Cerpen Triyanto Triwikromo
Dimuat di Jawa Pos (05/03/2009)
Aku tak tahu mengapa Natasja Korolenko selalu menyebut rumah Virginia Grey di Jalan Denison, Bondi Junction, sebagai penjara para binatang. Setahuku tak ada satu hewan pun di dalam bangunan berarsitektur liar dalam balutan warna permen itu. Akan tetapi, sehabis berpesta Vodka semalaman denganku, perempuan Moskow yang senantiasa ingin dipanggil sebagai Pelagia Nilovna itu selalu mengigau dan bilang, setiap memasuki kamar-kamar atau toilet di rumah Virginia, kau akan mendengar harimau mengaum, ular mendesis, atau keributan seribu tikus hitam yang menjijikkan.
”Kali pertama menyusup ke kamar Virginia, aku diselimuti ribuan kelelawar. Dan, ketika bercumbu dengan perempuan asal Inggris itu leherku penuh cupang, berdarah, dan bagai ditancap taring Ratu Kelelawar,” Natasja Korolenko mendengus sambil terus menyaruk-nyarukkan kaki di hamparan pasir Pantai Bondi.
Tak kubantah cerita perempuan macho 60 tahun yang kisah hidupnya sebagai imigran Rusia di Australia sedang ingin kujadikan novel grafis itu. Dalam situasi yang tak memungkinkan untuk menggunakan keajaiban otak, memang lebih baik aku menganggap Natasja Korolenko sebagai Scheherazad yang tak berhenti menciptakan cerita-cerita 1001 Malam yang menarik. Jika aku menghentikan ceracau Korolenko, maka sama saja aku memenggal leher perempuan yang segala isi kepalanya sedang kukorek dengan susah payah itu.
”Aku menduga tato di punggung Virginia bisa benar-benar berubah menjadi naga. Kau pernah mendengar dengus naga?”
Aku menggeleng.
”Jika ingin tahu setiap partitur yang didenguskan oleh sang naga, sekali waktu kau harus tidur di rumah perempuan sableng itu?”
”Hanya dengus naga? Tadi kau bilang akan muncul juga aum harimau dan keributan seribu tikus?”
”Jika ingin mendengar keributan segala satwa di hutan, kau harus bercinta dengan Virginia.”
”Bercinta?”
”Ya, Ivanovna, hanya dengan cara itu kau bisa menatap seluruh tato mengerikan di sekujur tubuh perempuan yang telah selama 20 tahun terakhir bercinta sepanjang waktu denganku. Selain tato naga di punggung, kau akan terpesona pada tato sepasang tikus di betis, kalajengking dan capung di leher, dan serigala telapak tangan. Hanya dengan cara itu kau bisa mengerti mengapa aku menyebut rumah Virginia sebagai penjara para satwa.”
”Bercinta?” aku mengulang pertanyaan, ”Kau menyangka aku akan bisa melakukannya?”
”Jika tak bisa, bersandiwaralah, Ivanovna. Bersandiwaralah sebagaimana Madonna membayangkan bercinta dengan para perempuan jelita.”
Tentu aku menganggap anjuran Natasja Korolenko sebagai ceracau konyol perempuan perkasa yang sedang mabuk. Namun, meskipun begitu, terus terang aku membayangkan dalam novel grafisku nanti Virginia Grey akan kugambarkan sebagai perempuan sableng yang ingin memindahkan seluruh penghuni hutan ke sekujur tubuhnya. Tak akan kusisakan sedikit pun tubuh, kecuali wajah, dari tato segala hewan buas dan menjijikkan yang pernah kusaksikan di kebun binatang.
2
Terus terang sedikit pun aku tidak tertarik membuktikan apakah segala roh binatang menempel di dinding rumah Virginia Grey. Jika pada akhirnya pada April yang penuh debu aku berhasil menyusup ke rumah yang di setiap dindingnya terpampang lukisan Kristus dalam berbagai pose dan penderitaan, termasuk dalam posisi tersalib dengan kepala terkulai penuh ulat dalam gaya Salvador Dali, itu karena aku ingin mendapatkan gambaran lebih utuh karakter Natasja Korolenko dari kekasih sejatinya. Juga jika pada akhirnya aku bisa menatap seluruh tato Virginia dari cermin bundar di kamar yang secara tak sengaja kutatap dari balik pintu, aku juga tak ingin membuktikan segala hewan di tubuh indah perempuan 61 tahun itu sebagai binatang-binatang ajaib yang bisa menjelma hantu-hantu yang menakut-nakuti siapa pun yang ingin membuka rahasia setan di rumah itu.
Segala yang kulakukan di rumah Virginia Grey, tentu sambil terus-menerus menikmati sihir Vodka, kau tahu, hanya untuk mempertajam sisi-sisi dramatis kehidupan sepasang perempuan yang diberkati alam untuk saling mencintai dengan sepenuh hati itu.
”Apakah kau benar-benar mencintai Natasja Korolenko, Virginia?” aku memulai wawancara sambil melihat bayangan sepasang tubuh Kristus dalam goresan Picasso saling berangkulan di langit-langit ruang tamu.
”Ya, aku mencintainya, Ivanovna. Hidup bersama Natasja Korolenko membuat aku tak punya kesempatan untuk memikirkan bunuh diri atau bercinta dengan laki-laki paling perkasa sekalipun.”
”Apakah kau benar-benar mengenal siapa Natasja Korolenko?”
Tak mendapat jawaban dari Virginia, aku melirik patung berwajah Kristus penuh darah dililit daun dan segala ganggang, di bibir balkon.
”Apakah….”
”Ya. Aku tahu siapa dia sebagaimana Natasja tahu siapa aku,” Virginia mendesis.
”Dan kalian tetap saling mencintai?”
”Ya, kami tetap saling mencintai.”
Aku tak heran mendengar jawaban Virginia Grey yang diucapkan dalam desis tertahan yang menggemaskan itu. Jauh sebelum menyusup ke rumah perupa yang mahir menghadirkan penyaliban Kristus dalam berbagai gaya mulai dari goresan ala Vincent van Gogh hingga Jean Michael Basquiat itu, aku telah mendapatkan bocoran kisah cinta Virginia dari Natasja.
”Bagaimana jika tiba-tiba Natasja meninggalkanmu?”
”Dia tak akan pernah bisa meninggalkan aku.”
”Sebaliknya, apakah kau tidak ingin meninggalkan dia?”
”Apakah menurutmu aku punya hasrat meninggalkan Natasja?”
Tak bisa kujawab pertanyaan Virginia yang tak terduga itu. Dan agar tak tampak sebagai perempuan konyol dan bodoh, kulemparkan pandanganku pada lukisan Kristus dihajar para prajurit bertopeng. Agar tampak sebagai pengamat profesional, aku mendekat ke arah kanvas berlatar serbahijau yang melekat di dinding serbahitam itu.
”Apakah kau ingin melihat hantu yang selalu menguntit Kristus dalam lukisan itu?” tiba-tiba Virginia bertanya dalam suara sengau yang mengingatkan aku pada cekikikan Ratu Kelelawar dalam film-film Vampire gaya Prancis.
”Hantu yang selalu menguntit Kristus?”
”Tak perlu kaget, Ivanovna, siapa pun bisa dikuntit oleh hantu.”
”Ya, tetapi tidak untuk Kristus,” aku memprotes.
”Kau keberatan jika aku memberi judul lukisan itu Hantu yang Memburu Tuhan?”
Aku mengangguk meskipun tahu di Alkitab Kristus memang pernah bersitegang dengan iblis. Aku memang tak percaya pada Tuhan, tetapi aku tidak rela mendengarkan perempuan Inggris yang mengaku sangat karib dengan Kristus, menghina sang Putra Nazareth itu dengan menganggap ada hantu yang melayang-layang dalam lukisan dan sekali waktu menempel di dinding dengan posisi tersalib.
”Hmm, baiklah, kau boleh menyebutnya sebagai Hantu Hijau. Bersama Natasja aku menggambar hantu buruk itu dalam warna favoritku, hijau kekuningan atau kuning kehijauan. Aku berharap suatu saat nanti kau akan bertemu dengan dia sebelum kau dan Natasja Korolenko kuundang minum Vodka atau Sampanye di balkon atau beranda. Ada pertanyaan lain, Ivanovna?”
Aku menggeleng. Terus-terang aku gemetar sekaligus takjub melihat lukisan Kristus dihajar prajurit bertopeng yang menurut Virginia berbayang-bayang hantu di background-nya yang serbahijau itu.
Aku berjanji saat datang ke rumah Virginia lagi akan kubawa samurai untuk menyobek-nyobek lukisan yang sangat menghina Kristus, putra Maria, yang sangat kupuja setengah mati itu.
3
Keinginan mengorek segala hal yang berkait dengan Natasja Korolenko dan Virginia Grey sementara kutangguhkan. Bahkan bocoran tentang keterlibatan Virginia meracun Alexander Litvinenko, seorang mantan agen rahasia Rusia yang menetap di Inggris, juga kuabaikan. Bahkan jika Natasja Korolenko mengaku telah membantu Virginia menyembunyikan mobil dan membunuh perawat yang merawat Litvinenko pun, segala igauannya tak akan kupedulikan.
Sebenarnya dari beberapa teman di Moskow aku tahu racun yang digunakan membunuh Litvinenko merupakan bahan radioaktif yang hanya dapat ditemukan di laboratorium nuklir supercanggih. Aku juga paham Presiden Vladimir Putin berada di belakang pembunuhan itu. Tapi aku hanya seorang pelukis yang sedang ingin menggambarkan sisi-isi gelap kehidupan manusia dalam sebuah novel grafis. Sedikit pun aku tak tertarik membongkar persengkongkolan politik yang memungkinkan seseorang membunuh lawan seperti menghabisi babi busuk.
Karena itu jika pada akhirnya aku terpaksa tahu bahwa ternyata Natasja dan Virginia merupakan agen ganda yang saling bahu-membahu untuk membunuh lawan-lawan politik Putin, tak akan kuanggap data-data itu sebagai sesuatu yang luar biasa. Aku baru menganggap bersentuhan dengan peristiwa istimewa jika sepasang kekasih itu tiba-tiba saling mengasah taring dan pada akhirnya keduanya terbunuh dengan luka lucu di leher masing-masing.
”Apakah pada akhirnya kau bisa melihat semua hantu yang bersemayam di rumah Virginia Grey, Ivanovna?” kata Natasja saat bertemu denganku di Kebun Binatang Torongga.
”Ya, aku telah melihat semuanya, Natasja.”
”Juga segala satwa di tubuh Virginia?”
”Juga segala satwa di tubuh Virginia.”
”Hmmm, semula kusangka kau benar-benar tak bisa bercinta dengan dia, Ivanovna. Nyatanya…”
”Nyatanya… aku memang tak pernah bercinta dengannya, Natasja. Aku hanya…”
”Hanya apa?”
”Hanya mabuk dan memperbincangkan apa pun yang hampa, apa pun yang sia-sia…”
”Apakah ia bercerita tentang sepasang malaikat yang tak bisa pulang ke surga karena sayap-sayapnya terbenam di lumpur? Maksudku apakah ia mendongeng tentang sepasang perempuan berwajah kucing yang kehilangan hasrat untuk patuh kepada Tuhan dan lebih memilih tinggal di hutan penuh ular?”
”Mungkin.”
”Mengapa mungkin?”
”Aku tak ingat benar apa yang diceritakan Virginia Grey. Aku hanya ingat ia mengeluhkan Rusia yang hampir runtuh dan karena itu tak perlu menggaji siapa pun untuk jadi mata-mata Rusia di Australia…”
”Apakah ia juga bercerita tentang kemungkinan Putin mengirim tentara siluman ke Sydney?”
Aku menggeleng.
”Apakah ia bercerita banyak tentang pertemuan pertamaku dengan dirinya di Festival Mardi Grass di New Orleans?”
”Seingatku ia bercakap tentang Ratu Kelelawar yang senantiasa bercinta dengan sepuluh perempuan pedesaan di sepuluh peti. Ratu Kelelawar itu, kau tahu, senantiasa mengajak perempuan-perempuan ranum itu menari-nari di kebun tomat sebelum pada malam paling busuk membunuh korban-korban bermata sial itu.”
”Tidakkah ia bercerita tentang Hitler yang menghanguskan ribuan manusia yang dianggap konyol hanya karena ia tidak pernah bisa menatap sepasang pria erotis berciuman di sudut taman? Tidakkah ia bercerita tentang serdadu-serdadu Gestapo bengis yang mencincang para perempuan ranum hanya karena iri memandang sepasang gadis saling meremas tangan di kegelapan kebun apel?”
Aku menggeleng. Kukira Virginia lebih suka bercakap tentang hujan abu saat Kristus terkulai dalam lukisan Menjelma Sunyi yang ia corat-coret dengan gaya Andy Warhol. Kukira Virginia nyaris tidak pernah bercakap tentang segala yang berkabut atau apa pun yang menyerupai kegelapan.
”Kalau begitu, Ivanovna, kau sesungguhnya belum tahu apa-apa mengenai Virginia Grey. Kau hanya tahu serbasedikit segala yang kauanggap sebagai kebenaran. Jadi, sekali lagi, bercintalah dengan Virginia, kau akan tahu segalanya. Kau harus mengalami. Jangan hanya mencatat. Jangan hanya menggoreskan pensil tumpulmu di selembar kertas.”
Kali ini aku tak bisa menolak keinginan Natasja Korolenko. Setidak-tidaknya di otakku terbit keinginan untuk membayangkan meremas tangan Virginia saat menemani perempuan misterius itu menggambar sketsa serdadu menghunjamkan tombak beracun ke lambung Kristus dalam gaya Chagall yang disusupi teori-teori pengorbanan manusia Rene Girard.
”Kau tidak akan cemburu, Natasja?”
Perempuan berkalung manik-manik Brasil itu menggeleng.
4
Tak mudah menaklukkan Virginia Grey. Tak mudah memunculkan hantu-hantu binatang yang melekat di tubuh perempuan yang senantiasa kubayangkan sebagai manusia ajaib yang melahirkan Maxim Gorki, sastrawan Rusia, yang sangat karib dengan keteguhan dan ketabahan para perempuan pejuang itu. Sebagai satwa manis 40 tahun yang tak pernah dihajar nikotin dan disentuh hewan-hewan bertulang belakang pemuja keindahan bulan, kukira aku bisa menjadi perempuan ranum yang tak habis-habis direguk oleh Virginia Grey. Nyatanya otak iblis menakjubkan ini nyaris tidak pernah bergeser sedikit pun dari pesona Natasja Korolenko.
Ketika ia mulai terbuka dan tak hendak menyimpan rahasia apa pun di hadapan seorang yang senantiasa mencatat dan mencatat segala kata-kata yang melesat, Virginia justru tidak pernah menceritakan siapa dirinya. Ia justru mengajakku belajar memahami karakter Natasja.
”Kau jangan mau menjadi budak Natasja, Ivanovna. Korolenko itu penyihir yang mudah memengaruhi siapa pun untuk melakukan apa pun yang diinginkan. Kau diminta bercumbu denganku hanya untuk membuka rahasia hantu di rumah ini bukan?”
Aku terkejut tetapi kusembunyikan kekagetan tak terduga yang mendera secara tiba-tiba itu.
”Tanpa menggunakan dirimu pun, Korolenko akan bisa membebaskan segala satwa yang menurut dia kupenjara di rumah ini. Ia bisa saja dengan mudah membakar rumah ini, mengelupas kulit dan menghilangkan tato segala binatang di tubuhku hanya dalam sekejap. Tapi ia tidak pernah melakukannya. Ia sesungguhnya tahu betapa aku –ini kali pertama kuungkapkan kepadamu– adalah musuh utama yang harus dibunuh karena memiliki kesetiaan tak tertangguhkan kepada Vladimir Putin –laki-laki indah yang mengutusku bertingkah seperti imigran Inggris di Negeri Kanguru ini. Tapi ia tak ingin membunuhku. Cinta, kau tahu, telah mengubah singa betina rakus menjadi angsa putih yang jinak.”
Aku terdiam dan berusaha menafsir ke arah mana percakapan yang lebih didominasi oleh Virginia Grey itu.
”Sebaliknya aku sama sekali tak sanggup membunuh Natasja Korolenko sekalipun beberapa kali ia mengirim hewan bantaian sepertimu kepadaku sekadar untuk menjebakku, menjebak perempuan kencana yang sangat ia cintai. Ia, kau tahu, adalah musuh yang terpaksa bertekuk lutut sebelum berperang karena tak sanggup meletuskan pistol di lambung kekasih yang sangat dicintai.
”Karena itu ia dan aku bukan agen rahasia Rusia yang baik. Ia dan aku adalah serdadu-serdadu busuk yang mungkin pada suatu hari kepergok para pemimpin dan tak sanggup melawan kekejaman senapan atau pisau mereka. Jadi, sesungguhnya, kami adalah manusia-manusia yang ringkih, Ivanovna, tapi kami sok perkasa. Kami tato tubuh kami hanya agar orang lain keder dan tak mampu menyakiti kami dengan segores kecil ujung pisau tumpul.”
Aku masih terdiam. Aku hanya berpikir memang tak mungkin siapa pun melukai Natasja Korolenko dan Virginia Grey pada saat mereka tak kehilangan kesadaran. Sungguh, dalam amuk Vodka pun mereka selalu tak pernah kehilangan cara untuk menghardik atau menghajar siapa pun yang mereka anggap sebagai musuh. Kau tahu, terhadap aku pun mereka tak pernah benar-benar membuka tirai kegelapan yang menutup rahasia kehidupan. Aku yakin jika saat ini mereka membocorkan sedikit kisah hidup mereka, semua itu pasti sudah diperhitungkan akibat-akibatnya. Mungkin mereka sedang menjebakku. Mungkin mereka juga menganggap aku sebagai kontra-agen sehingga semua bocoran kehidupan mereka sebagai mata-mata tak lebih dan tak kurang adalah taktik untuk mengecoh lawan.
”Jadi camkan, Ivanovna, menyingkirlah dari kehidupan kami dan akhiri penyamaranmu sebagai penganggit novel grafis.”
Aku ingin tertawa mendengar kata-kata ngawur Virginia Grey. Tapi kali ini aku memang sangat ingin menikmati kekonyolan dan kengawuran itu. Aku ingin merasakan sensasi sebagai perempuan ringkih yang dianggap sebagai agen rahasia Rusia.
”Kalau aku tak mau menyingkir?”
”Aku dan Natasja Korolenko akan membunuhmu,” dengus Virginia Grey mengancam.
Hmm, kurasakan dengus naga mulai menjalar di rumah itu. Kurasakan arwah puluhan binatang buas berebut mengepungku. Merasa terancam, aku bergegas meninggalkan rumah yang bagiku apa boleh buat memang lebih tampak sebagai kebun binatang untuk para hantu itu.
5
Setelah lima bulan kemudian, sangat keliru jika kau menggangap aku tak akan kembali ke rumah Virginia Grey.
”Ivanovna, kau akan segera mendapatkan akhir indah untuk novel grafismu, Sayang. Kau sedang di Pantai Bondi bukan? Segeralah ke rumah Virginia. Kami akan memberikan kejutan untukmu,” suara Natasja Korolenko mencerocos dari seberang.
”Kejutan?” aku berteriak sekuat mungkin untuk mengalahkan desau angin pantai agar suaraku yang ringkih terdengar keras di gagang telepon Natasja Korolenko.
”Ya, kau tahu akibatnya jika sebuah rumah menjadi krematorium bukan?”
Tak kujawab pertanyaan itu. Aku justru membayangkan sebuah ruang penuh api menghajar tubuh-tubuh ringkih. Kubayangkan juga tubuh-tubuh di dalam rumah itu meleleh pelan-pelan dan akan muncul ledakan-ledakan kecil, leleran cairan busuk, dan bunyi tulang-tulang yang meretak.
”Apa yang akan kalian lakukan, Natasja,” aku bertanya setelah bisa menjinakkan keterkejutan.
”Kami akan membakar diri, Ivanovna?”
Aku tak perlu bertanya mengapa mereka senekat itu. Aku yakin semua berkait dengan tekanan fundamentalis yang tak menginginkan Australia dipenuhi para parempuan indah yang bercumbu sepanjang waktu di keheningan taman di keriuhan jalan. Aku sangat percaya pawai perempuan-perempuan tersalib yang diarak dan digerakkan oleh Virginia Grey serta Natasja Korolenko di Jalan Oxford dan Taman Hyde dalam Festival Mardi Grass telah menyinggung perasaan banyak orang.
”Kalau jasad kami tak ada lagi, kalau tubuh kami tak mereka temukan lagi…”
Tak perlu Natasja meneruskan kata-kata itu, aku sudah tahu ke mana arah ratapan itu. Karena itu segera kumatikan telepon genggam dan tanpa minta persetujuan Virginia Grey atau Natasja Korolenko, aku meminta pemadam kebakaran Sydney agar segera melesat ke Bondi Juntion, ke Jalan Denison.
Aku tak rela Natasja dan Virginia mati percuma.
6
Terlambat. Rumah Virginia Grey telah terbakar.
7
Terbakar? Dibakar? Entahlah. Tak ingin kuceritakan bagaimana pemadam kebakaran menjinakkan api yang seakan-akan sangat berhasrat menjilat-jilat langit itu. Aku hanya ingin mengatakan kepadamu di antara asap dan api, aku seperti melihat tikus-tikus tanpa sayap, kelelawar, sepasang naga kembar, segala ular, dan puluhan laki-laki tersalib –yang semuanya pernah kutatap di lukisan dan patung Virginia Grey– melayang-layang dengan sepasang tangan yang membentang bersama-sama melesat menembus awan.
Terbakar? Dibakar? Entahlah. Ketimbang membayangkan tubuh Virginia Grey dan Natasja Korolenko hangus di antara reruntuhan rumah dan segala hantu di rumah itu, aku lebih ingin membayangkan Natasja Korolenko memang sengaja membakar rumah Virginia, menyeret kekasih pujaan ke pelabuhan udara Sydney, dan terbang ke Rusia dengan pesawat tercepat. Natasja, kau tahu, bisa saja menciptakan hologram tentang puluhan laki-laki tersalib yang melesat mikraj ke langit di antara sirkus api yang menjadikan rumah di Jalan Denison itu sebagai abu, sebagai sesuatu yang kelak hanya bisa kaukenang dalam novel grafisku.
Terbakar? Dibakar? Tak ada isyarat yang benar-benar memberikan kesempatan kepadaku untuk menjawab pertanyaan: mengapa api begitu mudah membakar sepasang kekasih dan menjadikannya hanya sebagai kayu rapuh, hanya sebagai keindahan yang busuk dan menjijikkan… ***
Sydney 2008-Semarang 2009