Di bulan September ini sebenarnya ada dua agenda penting dan bermakna dalam membangun sebuah peradaban yang lebih mulia dan bermartabat, yakni ibadah puasa dan aktivitas membaca. Ibadah puasa, seperti yang telah banyak ditulis oleh para pakar dan pemerhati masalah keagamaan, merupakan wahana yang tepat untuk menggembleng dan menyempurnakan diri menjadi insan kamil. Melalui puasa, kita mampu membangun kesalehan hidup, baik sosial maupun individu, bahkan juga mampu membangun kesalehan secara kaffah. Dalam kacamata sosial, ibadah puasa mampu membangkitkan solidaritas hidup terhadap kaum dhuaffa sekaligus meningkatkan kepekaan untuk ikut meringankan beban hidup sesama yang menderita. Secara individu, puasa mampu meningkatkan intenstitas interaksi dan komunikasi dengan Sang Pencipta melalui bahasa religi dan peribadatan sesuai dengan syarat dan rukunnya.
Lantas, bagaimana dengan aktivitas membaca? Ya, bulan September telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. *Sebuah kultur yang telah lama bernaung turba dalam pranata sosial masyarakat kita. Untuk membangun kebiasaan positif seringkali diawali dengan gerakan dan pencanangan, bahkan juga upacara-upacara. *
Mengenai manfaat membaca, saya kira, tak ada yang membantah lagi kalau aktivitas ini mampu menjadi wahana untuk membangun peradaban bangsa yang lebih terhormat dan bermartabat. Allah sendiri memosisikan aktivitas membaca sebagai wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah. Dalam QS Al-‘Alaq ([96]: 1-5), Allah berfirman yang artinya seperti berikut ini.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya” (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Betapa penting dan vitalnya aktivitas membaca ini dalam dinamika kehidupan umat manusia. Tidak berlebihan memang kalau pemerintah pun melakukan kebijakan literasi dengan memanfaatkan September sebagai Bulan Gemar Membaca. Namun, secara jujur harus diakui, kebijakan semacam itu belum diimbangi dengan langkah serius dan intensif dalam membudayakan aktivitas membaca. Harga buku masih terbilang mahal untuk ukuran rata-rata kantong masyarakat kita. Demikian juga rata-rata kondisi perpustakaan. Kondisi perpustakaan sekolah rata-rata lebih parah lagi. Sering dibiarkan terpuruk dan tak terurus.
“Membaca” Indonesia dalam budaya membaca seperti berhadapan dengan cermin buram. Kabur dan tidak jelas. Dalam pandangan ALFATHRI ADLIN, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat praliterasi yang dihantam oleh gelombang posliterasi (televisi, internet, handphone, dan sebagainya). Mentalitas praliterasi lebih didominasi tradisi lisan atau obrolan. Kelemahan masyarakat praliterasi adalah kecenderungannya memerhatikan efek atau aura dari suatu permasalahan. Hal ini dikarenakan mentalitas praliterasi cenderung tidak menumbuhkan kemampuan berjarak dari suatu fenomena, berefleksi terhadap pengalaman, serta menyusunnya secara sistematis. Manusia praliterasi cenderung reaktif dan spontan.
Persentuhan dengan berbagai media posliterasi tanpa arah malah menghasilkan sikap penggunaan teknologi canggih sebatas untuk ngobrol ngalor-ngidul. Kondisi semacam itu lebih problematis dengan masuknya gelombang posliterasi dalam bentuk negatif dan tidak produktif. Warnet dipenuhi mahasiswa yang kecanduan chatting. Telefon jadi media ngerumpi sinetron dan gosip artis oleh ibu rumah tangga. Handphone memunculkan kebiasaan baru berupa SMS parodi dan konyol (mungkin hanya di Indonesia terbit buku berisi SMS semacam itu dan laku keras). Bukan rak buku, lampu baca atau perpustakaan pribadi yang umumnya jadi pertimbangan masyarakat Indonesia dalam menata rumah, tapi ruang menonton keluarga dan letak televisi yang nyaman. Akibatnya, minat baca yang minim malah terjadi juga di masyarakat literasi Indonesia (yaitu, mereka yang bisa mengenyam pendidikan tinggi), ditambah pendidikan yang tidak inspiratif. Hal itu menyuburkan apresiasi dan cara berpikir yang dangkal.
Ironis! Persentuhan dan keakraban masyarakat kita terhadap produk-produk posliterasi bukannya menumbuhkan budaya yang positif, melainkan justru melahirkan budaya-budaya “purba” sekaligus mengembalikan naluri bangsa sebagai bangsa yang malas membaca.
Kondisi masyarakat kita yang semacam itu bisa jadi tak jauh berbeda seperti yang disinyalir oleh Emile Durkheim melalui istilah anomi-nya. Satu kaki masih kuat menancap pada akar-akar tradisi dengan berbagai ikon primordialismenya, tetapi kaki yang lain sudah menginjak pada akar-akar modernisasi dengan berbagai ikon globalismenya. Kondisi anomie, disadari atau tidak, telah melahirkan situasi “gegar budaya” yang menimbulkan imbas sejumlah ironi, ambigu, dan kebingungan- kebingungan. Produk-produk posliterasi yang seharusnya makin mengakrabkan masyarakat kita pada aktivitas membaca, tetapi justru melahirkan budaya baru yang makin jauh meninggalkan budaya literasi.
Problem mendasar yang dihadapi bangsa ini sebenarnya juga terletak pada faktor keteladanan. Di tengah-tengah masyarakat kita yang masih kuat nilai-nilai paternalistiknya, orang-orang yang berada di lapisan bawah cenderung akan melihat pada kultur dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di lapisan atasnya. Ketika orang-orang yang seharusnya menjadi anutan, orang tua, tokoh masyarakat, atau figur publik lainnya, malas membaca, jangan salahkan kalau orang-orang yang berada di lapisan bawah akan mengadopsi dan mengadaptasi kultur yang iliterate semacam itu. Demikian juga di bangku pendidikan. Bagaimana mungkin para murid memiliki kultur membaca yang baik kalau sang guru tidak mampu menunjukkan keteladanan gemar membaca buku. *Bahkan banyak guru yang dengan amat bangga dan merasa dirinya paling hebat kalau di kelas tidak membawa buku. Materi pelajaran sudah hafal di luar kepala.*
Budaya membaca juga sangat erat kaitannya dengan kultur sebuah generasi. Mengharapkan generasi sekarang agar menjadi teladan bagi anak cucunya dalam membudayakan gemar membaca agaknya juga sulit diharapkan kontribusinya. Keterpukauan terhadap produk posliterasi telah melahirkan budaya baru yang makin menjauhkan generasi masa kini untuk gemar membaca. Yang perlu dilakukan sekarang adalah melahirkan generasi baru yang dengan amat sadar menjadikan aktivitas membaca sebagai sebuah kebutuhan (bukan kewajiban).
Sudah amat lama stigma sebagai bangsa yang malas membaca menempel di dalam tubuh bangsa ini. Lahirnya banyak ketimpangan sosial, kebijakan yang salah prosedur, bahkan juga meruyaknya berbagai kebocoran anggaran, saya kira juga disebabkan oleh para pejabat dan elite negeri ini yang malas membaca. Entah sudah berapa kali hal-hal yang fatal terjadi akibat kelengahan kita yang malas membaca.
Ini menjadi PR kita semua untuk melakukan trik dan kiat jitu agar pada setiap lapisan dan lini masyarakat kita muncul budaya INDONESIA MEMBACA. Kita bayangkan pada setiap kelompok dan kerumunan muncul “komunitas membaca” sehingga –dengan bekal dan kemampuan membacanya itu– bisa ikut berkiprah dalam memecahkan berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsanya.
Semoga Ramadhan tahun ini bisa menjadi momentum yang baik dan tepat untuk melahirkan budaya membaca di tengah-tengah masyarakat kita. ***
Mungkin membaca yang bener2 membaca kondisinya jauh lebih buruk… Membaca dengan berpikir, memikirkan serta mengkritisi…
———–
Begitulah Pak Urip budaya membaca bangsa kita. Itu juga bisa dilihat bagaimana siswa didik kita sebagai generasi penerus memperlakukan sebuah buku. Ok, trims kunjungannya Pak Urip. Dah lama nggak nongol, sibuk kuliah, ya, Pak? Hehehehe …. 😀
betapa pak, kita bisa berkaca pada nasib perpustakaan di negeri ini, banyak yang dibiarkan merana…
*saya juga masih malas baca*
———————–
Ya, perlu ada keseriusan untuk mengurusnya.
*Mulai sekarang, “paksakan” dong, hehehehehe :D*
maaf kalo rada OOT
jika september adalah bulan membaca
trus oktober sebagai bulan bahasa?
salah ya, pak?
saya juga lagi menggalakkan membaca lagi buat diri saya
skalian mengisi waktu saat berpuasa 😀
——————
Nggak salah, Bung! Memang benar tuh.
OK, Bung, selamat menjalankan ibadah puasa sambil membangun tradisi membaca, hehehehe 😀
Tes komen dulu ah…
Dikenai akismet gak ya? 😕
——————–
Dah OK banget Bung!
Mungkin membaca yang bener2 membaca kondisinya jauh lebih buruk… Membaca dengan berpikir, memikirkan serta mengkritisi…
———–
Begitulah Pak Urip budaya membaca bangsa kita. Itu juga bisa dilihat bagaimana siswa didik kita sebagai generasi penerus memperlakukan sebuah buku. Ok, trims kunjungannya Pak Urip. Dah lama nggak nongol, sibuk kuliah, ya, Pak? Hehehehe …. 😀
Wah pak Sawali kali ini saya nggak bisa berkomentar, saya hanya prihatin dan sedih sekali melihat perpustakaan2 sekolah kita kalau seperti di atas. Bagaimana anak2 didik tersebut bisa maju, kalau buku2nya tak terurus seperti itu. Tetapi mungkin koleksi2 bukunya lumayan ya? Hanya mungkin manajemennya yang berantakan. Mungkin mereka-mereka yang menangani perpustakaan2 itu adalah orang2 yang tidak begitu suka atau tidak begitu bisa menghargai buku, sehingga terbengkalai seperti itu. 🙁
—————-
Itu kondisi riil rata-rata perpustakaan sekolah di negeri kita. Koleksi buku memang banyak, tapi sayangnya nggak ada yang bisa mengurus.
Kini, pemerintah tampaknya akan membidik orang-orang yang punya latar belakang pendidikan perpustakaan untuk mengelolanya. Ide bagus tuh, asalkan betul2 serius.
betapa pak, kita bisa berkaca pada nasib perpustakaan di negeri ini, banyak yang dibiarkan merana…
*saya juga masih malas baca*
———————–
Ya, perlu ada keseriusan untuk mengurusnya.
*Mulai sekarang, "paksakan" dong, hehehehehe :D*
maaf kalo rada OOT
jika september adalah bulan membaca
trus oktober sebagai bulan bahasa?
salah ya, pak?
saya juga lagi menggalakkan membaca lagi buat diri saya
skalian mengisi waktu saat berpuasa 😀
——————
Nggak salah, Bung! Memang benar tuh.
OK, Bung, selamat menjalankan ibadah puasa sambil membangun tradisi membaca, hehehehe 😀
Gambar rak buku itu di perpustakaan mana,pak ?
Sangat memprihatikan sekali kondisinya.
Apalah arti sebuah buku kalau ia di letakkan begitu saja.
Tak lebih hanyalah kumpulan-kumpulan kertas yang tidak berguna. Apalagi koran ya ,pak. Bayangin saja , tulisan kita di muat di situ. Kalau di baca syukur , tapi kalau di jadiin alas duduk atau di injak-ijak, terus di berakin sama meong yang lewat , hik hik hik. Menyedihakan ya, pak.
——————
Hehehehe, gambar kuambil dari perpustakaan sekolah tempat saya mengajar, Mbak. Saya pun nggak bisa berkutik menyaksikan kondisi perpustakaan sekolah karena masih harus banyak berdiskusi dengan kepala sekolah dan teman2 guru yang lain.
Hahahaha 😀 betul sekali tuh, Mbak. Kita payah2 menulis, e e e e e setelah dimuat di koran seolah2 dah nggak ada artinya. Itulah kalau kondisi masyarakat kita masih iliterate.
Tes komen dulu ah…
Dikenai akismet gak ya? 😕
——————–
Dah OK banget Bung!
Semua orang (Muslim) yang malas membaca … adalah pendusta agama … tahu kenapa Allah SWT menurunkan ayat pertama … iqra’, iqra’, iqra’ ? Pasti bukan agar malas benca toh.
Tingkat dua: Kalau umat (Muslim) ditugaskan membaca tentu tersirat kewajiban menulis … ingat Nabi Muhammad SAW menyuruh sahabat menulis di tulang, batu, lontar, ect. Jadi, bila malas membaca dan menulis adalah …. (saya ngak berani ngisi he … he …)
Tingkat tiga: Mereka-mereka yang malas menfasilitasi dan mengeluh, mengeluh, dan mengeluh … perihal orang tidak membaca dan menulis … adalah …
Bagimana menurut Sampeyan?
———————–
Nah, titik2nya itu yang bisa menimbulkan banyak tafsir, hehehehe 😀 Yang pasti, setuju banget, kawan, membaca dan menulis ibarat dua sisi mata uang, kurang lebih begitu, hehehe 😀
Maaf itu komentar Ersis … saya lagi buatkan beberapa blog teman2 e … rupanya belum logout … tertulislah ratnayuwinda … maaf ya, mau Ramadhan lagi
——————
Oh, makasih, Pak Ersis. Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga makin mendekatkan kita pada-Nya, amiin.
Wah kebetulan pas banget ya tahun ini, bulan puasa bertepatan dengan bulan membaca.
Dulu, semasa saya kecil, untuk menungggu waktu berbuka, temen-temen banyak yang main-main (tak berguna). Banyak yang main catur (ada gunanya engga ya?). Ada yang jalan-jalan ke sana kemari ga jelas. Aneh! JArang sekali ada yang menunggu waktu berbuka itu diisi dengan membaca (buku).
Kalau orang-orang tua, banyaknya baca Qur’an.
KAlau saya? Hahaha….. ngapain ya?
Oh, iya. Rak perpustakaannya ada yang penuh, ada juga yag kosong ya, Pak? (Kalau yang kosong, apakah berarti banyak yang meminjam?).
Biasanya rak buku di perpustakaan itu penuh (karena ga ada yang minjam, ga ada yang baca). Hehehe… 😀
Bernaung turba itu apa, Pak? 😀
————————–
Ok, Pa Al-Jupri, ramadhan akan lebih banyak mendatangkan pahala jika kita isi dengan banyak membaca, lebih2 membaca al-Quran. OK, Pak, selamat menunaikan ibadah puasa di negeri orang, Pak.
Jika rak buku kosong bukan berarti bukunya dipinjam, hehehe 😀 Mungkin lantaran nggak ada bukunya. Hehehehe 😀
Bernaung turba = mendarah daging
Sepertinya kondisi perpus sekolah itu mewakili sekolah lain pada umumnya. Tapi saya yakin sih pasti banyak juga sekolah yang punya perpus yang bagus dengan koleksi buku-buku terbaru. Perpus di sekolah saya juga tidak jauh berbeda kondisinya dengan di atas. Walopun masih lebih baik karena lebih rapi dan terawat. Tapi sayang koleksi bukunya tidak banyak.
—————–
Begitulah, Bu Enggar, rata2 kondisi perpusatakaan sekolah negeri ini kurang terurus. Selain memang belum punya kemauan “politik” untuk peduli perpustakaan, juga karena masih banyak yang memandang perpustakaan hanya dengan sebelah mata, hehehehe
Betul, saya setuju dengan pendapat Alfathri dan Durkheim.
Kita memang masih masyarakat praliterasi dan tradisional. Tapi yang saya sorot, membaca bukanlah tradisi modern. Tradisi praliterasi dan tradisional adalah masyarakat yang akrab dengan melihat dan menonton. Selain penjelasan-penjelasan metafisik.
Ketika tradisi membaca seharusnya masuk mengisi transisi ke arah masyarakat modern, justru tradisi membaca itu tidak berakar dengan kuat di negeri ini, terlebih lagi dalam dunia pendidikan. Sementara pendidikan bertanggung jawab besar terhadap transisi itu.
Ketika modernitas masuk, maka tradisi membaca dilupakan. Tradisi menonton dan ngobrol menjadi sarana baru dalam postliterasi, sementara masyarakatnya masih tradisional/praliterasi.
“Ruang” membaca seharusnya memang lebih nyaman dan enak daripada “ruang” menonton. 🙂 Saya termasuk orang yang jarang nonton, pak. apalagi nonton tv 🙂 hanya sekali seminggu nonton film lewat DVD, sementara sisanya, membaca dan menulis.
oiya, setelah tradisi membaca berakar, barulah dimulai tradisi menulis.
*selamat puasa, pak…*
——————–
OK, Bung Fertob, setuju banget dengan komen Sampeyan, hehehe 😀 Kondisi gegar budaya tampaknya memang tengah melanda masyarakat kita ketika dalam kondisi praliterasi tiba2 muncul produk2 posliterasi, tapi tidak mengakrabkan mereka pada budaya membaca, tetapi justru melahirkan budaya baru dengan memanfaatkan produk2 posliterasi itu. Makin jauh masyarakat kita dari budaya literasi, apalagi menulis.
OK, makasih, Bung, selamat menunaikan ibadah puasa juga.
Bagaimana membaca bisa menjadi suatu budaya (apalagi kebutuhan), lha membaca sebagai suatu bentuk keterpaksaan saja sepertinya belum tercapai.
———————
Hehehehe Betul sekali tuh, Pakde King. Dipaksa aja nggak mau, apalagi menciptakan budaya membaca sendiri. Ironis, ya?
Maaf itu komentar Ersis … saya lagi buatkan beberapa blog teman2 e … rupanya belum logout … tertulislah ratnayuwinda … maaf ya, mau Ramadhan lagi
——————
Oh, makasih, Pak Ersis. Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga makin mendekatkan kita pada-Nya, amiin.
Sepertinya kondisi perpus sekolah itu mewakili sekolah lain pada umumnya. Tapi saya yakin sih pasti banyak juga sekolah yang punya perpus yang bagus dengan koleksi buku-buku terbaru. Perpus di sekolah saya juga tidak jauh berbeda kondisinya dengan di atas. Walopun masih lebih baik karena lebih rapi dan terawat. Tapi sayang koleksi bukunya tidak banyak.
—————–
Begitulah, Bu Enggar, rata2 kondisi perpusatakaan sekolah negeri ini kurang terurus. Selain memang belum punya kemauan "politik" untuk peduli perpustakaan, juga karena masih banyak yang memandang perpustakaan hanya dengan sebelah mata, hehehehe
Saya juga prihatin, kok kebiasaan membaca tidak membudaya di kalangan masyarakat kita. Saya termasuk orang yang agak malas membaca. Hanya bacaan-bacaan yang berkaitan dengan pekerjaan saja yang saya baca, itupun menunggu waktu luang. Sementara bacaan-bacaan lain rasanya kok enggan membacanya. Mungkin karena lingkungan juga tidak mendukung budaya ini ya. Apalagi dengan adanya TV, sepertinya berat sekali untuk membaca. Ada yang punya kiat-kiat tertentu untuk membiasakan membaca?
——————–
Nah, itulah, Pak, kalau kondisi praliterasi itu tidak beranjak ke budaya literasi yang bagus, bagaimana mungkin bangsa kita menjadi bangsa yang cerdas, hehehehe Perlu ada kemauan politik dari beberapa komponen bangsa untuk menjadikan aktivitas membaca sebagai budaya baru di tengah2 masyarakat kita. OK, makasih, pak, kunjungannya. Selamat menunaikan ibadah puasa.
Bagaimana membaca bisa menjadi suatu budaya (apalagi kebutuhan), lha membaca sebagai suatu bentuk keterpaksaan saja sepertinya belum tercapai.
———————
Hehehehe Betul sekali tuh, Pakde King. Dipaksa aja nggak mau, apalagi menciptakan budaya membaca sendiri. Ironis, ya?
aslkm..
wah wah..sudah memang budaya kita yang pemalas, inginnya serba instan ditambah dengan perpustakaan yang seperti itu yang membuat suasana tidak kondusif untuk membaca,,gmn nasib adek2 saya yaaah yang perjuangan lebih jauh dari pada saya,,hmmm,,,wallahualam..
membiasakan kepada anak2 membaca sedari dini itu lebih baik..ditaman kanak2 sekarang kebanyakan hanya bermain yang tidak jelas..berbeda dengan pendidikan diluar dmn anak2 sedari kecil sudah ditanamkan motif untuk selalu berprestasi,,,
wassalam..
Wa’alaikum salam, OM
Ya, begitulah budaya literasi di negeri kita, OM, masih amburadul.
aslkm..
wah wah..sudah memang budaya kita yang pemalas, inginnya serba instan ditambah dengan perpustakaan yang seperti itu yang membuat suasana tidak kondusif untuk membaca,,gmn nasib adek2 saya yaaah yang perjuangan lebih jauh dari pada saya,,hmmm,,,wallahualam..
membiasakan kepada anak2 membaca sedari dini itu lebih baik..ditaman kanak2 sekarang kebanyakan hanya bermain yang tidak jelas..berbeda dengan pendidikan diluar dmn anak2 sedari kecil sudah ditanamkan motif untuk selalu berprestasi,,,
wassalam..
Wa'alaikum salam, OM
Ya, begitulah budaya literasi di negeri kita, OM, masih amburadul.
Hey!…Man i love reading your blog, interesting posts ! it was a great Friday
Thank you for your attention, Sir.
Pingback: Blog Guru « JALUR LURUS
Pingback: Blog Guru | Catatan Sawali Tuhusetya
Pak, akhir-akhir ini, saya lebih seneng mbaca dari internet ketimbang buku. Gimana menurut Bapak?
Membaca itu sebenarnya keharusan atau kebutuhan untuk seorang guru…
aktivitas membaca sebenarnya bukan hanya membaca dan mengartikan sebuah tulisan, tapi bagi saya pribadi makna membaca merupakan suatu bentuk daya dan upaya seseorang dalam memahami sebuah objek menurut pandangan dan analisanya sendiri…misalnya saja membaca karakter dari pada para siswa yang sering dilakukan oleh para guru, adalah aktivitas dari proses membaca..
jadi,membaca tersebut sangat erat kaitannya dengan objek bacaan..
Ziza br tahu dari bpak kalaw Indonesia ntuh pra dan posliterasi.
JauH…bangET,dari hoby membAcA.
Tp, ziza muLai suka membcA skrg. Krn, kenal & suka ngobrol ma tmn yg hoby-nya membACa.
SetuJU…membaca BISA koq, jd kebiasaan baru…asalkan MAU… 🙂
wasaLam