandang wajahmu yang tegang dan tersipu-sipu tak keruan. Jangan pula mudah menebak bau kelelawar yang bergelantungan di pepohonan Cenntenial Avenue sebagai sesuatu yang mengingatkanmu pada mayat-mayat perempuan kuning gading Jakarta yang dibakar para lelaki zombi pada Mei 1998 yang perih. Sebab bisa saja dalam sekejap bekas kibasan sayap vampir jalanan itu memberimu harum bawang sehabis kau iris pelan-pelan atau menyengatmu dengan busuk petai sebelum makan malam.

Kau juga tak perlu tersedu-sedan seharian hanya karena bersitatap dengan warna pagi yang seharusnya disapu matahari oranye, tetapi tiba-tiba didera hujan yang muncul dari mata langit yang menghitam. Hari ini winter atau summer? Autumn atau spring? Mana yang harus dipercaya? Tak ada yang harus dipercaya. Segalanya begitu cepat bertukar rupa dan tak ada yang peduli. Kau juga tidak peduli pada perubahan wajah Arendt yang pagi itu dihajar pertanyaan-pertanyaan bodoh Onan, Finley, atau Sandra saat mereka makan roti bakar di beranda, bukan?

Wajah Arendt, kau tahu, pada mulanya seperti Stasiun Flinders ditimpa cahaya senja yang melesat dari Federation Square. Begitu menyala, begitu menebarkan bianglala. Namun, paras manis itu begitu cepat menjelma sebagai Sungai Yarra menjelang malam. Keruh. Penuh amarah dan kehilangan pesona.

“Kalau tidak berniat membunuh Christ Soros, mengapa waktu itu kau tidak bergabung dengan kami di Open Bar,” serang Onan sambil menenggak jus jeruk.

O, andai tahu segala peristiwa yang terjadi malam itu, Onan tidak akan berkata begitu. Di poros perempatan jalan yang menghubungkan Stasiun Flinders dan Federation Square, sehabis menonton pertunjukan Delerium Boulevard bersama Arendt, entah tergerak tenaga gaib dari mantra orang Aborigin atau ingin berakting secara liar, Soros tiba-tiba menelentangkan tubuh mirip orang tersalib di tengah jalan. Mula-mula ia memejamkan mata seperti Siddharta Gautama yang tengah bertapa dan berharap nirwana akan mengecil dan menyusup ke dalam dada. Sejenak kemudian ia bentangkan tangannya sebagaimana patung malaikat-malaikat kecil di gereja-gereja antik mengibaskan sayap. Berulang-ulang seakan-akan dengan gerakan semacam itu Melbourne bisa ditinggal terbang dan ia menjelma burung kecil ke titik langit yang tak tersentuh oleh jari telunjuk yang mengacung tegang.

Arendt takjub. Ia tak menduga Soros akan bertingkah ugalan-ugalan di perempatan jalan yang kian ramai oleh mobil-mobil yang hendak melata ke jembatan penuh lampu hias yang melintasi Sungai Yarra.

Oo, semua ini harus dicegah. Semua gerak harus dihentikan. Mobil-mobil, sepeda motor, atau trem tak boleh menggilas tubuh ringkih Soros. Karena itu waktu harus dibekukan. Semua benda yang melesat ke arah Soros sebaiknya melambat dan mandek sedepa sebelum kecelakaan terjadi. Bahkan ujung kilatan cahaya-cahaya dari neonsign tak perlu menyentuh kornea dan secara serempak mengerem satu sentimeter dari alis atau selaput mata. Atau sebaiknya waktu berjalan mundur ke saat-saat Arendt dan Soros bercinta habis-habisan dalam guyuran hujan di kebun binatang, di antara koala dan kangguru, di antara ulat-ulat dan belalang sembah.

Tidak! Tidak! Sebaiknya waktu melesat melampaui segala yang tak terduga saja. Siapa tahu karena terlalu cepat melaju ke titik tuju penuh salju, Arendt dan Soros dipertemukan di Bukit Golgota, di sepasang tiang yang mengapit salib lelaki suci dari Nazareth.

Dalam dingin tak terperi itu, siapa tahu mereka bisa menatap motif tusukan-tusukan lembing serdadu serupa tato daun-daun hijau ungu di sekujur tubuh Kristus yang tertunduk pasrah menerima kehendak Allah, di salib yang tak kelihatan, di tangan yang telah kehilangan paku-pakunya, di kaki yang tak lagi menetes-neteskan darah kental.

Tetapi karena tak mungkin menyulap segala peristiwa membeku dalam sebuah bingkai seperti lukisan impresionistik di sebuah kartu pos, Arendt kemudian berusaha setengah mati menghalau segala benda bergerak?mobil, sepeda motor, trem, orang-orang, dan angin santer yang hendak melabrak mereka.

Lalu dengan sigap perempuan bergaun motif bunga matahari itu mengangkangi tubuh Soros sambil menggerak-gerakkan tangan dan berusaha menghadang laju kendaraan atau apa pun yang hendak menghimpit mereka.

“Apakah kau pernah melihat wajah Kristus yang damai justru pada saat para serdadu bosan menghajar dan menancapkan lembing beracun ke lambung lembut manusia indah dari Nazareth itu, Arendt?” seru Soros, masih dalam posisi telentang.

Tak mungkin Arendt menjawab pertanyaan bodoh semacam itu. Mobil-mobil kian mendekat. Orang-orang makin merapat. Angin kian santer menusuk-nusuk tubuh hingga ke sungsum segala tulang. Karena itu akting konyol ini harus diakhiri. Sihir Paul Capsis mesti dihentikan. Ya, bukan tak mungkin aktor kampiun itu telah menginspirasi Soros menampilkan pertunjukan jalanan yang sangat membahayakan dan mendebarkan.

“Lihatlah aku! Lihatlah aku! Segala yang yang dirasakan Kristus menjelang ajal telah aku rasakan. Lihatlah wajahku yang damai, Arendt. Kini selesailah semua… dan aku tak perlu bilang, ?Eli Eli Lama Sabakhtani? lagi.??

Arendt bergeming. Meskipun demikian, ia tetap tak sanggup menghentikan segala peristiwa yang berpacu begitu cerpat, tak terduga, dan seakan-akan berebutan menyusup ke lorong mata. Sebaliknya Soros justru merasa lembing serdadu bengis kian menancap di lambung dan lama-lama tumbuh sepasang sayap halus di bahu.

“Ayolah ikut terbang bersamaku, Arendt. Kita tinggalkan Melbourne yang keruh. Kita tinggalkan kota bising yang segala gedungnya meruncing melukai langit ini,” Soros terus meracau dan kali ini muncul semacam gangguan pada susunan sarafnya yang membuat tubuhnya mengejang.

Setelah itu Arendt hanya bisa memanggil ambulans dan menyerahkan segala urusan kepada dokter dan paramedis. Sudah barang tentu ia tak ingin menyerahkan lelaki urakan itu kepada ajal. Jika sampai mati, ajallah yang dengan ganas menancapkan lembing ke lambung lembut atau mengiris urat-urat saraf Soros dengan pisau yang tak kelihatan.

Apakah kau bisa mendengar segala yang kukatakan?

Dan benar, Onan bukanlah perempuan yang gampang percaya pada bisikan gaib seseorang yang telah terbunuh atau roh Kookabbura yang ditembak secara serampangan. Hanya Arendt dan Soroslah yang mengerti betapa burung, kelelawar, ular, belalang, bahkan tikus-tikus pengerat itu bisa membisikkan kabar dari sesuatu yang tak pernah kau lihat di balik lembut kabut, di dalam basah tanah, atau di luar gurit langit.

Karena itu, Onan, Sandra, dan Finley tak pernah bisa memahami mengapa di rumah sewaan mereka yang sempit Arendt memelihara begitu banyak belalang sembah. Mereka juga tidak pernah mengerti menjelang tengah malam belalang-belalang itu terbang ke kamar Arendt. Lalu bergabung dengan belalang-belalang lain yang muncul dari cermin, binatang-binatang cokelat menjijikkan itu membungkus sekujur tubuh Arendt, sehingga mata, hidung, telinga, dan mulut saja yang tersisa. Ya, dari belalang-belalang itulah Arendt mengerti segala tingkah laku mereka.

Jadi, aku tidak heran jika pada saat mereka bersitegang mengenai kematian Soros di beranda, Onan terus menyerang Arendt dengan tuduhan-tuduhan konyol. Aku sangat tidak kaget jika hanya karena Arendt bersahabat dengan Pauline Hanson, politikus rasialis itu, mereka menganggap Arendt akan menyingkirkan siapa pun yang rasnya ternoda oleh kotoran-kotoran peradaban dari luar bangsa ini.

“Ada yang bilang Soros mati karena dibakar oleh orang-orang suruhanmu di ujung Sungai Yarra. Ada yang bilang kau menganggap dia akan menghalang-halangi keinginanmu. Mengapa tak kau bunuh aku, Finley, dan Sandra sekalian, Arendt?”

Mulut Arendt terus terkunci. Meskipun demikian, sebagai teman dekat mereka, Arendt sangat tahu betapa Onan lahir dari pasangan Yunani-Australia dan Finley dari Jepang-Aborigin. Hanya Sandralah yang lahir dari pasangan Australia-Australia.

“Orang-orang menemukan tubuh gosong Soros dalam posisi tersalib di tiang yang juga telah terbakar. Ditemukan juga semacam kimia yang menyebabkan tubuh Soros tetap utuh. Mengapa bertindak sekejam itu, Arendt?” Onan mendelik.

Arendt memejamkan mata. Ia berharap Onan, Finley, Sandra, atau siapa pun percaya betapa ia sangat mencintai Soros. Kini ia tak lagi bernapsu menyantap roti bakar dan jus jeruk. Menatap hitam kecokelatan arang di roti bakar dan lendir kuning di jus jeruk, ia seperti melihat api menyala-nyala tak keruan dan segala cairan menguar dari semua lubang di tubuh Soros.

“Kita memang sudah disumpah untuk membunuh siapa pun yang menghalangi gerakan suci ini, Arendt. Tetapi tidak dengan cara terang-terangan seperti itu,” bisik Sandra.

Tentu saja Arend tidak tahu maksud Sandra. Si Schizofrenia ini selalu saja menganggap dirinya sebagai agen rahasia Hanson itu.

“Apakah kau juga akan membunuh Eliezer Chang,” Finley mulai membuncahkan amarah.

Arendt menggeleng, tapi sejurus kemudian mendelik. Ia tatap mata Finley dan Onan dengan tajam. Ia sama sekali tak menduga mengapa sahabat-sahabat terkasih sejak kuliah Jurusan Arsitektur itu begitu tega menuduh dia sebagai pembunuh.

Khawatir Arendt akan membuka rahasia segala kisah yang bersangkut paut dengan pemurnian ras, Sandra segera merebut kendali. “Oke, Onan, segala omong kosong ini harus segera diakhiri. Tak ada waktu lagi untuk bercakap dengan Ratu Belalang. Biarkan ia mengurusi binatang-binatang penunggu rumah ini. Ayo, waktu kita telah habis. Trem sudah menunggu.”

Dan aku atau roh Kookabbura, yang setiap cicitnya tidak pernah bisa diterjemahkan dalam bahasa manusia, memang tak sedikit pun ingin membuka segala rahasia alam dan kematian kepada Onan. Aku bisa saja memberi tahu kepada Onan segala yang terjadi pada Soros. Aku bisa saja mengatakan, setelah melewati Jalan Spencer, mobil ambulans yang hendak mengantarkan Soros ke rumah sakit dicegat oleh lima orang berkerudung bersepeda motor besar. Tak ada perlawanan. Para medis, sopir, dan dokter yang tidak bersenjata itu memilih menyerahkan Soros bersama ambulans itu ketimbang dihajar atau ditusuk belati oleh gerombolan berwajah bengis itu. Setelah itu, ada semacam sihir yang ditebar di jalanan yang membuat aku tak bisa mengikuti ke mana para manusia berkerudung itu melesat.

Ya, semua itu, bisa kuceritakan kepada Onan tanpa mengurangi satu atau dua kalimat. Tetapi, kau tahu, aku sebenarnya hanya mau bercerita kepada Arendt. Sayang beberapa orang mengenakan jubah berkerudung runcing mirip seragam anggota Ku Klux Klan itu telah jauh-jauh hari menculik dan menembak jidatku saat hendak menyeberang Jalan William menjelang tengah malam.

“Yang ini juga ancaman bagi kita,?? kata salah seorang penculik. Lalu, mereka menebar sihir di jalanan, sehingga aku, Eliezer Chang, tidak dapat mengetahui di mana Soros disembunyikan.

Karena itu, jika pada suatu saat kau mendapat kabar tentang siapa yang membunuhku atau menculik Soros, jangan mudah percaya. Sekali lagi, tak ada yang harus dipercaya. Di dunia ini, kau tahu, segalanya begitu cepat bertukar rupa dan tak ada yang peduli. Jika sekarang Finley mati atau Sandra bunuh diri, kau juga tak akan peduli. Jika Onan membunuh Arendt dan membakar seluruh belalang yang disimpan di kotak kaca, kau juga tak akan bertindak apa-apa. Jadi percuma saja kau atau siapa pun berlagak menyelamatkan kemanusiaan atau peradaban di kota ini. Karena itu, hentikan saja waktu saat aku bercinta dengan Finley. Hentikan saja waktu saat Arendt memeluk Soros dari belakang dan membisikkan desis cinta berulang-ulang.

“Tidak! Tidak! Biarkan Soros dan Chang mati. Biarkan roh mereka terbang ke negeri tanpa matahari!”

Suara Sandra atau Arendt? Kau tetap saja tak peduli. Kau tetap saja membiarkan kota ini menggigil dililit oleh lidah hantu dan kabut teka-teki.***

Melbourne 2005- Semarang 2006

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *