Tak henti-hentinya pembelajaran sastra di sekolah disorot para pengamat, pemerhati, dan peminat sastra. Hal itu memang cukup beralasan. Proses pembelajaran sastra di sekolah selama ini dinilai belum optimal; berlangsung seadanya, kaku, tanpa bobot, dan membosankan, sehingga tidak mampu membangkitkan minat dan gairah siswa untuk belajar sastra secara total dan intens. Akibatnya, apresiasi sastra siswa tidak bisa tumbuh dan berkembang secara maksimal. Buku-buku sastra di perpustakaan sekolah dibiarkan terpuruk tak tersentuh, kepekaan moral dan nurani siswa pun dinilai mulai menipis. Tidaklah berlebihan kalau Danarto pernah menyinyalir, salah satu penyebab maraknya tawuran antarpelajar ialah lantaran siswa tidak pernah diajar sastra dengan baik.
Mengapa pembelajaran sastra di sekolah menjadi penting untuk dipersoalkan? Setidaknya ada dua argumen yang layak dikemukakan. Pertama, karya sastra dianggap mampu membuka “pintu” hati pembacanya untuk menjadi manusia berbudaya, yakni manusia yang responsif terhadap lingkungan komunitasnya, mengukuhi keluhuran dan kemuliaan budi dalam hidup, dan berusaha menghindari perilaku negatif yang bisa menodai citra keharmonisan hidup. Hal itu bisa terwujud manakala seseorang memiliki tingkat apresiasi sastra yang cukup. Artinya, ia mampu menangkap pernik-pernik makna yang tersirat dalam karya sastra dan sanggup menikmati “menu” estetika yang terhidang di dalamnya.
Kedua, sekolah diyakini sebagai institusi pembelajaran dan basis penanaman nilai-nilai moral dan budaya kepada siswa. Dari sisi ini, sekolah diakui sebagai ajang sosialisasi yang tepat untuk memperkenalkan sastra kepada para siswa, sehingga kelak menjadi generasi-generasi bangsa yang cerdas, pintar, dan terampil, sekaligus bermoral. Dengan kata lain, jika sekolah mampu melaksanakan pembelajaran sastra secara optimal, maka negeri kita akan dihuni oleh penduduk yang bermoral tinggi, berperikemanusiaan, dan sarat sentuhan nilai keluhuran budi serta kearifan hidup.
***
Berbagai tulisan di media cetak dan berbagai “debat” di forum-forum diskusi pun sebenarnya telah gencar mengangkat tema kegagalan pembelajaran sasatra. Tujuannya jelas, yaitu mencari penyebab dan merumuskan solusinya.
Banyak pengamat menilai, kegagalan itu disebabkan oleh sempitnya wawasan guru sastra, siswa semakin masa bodoh terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan ajaran moral, guru sastra kurang kreatif, kurikulum yang cenderung memasung dan mengindoktrinasikan berbagai tuntutan, dan pelajaran sastra masih “nunut” pelajaran bahasa, sehingga porsi waktu dan muatan materinya kurang mendukung siswa untuk belajar sastra dengan baik. Sedangkan solusinya, masih menurut para pengamat, penyebab kegagalan tersebut harus diminimalkan dan harus mampu menciptakan suasana yang kondusif yang memungkinkan siswa untuk terlibat secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran.
Namun demikian, solusi itu belum sepenuhnya mampu diterapkan di lapangan secara praktis. Persoalannya rumit dan kompleks serta dihadang banyak kendala.
Salah satu solusi yang kini kembali ramai diperbincangkan adalah upaya membangun “otonomi” pembelajaran sastra di sekolah. Artinya, pelajaran sastra mestinya diperlakukan sebagai mata pelajaran yang utuh dan mandiri, terpisah dari mata pelajaran bahasa Indonesia. Dengan kata lain, status “nunut” yang kini disandang pembelajaran sastra harus ditingkatkan akreditasinya dengan status “mandiri”. Dengan demikian, meskipun sistem pembelajarannya masih mengacu pada kurikulum yang berlaku, sastra harus memiliki GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran) sendiri dan berhak menentukan nasibnya sendiri.
Mengapa satra harus menjadi mata pelajaran tersendiri? Bukanhkah sastra tak bisa dipisahkan dari bahasa sebagai medium ungkapnya?
Sebagai produk budaya, sastra memang menjadi mustahil tanpa kehadiran bahasa. Dakam menggeluti dunia kreativitasnya, seorang sastrawan pada hakikatnya tengah bermain-main dengan bahasa untuk mengekspresikan perasaan, pikiran, keyakinan, dan pandangan hidupnya. Bangunan estetika karya sastra sangat ditentukan oleh bangunan bahasa yang diolah dan direkayasa pengarangnya.
Akan tetapi, teks sastra kreatif yang telah dibangun dan diciptakan dengan susah payah oleh sastrawan itu akan menjadi tidak bermakna jika tidak ditindaklanjuti dengan upaya sosialisasi secara gencar kepada publik.
Beranjak dari sisi ini, asumsi bahwa sekolah merupakan ajang sosialisasi yang tepat untuk memperkenalkan karya sastra kepada para siswa memang cukup beralasan, sebab di balik tembok sekolah itulah jutaan anak bangsa tengah menuntut ilmu. Tentu saja, upaya sosialisasi itu harus dibarengi dengan terciptanya atmosfer pendidikan yang memungkinkan proses pembelajaran sastra berlangsung menarik didukung profesionalisme guru sastra yang andal dan gairah belajar siswa yang terus meningkat intensitasnya.
***
Kembali pada upaya membangun “otonomi” pembelajaran sastra di sekolah. Jika sastra diperlakukan sebagai mata pelajaran tersendiri, paling tidak ada dua keuntungan yang dapat diraih. Pertama, guru sastra bisa lebih berkonsentrasi pada mata pelajaran yang diampu sehingga terangsang untuk terus meningkatkanb profesionalismenya.
Jika kita melihat fakta di lapangan, diakui atau tidak, guru yang mahir mengajarkan bahasa Indonesia belum tentu tampil memikat saat mengajarkan sastra. Menyajika puisi, misalnya, selain ditunbtut menguasai materi ajar, guru juga harus mampu memberi contoh yang meikat dan sugestif saat membaca puisi. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan talenta yang cukup mengenai sastra. Dengan adanya spesialisasi, maka guru bahasa yang minat dan talentanya lebih condong ke sastra, dapat mengaktualisasikannya di tengah-tengah proses pembelajaran, sehingga siswa terangsang untuk mencintai dan menggeluti karya sastra
Kedua, beban berat pendidikan yang mengemban misi memanusiakan manusia akan menjadi lebih ringan, sebab lewat pembelajaran sastra itu pengetahuan budaya, cipta dan rasa, serta watak siswa akan lebih bisa berkembang. Dengan tutur lain, “otonomi” pembelajaran sastra akan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi dunia pendidikan.
***
Yang menjadi persoalan, di tengah-tengah kebijakan pembangunan nasional yang mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di era global, adakah kepedulian para pengambil keputusan untuk memosisikan sastra –sebagai bagian pendidikan humaniora—pada aras yang lebih terhormat?
Tahun-tahun di meilenium ketiga mendatang, disebut-sebut para futurolog –termasuk John Naisbitt dan Patricia Aburdene—akan diwarnai dengan ketatnya persaingan yang berimbas pada pergeseran dan perubahan tata nilai. Dalam kondisi demikian, para generasi bangsa yang kini tengah bersikutat menuntut ilmu di bangku pendidikan, mestinya harus lebih banyak mendapat sentuhan nilai moral, sehingga kelak mereka mampu bersaing secara arif dan sehat. Pembelajaran bidang humaniora, termasuk sastra, harus ditumbuhkembangkan di sekolah sebagai basis moral dan mental dalam memasuki era global itu.
Seandainya sastra benar-benar diperlakukan sebagai mata pelajaran tersendiri, jelas LPTK sebagai pencetak calon guru harus benar-benar “siap”. Artinya, jangan hanya menghasilkan lulusan “karbitan” yang tampaknya matang tetapi rasanya hambar, tetapi betul-betul lulusan yaang sudah matang diterjunkan di lapangan dengan taruhan profesi dan kualitas yang bisa diandalkan.
***
Namun, jika atmosfer pendidikan kita belum memungkinkan untuk menghembuskan “otonomi” pembelajaran sastra di sekolah, tugas ganda guru bahasa akan tetap berada di persimpangan jalan. Mereka yang kering mintanya terhadap sastra cenderung akan berusaha “menghindar” jika harus mengajarkan sastra, dan lebih suka mencekoki siswanya dengan materi kebahsaan. Seandainya “terpaksa” mengajarkan sastra, materi yang dijejalkan kepada siswa hanya kulit luarnya saja, tanpa ada upaya untuk memperkenalkan sastra lebih dekat. Sebaliknya, guru bahasa yang memiliki basis sastra yang kuat akan tampil menggebu saat mengajarkan sastra dan sering melalaikan tugasnya sebagai guru bahasa. Akibatnya, nilai bahasa siswa anjlog lantaran selama ini soal-soal ujian, baik ulangan umum maupun ujian, didominasi oleh sosal-soal yang berkaitan dengan materi kebahasaan.
Yang jelas, di segenap aspek kehidupan, tugas ganda yang dibebankan kepada seseorang sering tidak bisa berjalan secara mulus; ada salah satu yang dikorbankan. Kita mustahil menginginkan kondisi itu menimpa pelajaran bahasa dan sastra kita yang selama ini masih diampu oleh seorang guru. Beranjak dari premis di atas, bagaimana kalau “otonomi” pengajaran sastra di sekolah mulai dipikirkan? ***
Pingback: Benarkah Pelajar Kita “Rabun” Sastra? « JALUR LURUS
Pingback: Kang Sakri Weblog » Blog Archive » Benarkah Pelajar Kita Mengidap “Rabun” Sastra?
Salam kenal Dari Tottz, yang sedang menghimpun data tentang Metode mutakhir pembelajaran Sastra..
makasih banget….bantu tugas2Q nie.
Pingback: Catatan Sawali Tuhusetya