Umar Kayam, sosiolog, novelis, cerpenis, budayawan, meninggal dunia di MMC Jakarta, hari Sabtu (16/3) kemarin pukul 07.45. Tutup usia pada usia 70 tahun (almarhum dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932), Umar Kayam sudah dirawat di rumah sakit itu sejak sekitar dua pekan lalu ketika dia dilarikan ke situ karena terjatuh dan mengalami patah tulang pangkal paha kiri.
Sehari sebelum meninggal, Umar Kayam menjalani operasi usus. Almarhum meninggalkan seorang istri, Roosliana Hanoum, dua putri, Sita Aripurnami dan Wulan Anggraini, serta empat cucu. Jenazah Umar Kayam dimakamkan di TPU Karet kemarin siang, dengan mendapat perhatian penuh dari para seniman, kalangan media massa, dan lain-lain.
Dengan meninggalnya Umar Kayam, kalangan seniman, ilmuwan, budayawan di Indonesia kehilangan seorang manusia “multidimensi”, yang selain jabatannya sebagai Guru Besar Sastra Universitas Gadjah Mada (1978-1997) juga pernah antara lain menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Radio, Televisi, Film Departemen Penerangan (1966-1969) serta Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972),
“Mas Kayam seperti kakak saya, malah mungkin lebih dari kakak,” ucap Goenawan Mohamad, salah satu pemikir kebudayaan terpenting saat ini, yang kemarin menyertai jenazah Umar Kayam di mobil ambulans dari rumah sakit menuju rumah duka di bilangan Cipinang, Jakarta Timur. “Waktu itu saya baru pulang dari Eropa dan Orba baru mulai,” kenang Goenawan akan persahabatannya dengan Umar Kayam. “Teman-teman waktu itu menceritakan, Dirjen RTF yang baru itu luar biasa karena biasa bergaul dengan seniman, suka naik motor, malah suka membonceng sekuter Ras Siregar,” cerita Goenawan yang sering kali terdiam, menahan perasaannya.
Umar Kayam, menurut Goenawan, selalu penuh semangat pembaharuan di mana pun dia bertugas. Sebagai Dirjen RTF, menurut Goenawan, dia melakukan perubahan besar khususnya dalam infrastruktur film Indonesia. “Sehabis Orde Lama perfilman hancur. Film Barat tidak boleh masuk, yang masuk film-film sosialis yang tidak disukai orang waktu itu. Akibatnya bioskop juga mati,” ucap Goenawan.
Dalam situasi seperti itu, Umar Kayam datang dengan beberapa gagasan, antara lain Indonesia harus memproduksi dua jenis film, yang populer tetapi laku dan film bermutu tetapi kurang laku. Waktu itu Umar Kayam membentuk DPFN (Dewan Pertimbangan Film Nasional) dan mengumpulkan dana yang, kata Goenawan, mencapai sekitar Rp 30 juta. “Dana itu digunakan untuk memproduksi film nasional yang populer, tetapi laku,” kata Goenawan.
Memberi warna
Tentang Umar Kayam yang selalu memberi warna pada lingkungan di mana dia berkiprah, itu hampir diakui banyak orang. Sebagaimana Goenawan, koreografer Sardono Waluyo Kusumo menyebut keberhasilan Kayam membuka “platform-platform” baru sekaligus menjadi pamong, sehingga kesenian dan seniman menjadi tidak eksklusif.
Ini barangkali yang masih dikenang oleh banyak orang dengan situasi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM) saat Umar Kayam menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Dalam bahasa Goenawan, Umar Kayam menjungkirbalikkan premis kesenian adiluhung.
“Waktu itu Koes Plus boleh masuk TIM, dan seluruh bentuk seni boleh masuk TIM. Tidak hanya seni adiluhung saja,” kata Goenawan.
Sementara Sardono yang pada masa itu muncul dengan karyanya yang menggegerkan, Samgita Pancasona, mengatakan, “TIM saat itu memiliki beban modernis, semangat para senimannya adalah menjadi individualis. Mas Kayam memiliki visi bahwa TIM bukan hanya untuk kalangan seniman thok. Ia memiliki pendekatan yang lebih pluralistik terhadap kesenian yang ada.”
Menurut Sardono, sebagai “guru bangsa” Umar Kayam dengan visinya telah menempatkan seni dalam konteks budaya, bukan hanya untuk kalangan seniman melainkan dalam konteks masyarakatnya. “Ia bukan hanya menempatkan seni sebagai wacana konseptual, ia juga seorang ahli sosiologi, seniman, novelis, dengan karyanya Sri Sumarah dan Bawuk yang mengharukan. Ia juga berhasil membuat sistem,” ucap Sardono.
Ulang-alik
Dalam dunia penciptaan karya itu, Umar Kayam dengan karya-karyanya yang menonjol seperti Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Sri Sumarah, Bawuk, serta novelnya yang terakhir yakni Para Priyayi, sebenarnya menunjukkan bagaimana intervensi disiplin sosiologi berikut premis-premis sosiologinya dioperasikan dalam cerpen ataupun novel.
Siapa saja yang mengikuti gagasan-gagasan Umar Kayam, akan akrab dengan tesisnya mengenai proses kebudayaan yang digambarkan seperti sebuah proses ulang-alik. Hal itu masih ditegaskannya lagi dalam percakapan dengan Kompas tahun 1996.
“Saya mempunyai semacam tesis bahwa kebudayaan itu bukan barang yang sekali jadi tetapi suatu proses, suatu dialektika, dan terpulang pada unsur-unsur dialektiknya itu,” kata Umar Kayam dalam wawancara dengan Kompas waktu itu. Katanya, itu yang akan memberi sosok sementara kebudayaan, termasuk juga kesenian.
Prof Dr Selo Soemardjan, Ketua Yayasan Ilmu-ilmu Sosial menyebut, banyak sekali dosen universitas yang dilatih oleh almarhum tentang penelitian ilmu-ilmu sosial dan bagaimana mengenal masyarakatnya. “Bila berbicara sosiologi, dia bukan bicara dari buku tetapi dari masyarakat yang sesungguhnya yang benar-benar ada. Ini sumbangan yang berharga sekali,” kata Selo.
Di Karet
Kalau mau lebih jelas melihat bagaimana seluruh premis mengenai proses ulang-alik kebudayaan itu pada Umar Kayam, barangkali bisa disimak cerpen Umar Kayam yang dimuat di harian ini, 24 Desember 2000 berjudul Lebaran di Karet, di Karet. Tokoh pencerita di situ yang hidup sendirian di hari tuanya karena istrinya telah meninggal dan anak-anaknya semua tersebar di luar negeri, pada hari Lebaran membuat semacam refleksi bagaimana dia menghayati perubahan yang terjadi pada anak-anaknya yang kosmopolit, sementara dia dalam tradisi (Jawa) lamanya.
i situ diceritakan bagaimana anaknya minta izin tidak bisa pulang Lebaran, karena ada janji main ski di Alpen, yang lain lagi masih magang di IBM di New York, dan seterusnya. Ia menutup cerpennya dengan kalimat: “Dengan tegas berhenti sebentar kemudian membanting stirnya ke arah jurusan kiri. Ke Karet, ke Karet-tidak ke Jeruk Purut ke tempat Rani, melainkan ke Karet, ke Karet… Rani pasti setuju dan senang.”
Kini, Pak Kayam benar-benar telah berbaring di Karet.
Minggu, 17 Maret 2002
Di Karet, di Karet, Liburanku YAD
Oleh Bakdi Soemanto
LIMA hari sebelum Umar Kayam meninggal, saya menengoknya di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Tatkala ia kemudian mengenali saya, pertanyaan-pertanyaannya masih sama dengan tatkala dia sehat, misalnya, sudah lama saya tidak nongol ke mana saja, bagaimana kabar teman-teman, keluarga, dan yang semacam itu. Pertanyaan semacam itu juga dikemukakan tatkala tahun lalu ia harus menjalani operasi wasir yang, katanya, luar biasa sakit itu.
Umar Kayam sudah lama menderita beberapa penyakit. Di samping pembengkakan jantung, gula darah, juga gangguan semacam tremor sejak remaja, yang membuatnya sulit menulis dengan tangan. Akan tetapi, penderitaan itu dihadapinya dengan gagah, rileks, sangat rileks, bahkan dengan humor. Tatkala dokter menemukan pertama kali bahwa gula darahnya sangat tinggi, 900 miligram per desiliter, dan ia harus diet cukup ketat, ia mengatakan bahwa ia sebenarnya harus ganti nama menjadi Raden Haryo Jipang. Sebab, makanan yang boleh ia makan hanya jipang, semacam buah untuk membuat lodeh.
Sikap rileks itu juga tampak tatkala ia sedang dirawat di rumah sakit. Makanan di rumah sakit hebat, tetapi, tentu saja, tidak ada rasanya. Karena Umar Kayam sangat menikmati makanan lezat. Makanan di rumah sakit, seperti dikatakannya sendiri, sangat menyiksa lidahnya. Untuk mengatasinya, tatkala mulai makan, ia membayangkan bahwa sedang menikmati sepiring steak bison, yang sering ia ceritakan kalau ia baru tiba di Jogja dari Jakarta.
Tampaknya, sikap rileks dan penuh humor itu bertitik tolak dari dasar pandangan hidupnya, ialah rasa ikhlas. Jelasnya, betapapun ia menginginkan sesuatu, jika memang tidak bisa dicapai, ia melepaskannya tanpa dengan ringan. Sejauh saya mengenalnya sejak dua puluh tahun lalu, Umar Kayam adalah orang yang hampir tanpa beban. Jika ia merasa bersalah kepada seseorang, betapapun orang itu hanya cantrik-cantriknya, ia tidak segan-segan minta maaf dengan tulus. Kesan seperti ini sering juga dikemukakan oleh Butet Kertaradjasa, raja monolog itu, Djaduk Ferianto, musikus ultramodern, dan bahkan Pak Narto, seorang pemain sitar yang sering ngamen di rumahnya.
Akan tetapi, Umar Kayam adalah juga seorang yang gigih memegang prinsip. Jika ia melihat satu tindakan tidak benar, tidak etis, kurang manusiawi, tidak adil, ia tidak segan-segan melawannya. Dengan tegas ia menolak memberi persetujuan tatkala Ginandjar Kartasasmita akan dianugerahi gelar Doktor Honoriscausa. Prof Siti Baroroh Baried almarhum mengatakan bahwa Umar Kayam senantiasa ingin meluruskan yang bengkok. Oleh karena itu, di balik ketenarannya, Umar Kayam banyak menghadapi tantangan. Tantangan itu bukan saja yang berkaitan dengan masalah besar, termasuk pakaian seragam para dosen pada era Orde Baru, tetapi juga yang muncul karena kolomnya yang selalu muncul pada hari Selasa di harian Kedaulatan Rakyat.
Walaupun kolom itu lebih banyak bersifat glenyengan, akan tetapi di sana banyak sekali sindiran dan ledekan. Tidak mengherankan bahwa ia sering sekali menerima surat anonim yang kadang-kadang bahkan menakutkan. Menghadapi surat-surat semacam itu, Kayam hanya tersenyum. Ia menggumam bahwa negeri ini aneh betul, diajak tertawa atau tersenyum saja sulitnya bukan main.
Ledekan adalah salah satu kekuatan Umar Kayam menyampaikan misi humanisnya, baik lewat tulisan maupun ceramahnya. Kekuatannya yang lain adalah kemampuannya memandang suatu jagat besar pada suatu soal yang kecil. Ia selalu mencoba melihat sintesa dari berbagai masalah yang penuh konflik.
Mungkin, walaupun ia sangat kritis terhadap gagasan-gagasan besar Soekarno, sekaligus ia juga mengaguminya. Ia bahkan kadang-kadang menunjukkan perilaku yang mirip, misalnya tatkala bertanya kepada cantrik-cantriknya apakah sudah makan. Saya menduga, kekaguman Kayam kepada Soekarno adalah pandangannya yang, dalam beberapa aspek, cukup liberal dan kemampuannya menyatukan ribuan pulau yang tersebar di wilayah Nusantara. Kedekatannya dengan Dr Soedjatmoko tampak juga apabila sedang berbicara dengan teman-temannya di Jogja. Ia selalu mengajak agar teman-teman belajar memandang suatu masalah dengan skala besar. Jika pandangan orang terlalu jlimet, ia akan segera ketinggalan zaman.
Kekayaan lain yang ditinggalkan oleh Umar Kayam adalah kemampuannya mendudukkan masalah pada proporsinya. Setiap masalah harus didudukkan lebih dahulu pada posisi mana. Dengan demikian, persoalan menjadi jelas walaupun pemecahannya belum tentu menjadi lebih mudah.
Umar Kayam adalah seorang Guru Besar yang banyak diburu kandidat doktor untuk meminta bimbingan. Kadang-kadang, cara membimbingnya sangat unik. Ia membiarkan kandidat itu bergulat sendiri baru kemudian, jika tertumbuk kemacetan, ia memancingnya. Kadang-kadang malah meledeknya. Akan tetapi, pada saat ujian, ia membelanya di depan para penguji. Ia tidak menggubris dengan soal-soal kecil: ejaan, titik koma, kalimat yang gramatikanya tidak beres, dan yang semacam itu. Dikatakannya secara meledek bahwa titik koma adalah urusan tukang ketik, bukan urusan calon doktor. Itulah yang menjadikan kandidat bersemangat.
Umar Kayam memandang bahwa negeri ini sebagai “salah kedaden”. Ia tidak lagi bisa mempercayai kaum politikus juga pejabat-pejabat. Sebaliknya, ia tidak setuju dengan adanya revolusi. Kemudian, harus bagaimana? Sebenarnya, jawaban itu kemungkinan besar masih disimpan di dalam benaknya, yang akan dituang di dalam antimemoir untuk menyambut ulang tahunnya yang ketujuh puluh pada 30 April 2002 nanti. Sayang, memoir itu tidak sempat ditulisnya. Namun, saya yakin, Umar Kayam ikhlas melepaskannya sebagaimana berbagai kekecewaan yang pernah ia alami semasa hidupnya.
Sekarang Umar Kayam sudah istirahat di Karet, di makam itu pula Chairil Anwar dikuburkan. Ia sudah membayangkannya sejak dua tahun yang lalu dalam cerita pendeknya yang berjudul Lebaran di Karet, di Karet.
Umar Kayam yang rileks dan penuh humor, tetapi gagasannya cemerlang akan terus dikenang sebagai inspirasi dan bahan diskusi yang tidak habis-habisnya.
Nama: Umar Kayam
Lahir: Ngawi, 30 April 1932
Meninggal: Jakarta, 16 Maret 2002
(Tokoh Indonesia, Repro Kompas)
Novel Para Priyayi bukan novel terakhir Umar Kayam, karena masih ada novel Jalan Menikung uang merupakan kelanjutan Para Priyayi…
Baca juga tulisan terbaru joe berjudul Sengkon dan Karta, Sebuah Ironi Keadilan