Ali Syamsudin Arsi
KALIMANTAN, BIARKAN KAMI YANG BICARA
berharap yang lain bicara, tak ada suara
orang lain di luar sana telah bicara dengan lapisan hutan daun rindang
belantara, sementara
kita di dalam raya kata raya aroma raya cuaca raya langit hijau warna
masih saja, ya masih saja mencoba lepaskan gerah dan kering cahaya
hiruk-pikuk di gamang-gamang lapisan subur berkubang jejak lubang,
lubang-lubang sampai ke batas nganga, dan nganga itu telah pula
hadirkan rupa-rupa wajah pendatang, sementara kita
melepas jerat saja tak mampu di cercah gelak dan tawa, senyum kita terkunci,
terkunci oleh kebodohan diri sendiri, tak tak tak, – tak mampu menepis buta,
buta bahwa kita masih dilena dalam kungkung dan buai morgana, morgana
dalam sekap-sekap pendar cahaya
di puncak pucuk daun kerontang kita lihat ujung monas yang tajam,
tajam menghujam,
dan kisah rimba raya, kisah hutan-hutan penuh misteri; lenyap tanpa cerita
kalimantan, biarkan kami yang bicara
bicara di antara debu dan degup jantung berpacu
berharap yang lain bicara, tak ada suara, dan sungguh, tak ada suara
kalimantan, biarkan kami yang bicara
bicara dengan senyum terkunci
ketidak-adilan itu tetap saja ada di sini
/asa, banjarbaru, 14 Juli 2013
HUTAN KALIMANTAN
anak-anak riang ceria
di arena sebuah lomba
kita sekarang menggambar kembali:
hutan kita yang hilang
/asa, banjarbaru, 14 Juli 2013
KEMBALI KEPADA DAUN DI HUTAN
Anak-anak yang sedang melukis itu adalah bagian dari rimbunya daun-daun karena hanya di tangan mereka segala warna akan tercipta, biarkan anak-anak itu melukis segala macam bentuk; garis dan posisinya masing-masing, adakah yang mempertimbangkan lebih jauh bahwa anak-anak itu akan menuruti kehendak para orang tua mereka agar selalu memberi hijau, biru, atau bahkan kuning di lingkaran daun yang melengkung, atau ada warna merah luka di setiap goresannya, anak-anak yang selalu lucu walau pada bola mata mereka terkandung banyak rangkaian kata-kata, anak-anak yang sulit untuk di ajak tersenyum tetapi di keceriaan mereka tidaklah penting sebuah senyum sebab anak-anak itu lebih asyik dari semua orang tua mereka, anak-anak yang sedang melukis di arena lomba, kembali kepada daun di hutan, sebagian mereka membuka halaman warna dengan coretan kuat sambil tertawa dan merasa ada yang lucu pada daun ciptaannya, “Bentuk daun seperti ini sudah jarang kita temukan,” komentar seseorang yang melintas di bagian punggung anak-anak, mereka tak menghiraukan celoteh yang sulit mereka pahami, “Ada yang berbeda dari arena lomba ini, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa mereka diwajibkan melukis daun di hutan karena hutan itu kini sangat sulit mereka temukan, mereka sudah begitu akrab dengan deru sepeda motor, mereka telah akrab dengan tayangan di semua layar berkaca dan bersinar tajam menusuk mata, mereka telah dikacaukan dengan lawakan-lawakan murah dan miskin budaya, mereka sudah biasa diarahkan kepada hal-hal yang beraroma pop dan ketenaran kosong hampa dan kaku, alasannya agar dapat dilihat oleh lebih banyak orang dan semacamnya, padahal anak-anak itu sedang melukis di sebuah arena lomba; melukiskan kembali kepada daun di hutan, hutan itu dahulu di sebut sebagai rimba raya, hutan belantara dengan segala macam misterinya dengan segala macam warna dengan segala macam garis dengan segala macam posisi,” senyap suara di antara hening suasana, hanya riuh bisik-bisik dari bibir orang-orang dewasa, akh, biarkan anak-anak itu melukis bentuk dan fungsi daun bagi hidup mereka
/asa, banjarbaru, 15 Juli 2013
Biodata Penulis
Ali Syamsudin Arsi lahir di Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Prov. Kalimantan Selatan. Kini tinggal di kota Banjarbaru, Prov. Kalsel. Pendiri dan Ketua Forum Taman Hati, diskusi sastra dan lingkungan, bersama M. Rifani Djamhari. Pendiri dan Pembina Sanggar Sastra Satu Satu Banjarbaru.
Menerbitkan 4 buku ‘Gumam Asa’ yang berjudul: 1. Negeri Benang Pada Sekeping Papan (Tahura Media, Banjarmasin, Januari 2009). 2. Tubuh di Hutan Hutan (Tahura Media, Banjarmasin, Desember 2009). 3. Istana Daun Retak (Framepublishing, Yogyakarta, April 2010). 4. Bungkam Mata Gergaji (Framepublishing, Yogyakarta, Februari 2011). Menerbitkan buku kumpulan esai tentang Aruh Sastra Kalimantan Selatan (buku kumpulan esai bersama rekan-rekan: HE. Benyamine, Arsyad Indradi, Harie Insani Putra, Farurraji Asmuni, Tajuddin Noor Ganie): 1.Gagasan Besar, himpunan tulisan Aruh Sastra Kalimantan Selatan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, September, 2011). Buku puisi pribadi yang telah diterbitkan: 1. ASA (1986), 2. Seribu Ranting Satu Daun (1987), 3. Tafsir Rindu (1989 dan 2005), 4. Anak Bawang (2004), 5. Bayang-bayang Hilang (2004), 6. Pesan Luka Indonesiaku (2005), 7. Bukit-bukit Retak (2006).
Buku kumpulan puisi bersama, yaitu: 1. Banjarmasin (1986), 2. Bias Puisi dalam Al-Qur’an (1987), 3. Banjarmasin dalam Puisi (1987), 4. Festival Poeisi se-Kalimantan (1992), 5. Jendela Tanah Air (1995), 6. Tamu Malam (1996), 7. Kesaksian (1998), 8. Wasi (1999), 9. Bahana (2002), 10. Narasi Matahari (2002), 11. Refortase (2004), 12. Dimensi (2005), 13. Taman Banjarbaru (2005), 14. 142 Penyair Menuju Bulan (2006), 15. Seribu Sungai Paris Berantai (2006), 16. Ronce Bunga-bunga Mekar (2007), 17. Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), 18. Bertahan di Bukit Akhir (2008), 19. Menyampir Bumi Leluhur (2010), 20. Kambang Rampai, puisi anak banua (2010) 21. Seloka Bisu Batu Benawa (2011), 21. Bentara Bagang (KSI Tanah Bumbu, 2012). Buku-buku terbitan di luar Kalsel yang memuat karyanya, adalah: 1.Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Medan, 2005), 2. Komunitas Sastra Indonesia, catatan perjalanan (Kudus, 2008), 3. Kenduri Puisi, buah hati untuk Diah Hadaning (Yogyakarta, 2008), 4. Tanah Pilih (Jambi, 2008), 5. Pedas Lada Pasir Kuarsa (Bangka Belitung, 2009), 6. Mengalir di Oase (Tangerang Selatan, 2010), 7. Percakapan Lingua Franca (Tanjung Pinang, Kepri, 2010), 8. Beranda Senja, setengah abad Dimas Arika Mihardja (Jakarta, 2010), 9. Senja di Batas Kata, beranda rumah cinta (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri Jambi, 2011), 10. Kalimantan dalam Puisi Indonesia (Panitia Dialog Borneo-Kalimantan XI, Samarinda Kalimantan Timur (2011), 11. Kalimantan dalam Prosa Indonesia (Panitia Dialog Borneo-Kalimantan XI, Samarinda, Kalimantan Timur 2011), 12. Akulah Musi (Palembang, 2011). 13. Sauk Seloko (Jambi, 2013), 14. Puisi Menolak Korupsi (Forum Sastra Surakarta, 2013), 15. Kepada Sahabat (Dewan Bahasa dan Pustaka, Cawangan Sabah, 2013).
Sebagai editor pada buku-buku: 1. Bahana (Kilang Sastra Batu Karaha, Banjarbaru, 2002), 2. Darah Penanda, antologi pemenang lomba cipta puisi dan cerpen (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2008), 3. Taman Banjarbaru (Forum Taman Hati, Banjarbaru, 2005), 4. Di Jari Manismu Ada Rindu (Kumpulan puisi Hamami Adaby, 2008), 5. Bertahan di Bukit Akhir (Kumpulan puisi penulis Hulu Sungai Tengah, 2008), 6. Bunga-bunga Lentera (Kumpulan puisi siswa SD dan SMP seKota Banjarbaru, 2009), 7. Tugu Bundaran Kota (Kumpulan puisi, cerpen dan dramatisasi puisi siswa SD dan SMP Kota Banjarbaru, 2010), 8. Badai 2011 (kumpulan sajak mutiara Hamami Adaby, 2011), 9. Pendulang, Hutan Pinus, dan Hujan (kumpulan puisi Sastrawan Kalsel : Ahmad Fahrawi dan M. Rifani Djamhari, 2011).
Tahun 1999 menerima hadiah sastra dari Bupati Kabupaten Kotabaru. Tahun 2005 menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Tahun 2007 menerima hadiah sastra bidang puisi dari Kepala Balai Bahasa Banjarmasin. Tahun 2012 menerima penghargaan pada acara Tadarus Puisi & Silaturrahmi Sastra, Pemerintah Kota Banjarbaru melalui Dinas Pariwisata, Budaya dan Olah Raga.
Alamat rumah: Jalan Perak Ujung nomor 16, Loktabat Utara, Banjarbaru, 70712.
Nomor kontak/Hp : 081351696235
wach puisinya menginspirasi tuch..
Izin berkunjung dan menyimak langsung artikelnya gan 🙂
Salam kenal, Mas
mantep nih puisinya…..
muantab2 juga puisinya pak
ternyata anak kalimantan toh
ikut menyimak pak
puisinya keren mas.,.,.,.
Bagus pak puisinya … mengena banget
bagus2 sob puisinya
thanks gans ,, jadi menambah wawasan lagi
Hebbat ..
Puisinya bagus-bagus ni gann !!
penasaran.
Ali Syamsudin Arsi
kucari, ternyata ada di catatan Pak Sawali.
terima kasih
SALAM KREATIF!