GAUNG kegagalan pengajaran apresiasi sastra di sekolah sudah lama terdengar. Banyak pengamat menilai pengajaran apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, tidak menarik, bahkan membosankan. Siswa tidak diajak untuk menjelajah dan menggauli keagungan nilai yang terkandung dalam teks sastra, tetapi sekadar dicekoki dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoretis dan hafalan.
Mereka tidak diajak untuk mengapresiasi (baca: memahami dan menikmati) teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. Dengan kata lain, apa yang disampaikan guru dalam pengajaran sastra barulah kulit luarnya saja, sehingga peserta didik gagal menikmati “lezat”-nya isi dan aroma kandungan nilai dalam karya sastra. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah “membusukkan” proses pencerdasan emosional dan spiritual siswa.
Belajar apresiasi sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh gizi batin, sehingga sisi-sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang terkandung dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya sebagai layar tempat diproyeksikan pengalaman psikis manusia.
Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju proses globalisasi, sastra menjadi makin penting dan urgen untuk disosialisasikan dan “dibumikan” melalui institusi pendidikan. Karya sastra memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk watak dan kepribadian seseorang. Dengan bekal apresiasi sastra yang memadai, para keluaran pendidikan diharapkan mampu bersaing pada era global dengan sikap arif, matang, dan dewasa.
Dalam konteks demikian, kedudukan sastra menjadi semakin penting. Bukan saja sastra memiliki kontribusi besar dalam memperhalus budi, memperkaya batin dan dimensi hidup, melainkan juga lantaran telah masuk dalam kurikulum pendidikan. Persoalannya ialah, kedudukan sastra dalam kurikulum kita dinilai masih dipandang dengan sebelah mata. Pelajaran sastra belum mandiri, belum memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri. Ia masih “nunut” dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia.
***
MENGAPA otonomi pengajaran apresiasi sastra menjadi penting dipersoalkan? Setidaknya ada tiga argumen yang layak dikemukakan. Pertama, berdasarkan kenyataan di lapangan, tidak semua guru Bahasa Indonesia mampu menyajikan pengajaran apresiasi sastra dengan baik. Guru yang mahir mengajarkan bahasa belum tentu mampu tampil memikat saat mengajar sastra. Menyajikan puisi, misalnya, selain dituntut menguasai materi ajar, guru juga harus mampu memberikan contoh yang memikat dan sugestif di depan siswanya saat membaca puisi. Hal ini sulit dilakukan oleh guru bahasa yang kurang memiliki minat serius dan “talenta” yang cukup tentang sastra. Dalam kondisi demikian, mana mungkin peserta didik mampu memiliki bekal apresiasi sastra yang memadai.
Kedua, guru sastra bisa lebih berkonsentrasi dan total “beraksi” dalam mengampu mata pelajaran, sehingga terangsang untuk terus meningkatkan profesionalismenya. Dengan adanya spesialisasi, maka guru bahasa yang minat dan talentanya lebih condong ke sastra dapat lebih mengaktualisasikan kemampuannya, sehingga mampu menciptakan atmosfer pembelajaran apresiasi sastra yang kondusif, menarik, variatif, interaktif, dan menyenangkan.
Ketiga, beban berat dunia pendidikan yang mengemban misi memanusiakan manusia akan menjadi lebih ringan. Sebab, lewat pengajaran apresiasi sastra yang mandiri proses internalisasi nilai-nilai budaya, moral, watak dan kepribadian, serta cipta dan rasa akan lebih bisa berkembang. Dengan kata lain, otonomi pengajaran apresiasi sastra akan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi dunia pendidikan.
Sudah saatnya dunia pendidikan kita memosisikan sastra pada aras yang lebih “terhormat” dalam kurikulum. Perlu ada pemikiran matang dan serius untuk memisahkan pelajaran sastra dari pelajaran bahasa ke dalam kurikulum berbasis kompetensi yang akan datang. Sudah terlalu lama pendidikan kemanusiaan (termasuk sastra) di negeri ini dimarjinalkan dan mengalami “pembusukan”, sehingga gagal menghasilkan anak-anak bangsa yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah bagaimana lembaga pencetak calon guru sastra mampu melahirkan lulusan yang benar-benar “siap”, bukan lulusan “karbitan” yang tampil gagap saat diterjunkan di lapangan.
Pingback: Benarkah Pelajar Kita “Rabun” Sastra? « JALUR LURUS
Pingback: Kang Sakri Weblog » Blog Archive » Benarkah Pelajar Kita Mengidap “Rabun” Sastra?
mudah2an acara kongres sastra di kudus selain mengobati kerinduan keringnya kegiatan sastra juga menggugah komunitas sastra untuk berkontribusi dalam apresiasi sastra di sekolah. kira2…..
❓
Pengajaran sastra saat ini lebih banyak teori daripada prakteknya, padahal kegiatan apresiasi sastra lebih dapat berjalan dengan baik jika siswa langsung dapat memahami dan menikmati suatu karya sastra.
Pingback: Guru Sastra Saya Sawali Tuhusetya | Sumintar.Com