Para Elite Negeri Sibuk Berkoalisi, Pendidikan Terabaikan

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Hardiknas, 2 Mei tahun ini, cenderung sepi. Hampir tak terdengar pernyataan elite negeri yang berupaya melakukan refleksi terhadap persoalan-persoalan urgen dan krusial tentang ranah pendidikan. Tenaga, waktu, dan pikiran mereka agaknya banyak yang tersedot untuk menguras “libido” politik pasca-Pileg (Pemilu Legislatif). Yang lebih banyak disorot media adalah wajah-wajah cemas dan khawatir para politisi yang tengah berpikir keras menanam “investasi politik” demi mendapatkan remahan kue kekuasaan. Bisa dimaklumi kalau pada akhirnya ranah pendidikan jadi terabaikan.

Padahal, sesungguhnya banyak persoalan dunia pendidikan yang urgen dan krusial untuk segera ditangani. UN, sertifikasi pendidik, UU BHP, atau sekolah gratis, misalnya, merupakan beberapa contoh persoalan yang perlu segera direspon secara masif. Bisa jadi benar, pendidikan di negeri ini belum menjadi “panglima”. Dunia politik agaknya masih memiliki daya pikat dahsyat bagaikan magnet raksasa.

Ya, ya, ya, pendidikan dan politik memang ranah yang berbeda. Hakikat pendidikan adalah sebagai media pembebas untuk memerdekakan umat manusia dari belenggu kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Pendidikan yang baik akan menjadi “investasi” jangka panjang yang keuntungannya baru bisa dirasakan pada kurun waktu 15 atau 25 tahun mendatang. Sedangkan, politik merupakan strategi dan siasat untuk mendapatkan kekuasaan. Melalui jalur politik, kaum elite negeri ini rela berpayah-payah bersitegang, sikut kanan sikut kiri, injak ke bawah sembah ke atas. Jika perlu otak dan akal sehatnya digadaikan demi mendapatkan pengaruh kekuasaan itu.

Aroma kekuasaan memang menggiurkan. Srategi dan siasat yang mereka tempuh hari ini akan langsung terasakan dampaknya dalam kurun waktu yang pendek dan singkat. Koalasi untuk membangun basis-basis politik di perlemen bisa jadi membenarkan fenomena itu. Politisi kita, disadari atau tidak, telah terkena “syndrom” paranoid yang takut kehilangan pengaruh dan kekuasaan. Semakin banyak orang yang bisa dirangkul, semakin terbuka peluang untuk menyeret gerbong negeri ini sesuai dengan selera mereka. Mereka jadi kehilangan sikap elegan dan percaya diri.

Namun, tidak adakah celah waktu yang memungkinkan mereka untuk bisa melakukan refleksi terhadap nasib dunia pendidikan yang masih terus berjalan tertatih-tatih dan terseok-seok di atas jalan tol peradaban dunia? Tidak adakah jalan bagi kaum elte negeri ini untuk mengusung persoalan-persoalan pendidikan dalam mind-set mereka? Agaknya, pertanyaan-pertanyaan semacam ini tak seorang pun yang sanggup menjawabnya, kecuali para politisi itu sendiri. Kalau menurut Sampeyan, bagaimana? ***

5 Comments

  1. pendidikan harus maju,belajarlah sejak dari kandungan hingga akhir hayat kata kanjeng nabi,saya bisa ngeblog karena belajar kok 😆

  2. nah, bila baru-baru meresek jabatan saja sudah alpa mikirin pendidikan, gimana nantinya setelah kursi jabatan diduduki?
    tapi saya pikir, bila sekarang mereka lupa akan pendidikan, jadi timbul kekuatiran bahwa dulu pun mereka tak suka-suka amat menuntut ilmu.

    ya, pendidikan dan politik agaknya memang bukan jodoh yang serasi.

    Baca juga tulisan terbaru marshmallow berjudul The Brightest Star

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *