Televisi dan Pesta Demokrasi

pemiluPesta demokrasi untuk memilih calon wakil rakyat memang telah usai 9 April 2009 yang lalu. Namun, gaungnya masih sangat terasa menggetarkan. Bahkan, tensinya makin meninggi, terutama bagi caleg yang sudah jauh-jauh hari mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan menguras kocek. Masih mending bagi caleg yang mengeluarkan modal dari kantong sendiri. Namun, bagaimana halnya dengan mereka yang sudah jelas-jelas gagal mengais suara rakyat, tapi masih harus memikirkan hutang sana, serobot sini? Duh, saya bukan bermaksud menghilangkan sikap empati dari ruang batin saya terhadap caleg yang gagal itu. Bagaimanapun juga, langkah dan ambisi mereka untuk bisa jadi wakil rakyat layak untuk dihargai. Setidaknya, mereka sudah berusaha berbuat yang terbaik menurut ukuran kaca matanya sendiri.

Sementara itu, dari ruang publik yang lain, ada suasana yang tak kalah menarik. Politik agaknya masih menjadi dunia yang memiliki daya pikat. Lihat saja para pengelola stasiun TV. Pascapemilu justru menjadi “syurga” buat mereka. Mengundang politisi dan pengamat untuk saling beradu argumen. Tak jarang, mereka mendadak berubah jadi “supranatural” untuk menerawang dinamika politik ke depan, terutama menjelang Pemilihan RI I dan II.

Menyajikan “sensasi” politik kontemporer agaknya memang menjadi menu pilihan bagi pengelola layar gelas itu. Maklum, dunia politik memang selalu menjanjikan banyak kejutan. Di balik kejutan, seringkali menghadirkan kisah-kisah dan narasi baru yang serba penuh improvisasi. Politik juga harus diakui telah mengalahkan nalar ilmiah. Hipotesis-hipotesis para pengamat yang dirumuskan dari variabel ke variabel seringkali mesti tunduk oleh kenyataan politik yang serba “sensasional” itu. Lihat saja hegemoni partai berlambang pohon beringin atau kepala banteng mencereng yang demikian kuat selama ini. Dua parpol yang diprediksi tetap menjadi pemegang hegemoni kekuasaan, ternyata –menurut hasil quick count dan penghitungan suara manual sementara– harus mengikuti alur kenyataan politik yang tengah terjadi. Demikian juga halnya dengan figur yang selama ini digadang-gadang menjadi calon kuat RI I. Berdasarkan kalkulasi politik riil, agaknya mereka harus mengakui kalau pamornya tak secerah seperti dugaan sebelumnya.

Situasi politik yang sulit diprediksi, jelas menjadi santapan manis buat pengelola stasiun TV. Mereka jelas akan selalu berharap munculnya kejutan dan sensasi baru. Dengan situasi seperti itu, mereka tak akan kehabisan menu tayangan yang dianggap mampu menghipnotis ruang publik. Entah sampai kapan! ***

11 Comments

  1. Aku males nonton TV.
    Isine mbahas perolehan suara, sesuatu yg nggak begitu ada pengaruhnya buat saya.

    Baca juga tulisan terbaru marsudiyanto berjudul Inspirasi

  2. Itulah kenyataan yang ada sekarang Pa’…
    Dimana kekuasaan sedang diperebutkan oleh kaum Borju…
    Pastaslah stasiun TV tersenyum lebar, karena memang momen ini rejeki nomplok.. :mrgreen:

  3. prasaan sekarang banyak banget pakar yah mas
    klo dulu kan masih sedikit
    paling-paling pak ali wardhana, ali sostroamidjojo, radius prawiro dll..
    apa itu tanda-tanda indonesia makin maju??
    klo Indonesia makin maju, harusnya kita lebih baik dunkkk
    ntahlah…
    *ngawur aja, sambil ngantuk karena efek begadang*

    Baca juga tulisan terbaru Nyante Aza Lae berjudul Sugesti dan Kultus

  4. 🙄 wah kalau yang jadi celeg kalah pasti sedih dan deg-degan akan tetapi yang menang tambah senang tapi bosen juga pak setiap berita mbahas nya kaya gitu teruss

    Baca juga tulisan terbaru Komandan berjudul Budaya

  5. pemberitaan yang luar biasa berlebihan, sampai berita Ujian Nasional seperti tak ada tempat sedikitpun.

  6. mau tak mau, saya harus mengakui bahwa tontonan televisi jadi lebih “hidup” dengan berita politik kini yang boleh dikatakan sehat, pak sawali. kalau tega melirik lagi ke belakang, mana pernah kita alami pesta politik semeriah dan setidakterduga seperti ini dalam era sebelumnya, di saat penguasa sebuah orde dengan golongan berlambang beringinnya lagi-lagi “memenangkan” perolehan suara sebagai mayoritas tunggal.

    memang yang namanya televisi, pasti tetap memikirkan rating dalam memilih tayangan. dan momen sebesar ini tentunya harus dimanfaatkan secara maksimal oleh mereka untuk mendulang laba toh?

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul Belajar Sepanjang Hayat

  7. Yang repot kalau yang tadinya punya jargon sebagai tv berita terdepan, kini rasa-rasanya lebih condong pada partai tertentu, apalagi kalau bukan karena pemiliknya.

    Pelanggaran partai lain melulu ditampilkan, tapi tidak pada partai yang dimaksud tersebut.

    TV seperti itu patut ditinggalkan.

    Baca juga tulisan terbaru Daniel Mahendra berjudul Surat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *