Sekretaris Jenderal Depdiknas, Dodi Nandika, sebagaimana dilansir oleh harian Pikiran Rakyat, (13/4/2006) pernah mengungkapkan bahwa Depdiknas akan meluncurkan sembilan program utama tahun 2006. Salah satunya adalah bantuan operasional sekolah (BOS) untuk buku teks pelajaran (BOS Buku-red). Menurut Dodi, BOS buku diberikan kepada siswa-siswa SD dan SMP di daerah-daerah terpencil dan tertinggal yang ada di 9-12 provinsi di Indonesia.
“Depdiknas bersama DPR telah sepakat mengalokasikan dana Rp 800 miliar dari APBN untuk BOS buku tahun 2006. BOS buku teks ini diberikan kepada siswa-siswa SD dan SMP yang ada di daerah-daerah terpencil dan tertinggal dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun,” ujarnya. Dodi menambahkan, pola penyaluran BOS buku ini sama dengan pola penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS), yaitu menggunakan pola block grant. BOS buku, katanya, diberikan untuk buku teks pelajaran saja, tidak termasuk buku pengayaan.
“Pihak sekolah dan komite sekolah silakan memilih buku teks pelajaran yang akan digunakan di sekolah. Buku teks pelajaran yang dipilih adalah buku yang sudah ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP),” katanya.
Pernyataan Dodi Nandika tampaknya bukanlah isapan jempol. Buktinya, sudah banyak sekolah (SD/SMP) yang telah menerima kucuran dana tersebut. Besar kecilnya dana BOS Buku ditentukan oleh jumlah siswa dari sekolah yang bersangkutan. Setiap siswa mendapatkan BOS Buku sebesar Rp20.000,00 per buku.
Indikasi Penyimpangan
Namun, alokasi penggunaan BOS Buku tersebut dinilai sangat rentan terhadap praktik penyimpangan. Berdasarkan laporan dari berbagai media, aroma tidak sedap mulai terendus di balik transaksi pengadaan buku teks. Hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2006 mengenai BOS buku di Jakarta, Garut, Semarang, dan Kupang– sebagaimana dilansir harian Suara Pembaruan (29/11/2006)– menunjukkan adanya kesalahan dalam proses pengadaan buku setelah muncul Peraturan Mendiknas Nomor 11/2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Dalam peraturan itu, sekolah tidak diperkenankan memaksa atau menjual buku kepada siswa. Namun, aturan itu “disiasati” sekolah. Caranya, dengan mengarahkan sekolah atau siswa membeli buku dari penerbit tertentu.
“Jika dana berasal dari masyarakat, sekolah (kepala sekolah) yang menjadi aktor. Siswa diharuskan membeli buku dari penerbit yang sudah memiliki perjanjian kerja sama dengan sekolah. Bila yang digunakan uang negara, biasanya pejabat dinas yang menjadi pelaku. Sekolah diarahkan membeli buku-buku dari rekanan mereka,” kata Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Ade Irawan.
Hal senada juga dilaporkan oleh harian Kompas (25/11/2006). Menurut media nasional tersebut, indikasi penyimpangan penggunaan dana BOS Buku berupa pembelian buku yang merupakan hasil rekomendasi dinas. Ini berarti, sangat dimungkinkan buku ajar yang digunakan di tiap-tiap daerah akan seragam. Selain itu, juga dipastikan munculnya persaingan tidak sehat antarpenerbit untuk memperebutkan rekomendasi dari dinas atau sekolah.
Sementara itu, harian Pontianak Post (06/01/2007) melaporkan, banyak guru di Pontianak yang belum mengetahui cairnya dana BOS Buku akibat tidak transparannya kepala sekolah dalam pengelolaan BOS buku.
“Dari beberapa sekolah, ada guru-guru mengaku kecewa sebab kepala sekolah tak memberi tahu kalau BOS buku sudah cair,” kata Drs Firdaus Zar’in Msi, salah seorang anggota komisi D DPRD kota Pontianak. Wakil rakyat itu berpandangan, sudah seharusnya kepala sekolah memberitahukan guru tentang BOS buku. Sebab, selama ini sosialisasi BOS sangat gencar dilakukan oleh dinas pendidikan dan departemen agama di seluruh Indonesia. Peran aktif juga semestinya dilakukan berbagai pihak. Seperti dari LSM yang tergabung dalam tim pengawas kucuran dana BOS buku di lapangan. “Dewan akan mengawasi BOS buku dengan ketat. Tak bisa dipungkiri, pelaksanaannya di lapangan sangat rentan penyimpangan,” tegas Firdaus. Misalnya saat sekolah menggelar kegiatan, banyak penerbit buku yang bersedia menawarkan diri sebagai sponsor. Kalau tak ada kepentingan, kata Firdaus, tak mungkin penerbit mau membantu tanpa adanya kompensasi tertentu.
Dia menilai pemberian diskon adalah kebijakan internal tiap sekolah. Tidak perlu dipermasalahkan jika diberikan secara profesional. Artinya, potongan harga tersebut bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh guru, bukannya hanya kepala sekolah. Ataupun dialihkan untuk pembelian berbagai perlengkapan sekolah, di luar BOS. Firdaus yang juga menjadi ketua komite SDN 31 Pontianak Barat itu, berpendapat praktik penyimpangan dana BOS dan BOS Buku wajib ditindak tegas. Pelakunya mesti diproses secara hukum supaya memberikan efek jera.
Di Bandung, sebagaimana dilaporkan harian Pikiran Rakyat (15/12/2006), mayoritas Kepala Cabang Dinas (KCD) Pendidikan di kota Bandung melakukan penyimpangan peraturan penggunaan dana BOS Buku. Satu di antaranya adalah KCD Kecamatan Cibiru yang telah mengarahkan kepala sekolah (KS) untuk pengadaan buku matematika dari suatu penerbit tertentu. Pengarahan itu dilakukan melalui Surat Nomor 005/145-TU/2006 tertanggal 22 November 2006 yang berisi penekanan agar para KS hadir pada rapat Jumat 24 November 2006. Isi rapat mencantumkan, KCD mengimbau dan mewajibkan KS mengadakan buku teks ajaran program BOS buku dari penerbit rekanan KCD.
Hasil temuan LSM seperti disampaikan Ketua KaPUR Bambang Supriatna kepada “PR”, Selasa (12/12). Dalam rapat tersebut, kata Bambang, KCD juga memberikan kesempatan kepada penerbit untuk memaparkan bagaimana teknis pemesanan dan nilai rabat atau discount yang akan diterima para kepala sekolah bila melakukan transaksi pembelian buku kepada penerbit tersebut.
“Dengan melihat cara-cara penggiringan seperti ini, para KCD khususnya KCD Kecamatan Cibiru, jelas-jelas sudah melakukan pelanggaran penggunaan dana BOS buku,” ujar Bambang Supriatna, Ketua LSM Koalisi Pendidikan untuk Rakyat (KaPUR) Bandung. Dia menyebutkan, dalam buku panduan pelaksanaan BOS dan BOS buku bab V poin C nomor 4, tim PKPS-BBM kab./kota tidak diperkenankan melakukan pemaksaan/imbauan atau kebijakan lain yang sejenis kepada sekolah dalam proses penentuan judul buku, pengarang, penerbit, dan toko buku/distributor. Oleh karena itu, KaPUR meminta pihak terkait segera melakukan pemantauan terhadap penggunaan dana BOS buku. Mengingat, indikasi para KCD melakukan pelanggaran serupa sangat besar.
Menanggapi hasil temuan LSM tersebut, Manajer PKPS-BBM Disdik Kota Bandung, Drs. Dadang Irahadi, mengatakan, pihaknya belum mengetahui kejadian tersebut karena belum menerima laporan dari kepala sekolah ataupun masyarakat. Meski demikian, Dadang meminta kepala sekolah tetap mengikuti peraturan penggunaan dana BOS buku sesuai petunjuk yang diberikan. Kalaupun ada upaya-upaya pengarahan seperti itu harus segera dilaporkan.
Tentang sanksi yang akan diberikan kepada KCD tersebut, dia mengatakan, tim PKPS-BBM tidak mempunyai kewenangan untuk itu. Tim hanya berwenang memberikan pengarahan, sosialisasi program, dan pemantauan. Meski demikian, secara formal tim segera melaporkan hal itu kepada kepala dinas dan melakukan pemeriksaan ke lokasi. (swl)
Tidak Berpijak pada Realitas?
Lantas, bagaimanakah implementasi penggunaan dana BOS Buku di Kab. Kendal? Adakah indikasi penyimpangan seperti yang terjadi di berbagai daerah?
BOS buku adalah bantuan dana yang digulirkan kepada sekolah untuk pembelian buku pelajaran. Program ini mulai digulirkan ke semua propinsi di seluruh Indonesia pada tahun 2006. Tujuannya untuk membantu masyarakat meringankan beban biaya pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan. Disadari bahwa komponen buku pelajaran merupakan salah satu beban yang memberatkan masyarakat. Padahal ketersediaan buku sangat penting dalam proses pendidikan.
Bos buku diberikan langsung ke sekolah dengan besaran setiap sekolah mendapatkan alokasi yang dihitung dari jumlah siswa. Setiap siswa dialokasikan Rp.20.000. Sekolah yang menerima BOS buku memiliki kewajiban untuk membeli buku teks pelajaran yang diprioritaskan untuk digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Buku-buku itu diharapkan digunakan minimal dalam 5 tahun. Siswa diberikan pinjaman secara cuma-cuma oleh sekolah untuk digunakan dalam belajar baik di rumah maupun di sekolah dan dikembalikan lagi pada akhir semester atau akhir tahun pelajaran sehingga bisa dipakai kembali oleh adik kelasnya.
Sayangnya, seiring dengan bergulirnya BOS buku, pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional pada awal tahun pelajaran 2006/2007 mengeluarkan Peraturan Mendiknas No. 22, 23, dan 24. Ketiga peraturan ini mendasari berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kondisi daerah dan sekolah yang beragam dan keluwesan penerapan KTSP berdampak pada pelaksanaan kurikulum pun menjadi beragam. Ada sekolah yang pada tahun pelajaran 2006/2007 ini telah melaksanakan KTSP, ada pula yang belum. Jadi, praktis pada tahun 2006/2007 ini secara nasional berlaku tiga macam kurikulum, yaitu Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan kurikulum berdasarkan standar isi (KTSP).
Dengan berlakunya tiga macam kurikulum, panduan BOS buku yang harus dijadikan acuan para pengelola BOS Buku menjadi kurang sesuai untuk sekolah yang telah menerapkan KTSP. Dalam panduan itu tercantum pembatasan judul buku yang dibeli dipilih dari daftar yang tertera dalam lampiran Peraturan Mendiknas No. 26 tahun 2005. hal ini sebenarnya hanya cocok untuk sekolah yang masih menggunakan kurikulum 1994 dan 2004. Apabila konsisten dengan isi Permendiknas tentang Buku Pelajaran, sebenarnya buku-buku tersebut tidak dapat digunakan minimal 5 tahun karena paling lambat tiga tahun yang akan datang semua sekolah sudah harus melaksanakan kurikulum sesuai standar isi atau KTSP.
Bagi Kabupaten Kendal yang responsif menanggapi perubahan kurikulum, pada tahun pelajaran 2006/2007 sekolah-sekolah mulai SD, SMP, SMA dan SMK telah melaksanakan KTSP. Dengan kondisi yang demikian, mestinya panduan BOS buku tersebut tidak dapat diberlakukan sama dengan daerah/sekolah yang masih menerapkan kurikulum 2004 atau kurikulum 1994. Hal inilah yang menimbulkan kebingungan bagi sebagian pengelola BOS buku dan guru di sekolah. Di satu sisi harus mempertanggungjawabkan sesuai aturan tetapi disisi lain jika aturan itu diterapkan akan tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan, meskipun sebenarnya dalam KTSP tidak ada pembatasan buku.
Kondisi yang demikian ini ternyata juga disadari oleh Manajer PKPS-BBM Kabupaten Kendal, Ibnu Darmawan, S.Pd. Namun, dia mengimbau agar sekolah tetap mematuhi rambu-rambu yang tercantum dalam buku Panduan.
”Kita itu kan dibantu, sebaiknya ya mengikuti panduan yang dikeluarkan oleh yang membantu kita itu,” tegasnya. Menurut Ibnu, sebenarnya Dinas P dan K Kabupaten Kendal telah berupaya agar penggunaan dana BOS buku benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Pada awal sosialisasi di tingkat Jawa Tengah untuk Tim Kabupaten, masalah tersebut telah dikonsultasikan kepada Tim Pusat. Karena buku-buku seperti yang ada dalam panduan BOS itu telah diupayakan dicukupi oleh Pemda, apakah dana BOS Buku bisa dimanfaatkan untuk membeli buku-buku lain yang diperlukan sekolah.
”Logikanya, sesuai tujuan pemberian BOS buku itu kan untuk meringankan masyarakat. Apabila ketiga buku itu telah dipenuhi oleh Pemda, kemudian dana itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan buku yang lain akan dapat mempercepat pemenuhan buku sehingga program pemerintah mewujudkan pemenuhan buku bagi siswa akan cepat tercapai. Setiap siswa satu buku untuk semua mata pelajaran,” lanjut Ibnu. Jika BOS buku masih digunakan lagi untuk membeli buku yang sudah ada di sekolah maka target pemenuhan buku justru akan terhambat. Di satu sisi ada buku tertentu yang berlebih dan di sisi lain masih ada yang belum ada sama sekali.
Atas dasar pertimbangan itu dan hasil konsultasi dengan Tim Pusat, maka dibuatlah edaran ke sekolah agar dana Bos Buku diusahakan untuk memenuhi buku yang belum dipenuhi oleh Pemda. Sekolah bebas memilih buku sesuai kebutuhannya sendiri. Tetapi, ternyata beberapa saat kemudian oleh oknum yang merasa dirugikan dengan kebijakan itu, surat edaran itu dianggap menyalahi panduan BOS buku. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan dan agar tidak merepotkan, akhirnya surat itu diralat kembali untuk tetap sesuai panduan yang ada saja meskipun akhirnya ada yang dirasakan kurang tepat.
Sekolah Meradang
Itu artinya, ketika BOS Buku datang, sekolah pun meradang. Keresahan dan kebingungan menghinggapi sejumlah guru. Pak Parno, guru kelas VI SD Kedung Asri 2 Kecamatan Ringinarum, misalnya, justru merasa kebingungan. Sebagai guru, dia tidak habis mengerti dengan apa yang dimaui oleh pemerintah. Dari informasi yang dia dengar, pada tahun ini sekolahnya mendapatkan BOS buku yang besarnya Rp. 20.000/siswa. Dia sudah berencana memanfaatkan dana itu untuk membeli buku agar bebannya mengajar di kelas VI yang sudah menerapkan KTSP agak berkurang. Maklumlah, sebagai guru kelas bebannya memang berat karena harus mengajarkan 6 mata pelajaran. Kalau urutan materi dalam buku siswa tidak sesuai dengan kurikulum yang berlaku sungguh menyulitkan. Paling tidak, menambah beban tugasnya dalam menyusun perencanaan pengajaran yang akan dilakukan. Akan tetapi, angan-angan itu pupus sudah. Pasalnya, setelah kepala sekolah menyosialisasikan program BOS buku, ternyata tidak dapat digunakan untuk membeli buku-buku yang sesuai dengan KTSP.
Kebingungan juga dirasakan oleh Kepala SMP 2 Boja, Purwo Adi Sucipto. Sebagai pengelola yang harus bertanggungjawab terhadap semua pengelolaan dana BOS Buku, dia merasa takut salah. Takut kalau menyimpang dari aturan yang ada, sekaligus juga takut ”dipaidu” guru-guru di sekolahnya. Kalau menggunakan BOS Buku sesuai pedoman, buku-buku itu sudah tidak dibutuhkan lagi di sekolahnya. Akan tetapi kalau tidak, dia akan dianggap telah menyalahi aturan. ”Saya rikuh dengan teman-teman guru,” kata wakil ketua MKKS ini ketika diwawancarai.
Menurut Purwo, BOS buku itu sebenarnya sangat membantu sekolah. Tetapi karena panduan pengelolaannya terlalu teknis dan mengikat, hal itu membuat sekolah menjadi kebingungan. Dikatakan pula oleh Purwo bahwa sebenarnya daftar buku yang tercantum dalam lampiran Permendiknas No. 26 tahun 2005 sudah tidak relevan lagi digunakan di sekolahnya karena pada tahun 2006/2007 SMP 2 Boja sudah menggunakan kurikulum yang sesuai dengan Standar Isi (KTSP). Sementara buku-buku yang ada dalam daftar buku itu masih mengacu pada kurikulum 1994 dan 2004. Tetapi kalau toh diberi kebebasan untuk memilih sendiri pun dia akan mengalami kesulitan juga. Karena buku-buku yang berdasarkan Standar Isi atau KTSP yang beredar pun masih terbatas dan belum ada yang disahkan oleh Menteri.
Oleh karena itu, Purwo mengharapkan, apabila pada tahun-tahun yang akan datang masih ada dana BOS buku, sekolah hendaknya diberikan kebebasan untuk memilih buku. Sekolahlah yang paling tahu apa yang dibutuhkan. Bukankah pemerintah sudah menggulirkan Manajemen Berbasis Sekolah? Selain itu, Purwo juga mengimbau kepada penerbit dan BSNP untuk segera menyediakan buku-buku yang sesuai dengan kurikulum yang baru.
Sementara itu, Kepala SD Negeri Kutoarjo, Kaliwungu, Supanto, menggunakan dana BOS buku untuk membeli buku yang sesuai dengan kurikulum yang sudah diterapkan di sekolahnya, yaitu KTSP. Keputusan ini dibuat karena ada tawaran ke sekolahnya untuk mengajukan pemesanan.
Hal itu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kepala SMP 1 Brangsong, Dra. Hj. Amin Aryatna. Menurutnya, dalam mengelola dana BOS Buku, dia berpedoman pada panduan pengelolaan dana BOS yang diterimanya, mulai dari mekanisme pemilihan sampai dengan buku yang dipilih. Karena kehati-hatiannya itu, maka pemanfaatan dana BOS buku di sekolahnya agak terlambat. Dalam memilih buku, dia melibatkan guru dan komite melalui rapat resmi. Buku-buku yang dipilih adalah buku yang tercantum dalam daftar lampiran Peraturan Mendiknas No. 26 tahun 2005, meskipun diakui buku-buku itu sudah kurang relevan lagi dengan kebutuhan sekolah yang sudah menerapkan KTSP. ***