Selama dua hari (Kamis-Jumat, 28-29 Agustus 2008), saya mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Evaluasi hasil Ujian Nasional (UN) di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Semarang Jawa Tengah. Dalam acara itu hadir Dr. Baedhowi, Dirjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) Depdiknas, Dr. Ir. Indra Jati Sidi, mantan Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Prof. Dr. Djaali, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Depdiknas, perwakilan dari Pemkab/Pemkot dan Komisi E DPRD Kab/Kota se-Provinsi Jawa Tengah, pengurus MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), pengawas, serta pengurus MGMP (IPA dan Bahasa Indonesia SMP serta Matematika, Bahasa Inggris, dan IPA SMA/SMK) dari 35 kabupaten se-Jateng. Kehadiran saya saat itu mewakili teman-teman guru Bahasa Indonesia yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP Kabupaten Kendal.
Secara jujur harus diakui, masih banyak persoalan yang muncul ketika UN digelar menjadi sebuah “ritual” menjelang akhir tahun; mulai kebocoran soal, materi soal yang diragukan kesahihannya, hingga penghalalan segala macam cara untuk mengatrol nilai UN demi meningkatkan “marwah” sekolah atau daerah. Selain itu, selalu saja ada sindrom kecemasan yang menghantui guru, orang tua, dan siswa ketika saat-saat yang paling mendebarkan itu tiba.
Persoalan lain adalah hilangnya “roh” kurikulum yang dikhawatirkan akan sangat memengaruhi optimalisasi pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang kini sudah mulai dilaksanakan oleh berbagai sekolah. Otonomi pendidikan yang gencar digembar-gemborkan di sekolah agaknya akan menghadapi banyak kendala karena sentralisasi belum sepenuhnya dilepaskan oleh pemerintah pusat. Kegiatan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (Paikem) pun menjadi sulit diimplementasikan, terutama di kelas-kelas terakhir. Murid-murid akan di-drill dan digelontor dengan setumpuk soal UN yang diprediksikan akan muncul dalam UN. Pendekatan behaviouristik yang mengutamakan hafalan pun akan terasa lebih dominan ketimbang pendekatan konstruktivistik yang menekankan pada upaya untuk mengajak siswa menemukan dan meng-konstruksi pengalaman belajarnya secara mandiri. Semuanya jadi serba mekanis –meminjam istilah Rama Mangunwijaya—tak ubahnya seperti pelatihan yang diterapkan untuk binatang-binatang sirkus.
Namun, agaknya berbagai kecemasan dan kekhawatiran itu tak melunturkan semangat para penentu kebijakan untuk menjadikan UN sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan. Bahkan, ada upaya serius untuk meningkatkan standar nilai UN dari tahun ke tahun. MGMP yang dinilai berada di garda depan dalam membuka ruang komunikasi dan interaksi dengan sesama guru mata pelajaran, diharapkan dapat mengindentifikasi dan merumuskan segala macam permasalahan yang terjadi, mencari alternatif pemecahan, dan menentukan program yang tepat untuk mengatasi permasalahan.
Dalam Rakor itu, perwakilan MGMP yang hadir memang telah merumuskan beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada Depdiknas agar pelaksanaan UN tak terjebak menjadi sebuah rutinitas tahunan yang mencemaskan dan mendebarkan banyak pihak. Salah satu rekomendasi yang penting dan substansial di antaranya keterbukaan informasi yang berkaitan dengan nilai UN yang selama ini (nyaris) tak pernah sampai secara utuh kepada “stakeholder” pendidikan. Kunci jawaban, misalnya, selama ini tak pernah diketahui oleh para guru, sehingga mereka tidak bisa melakukan analisis dan tindak lanjut terhadap hasil UN yang selama ini dicapai oleh siswanya. Imbasnya, banyak guru yang mengerutkan jidat ketika menemukan banyak siswanya yang bagus nilai hariannya, ternyata justru malah hancur nilai UN-nya. Demikian pula sebaliknya, siswa yang nilai hariannya hanya pas-pasan, justru mendapatkan nilai bagus dalam UN. Mengapa hal itu bisa terjadi? Itulah pertanyaan besar yang hingga kini belum bisa ditemukan jawabannya oleh para guru.
Karena secara regulatif masuk dalam klausul UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, setuju atau tidak, UN akan tetap digelar setiap tahun. Setiap daerah dengan sendirinya akan terus berpacu untuk menjadikan UN sebagai “ikon” keberhasilan peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Nah, bagaimana respon setiap daerah dalam menyongsong pelaksanaan U\N tahun 2008/2009? Agaknya, kita masih akan disuguhi berbagai jurus atraktif setiap daerah dalam menyongsong kehadiran UN di atas panggung dunia pendidikan. Kita tunggu saja! ***
(Mohon maaf kalau tulisan ini tidak disertai gambar karena “human error”, haks!)
Salam Pak Guru
Wah… dua hal yg menarik dari catatan Bapak adalah soal ritual tahunan (UN) yang selalu saja menuai masalah.. serta hilangnya roh kurikulum sangat menarik diulas lebih dalam supaya jadi perhatian pemerintah kita…
Salam…
Selamat Pagi Pak Guru! Kalimat pertama saya adalah ” Selamat Berpuasa kepada semua teman2 muslim dan muslimah.”
Kalau dikatakan bahwa UN adalah acara ritual setiap tahun memang tak terbantahkan lagi. Ritual ini akan membawa berkah bagi sebagian orang dan bencana bagi yang lainnya.Oknum2 yang kreatif dan opportunis akan segera memanfaatkan “pesta tahunan” ini untuk menangguk untung dengan berbagai cara. Memperdagangkan soal bocoran sudah lumrah,menjual jawaban lewat sms seperti orang menjual kacang goreng sudah bukan hal tabu lagi. Soal mau maju kek mau mampus kek negara ini bukan urusan mereka, yang penting kantongnya tetap tebal. Saya mengatakan ini karena ada beberapa murid badung yang malasnya gak ketulungan lagi iseng2 saya tanya sewaktu mereka menjalani UN di salah satu sekolah swasta terkenal di kota Medan tahun 2008 ini. Namanya juga anak badung yang tidak tahu malu lagi, mereka mengaku apa adanya. Mereka patungan membeli jawaban lewat sms dari semua mata pelajaran yang diuji yaitu : IPA, B.Indonesia,B.Inggris. Akhirnya mereka dinyatakan lulus juga dengan jalan yang tidak terhormat tsb.
Pesta ini tentunya akan menjadi bencana bagi murid2 yang biasanya pintar di kelas tetapi malah koit di UN.Demikian juga bencana bagi guru2 dan kepsek yang masih dapat berpikir dari sisi manusiawinya,orang2 yang masih concern terhadap kemajuan bangsa. ” Dosa” murid2 pintar yang tidak lulus UN adalah mungkin mereka ” kurang kreatif ” dan ” tidak rajin ” mencari calo2 penjual soal ujian atau bisa juga mereka terlalu idealis dan jujur banget sehingga semua soal ujian harus dikerjakan dengan kepala mereka sendiri.Lucunya lagi cara terakhir justru lebih banyak gagalnya daripada suksesnya ( Ha3). Bisa juga calo2 soal kurang berminat mencari anak2 berbakat dan idealis plus pintar seperti itu ( takut mereka bernyanyi juga kan ? ha3 ).
Walaupun fakta yang saya paparkan di atas sering terjadi tetapi pemerintah, depdiknas khususnya merasa itu cara paling sakti untuk digunakan sebagai barometer dalam rangka menentukan kemajuan pendidikan di Republik yang sama2 kita cintai ini. Masihkah ada metode lain yang lebih bagus dari itu? Mari kita pikirkan bersama untuk kemajuan bangsa kita. Jangan saling menyalahkan tetapi marilah kita perbaiki semua yang masih kurang,percayalah kita akan menjadi yang the best.
aksi menjelang UN ya….
Salam pak guru..banyak masalah yang terjadi menjelang UN ADALAH karena rasa malu yang besar nanti kalau satu daerah..semua ga lulus..jadi pasti bakalan ada oknum yang bermain dibelakang layar.
Skarg Kok Jarang Update Sih Pak
Btw Tlg promosiin Blogku ya Pak
Bwt Tgs Sekolah
Sampai saat ini saya selalu respek pada guru-guru saya. Mereka patut mendapatkannya. Dedikasi dan perhatian pada kami luar biasa. Tidak pernah memikirkan materi dari kami. Ada rasa bangga ketika kami lulus.
Tuhan memberikan saya semua guru-guru teladan itu. Ketika SD kelasku lulus 100%. SMP dan SMU saya berada dalam kelas yang semuanya lulus.
Ada sedikit kecemasan menjelang UN tetapi justru itu yang memacu kami begitu entusias belajar.
Tuhan berkati para guru yang baik itu, termasuk pad Sawali, yang selalu rajin berbagi ilmu.
Memang pak masalah UN ini selalu menjadi momok bagi semua kalangan, baik itu sekolah, guru, peserta didik dan lebih pusing lagi orang tua murid, yang selalu cemas, dan deg-degan menunggu hasil UN
Salam dari kami di Banyumas pak Sawali !!!!
Mungkin berawal dari kurangnya minat baca masyarakat kita, memang sebagus2 kurikulum tapi yg di ujikn lebih dominan apa yg kira buat soal, ketimbang guru pembimbingnya. Itu salah satu mata rantai terputusnya kurikulum penddkn qt.
Duh pake hp jempol mo copot. Qizink (tetangga) jadi sekarang karena baca bertahn2. Adam ibnu sina di belanda kerjaanya siang mlm baca, entah brapa jam tidurnya. Wah. Wah jempol mo copot. Udah dulu belajar comentnya pa guru
pak sawali salam lama tidak kontak pak
saya habis pulang dari bali
pak saya mau minta ym bapak sekalian klo boleh
pak tolong kabri klo ada beasiswa untuk kuliah gratis
terima kasih
UN memang seperti momok dalam dunia pendidikan kita. adakah cara lain agar UN bisa dinikmati seperti layaknya negara maju yang bisa menjadikan ujian sebagai sebuah tolak ukur?
kalau anak didik sudah membiasakan diri untuk belajar tiap hari dan megerjakan secara mandiri setiap tugas yang diberikan oleh gurunya, saya yakin permasalah ujian nasional tak perlu terjadi.
wah kayaknya siap siap dah membuat jantung berdebar.
untung deh gue udah gak sekolahan.
http://hidup-bijak.blogspot.com/
salam kenal pak
untung dah lulus. hehehehe
kenapa harus ada UN ya…?
Semoga lancar dan sukses selalu