Jalan Puisi: Kembalikan Daulat Sungai

Pengantar Diskusi Sastra Malam Sabtu
Jalan Puisi: Kembalikan Daulat Sungai
“Selamat datang Aruh Sastra Kalsel X di kota Banjarbaru tahun 2013”

Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Kepada yang bertema : “Sungai dalam perpuisian kita”

Salam sastra salam budaya,

Bahasa

Pernah suatu ketika seorang anak kecil berangkat dari turunan sungai di sebuah kabupaten dalam wilayah provinsi bernama Kalimantan Selatan, tepatnya dari kota Barabai, menuruni anak tangga terbuat dari tanah berundak-undak. Ia tidaklah ingat benar seperti apa dan apa saja yang dapat direkam dalam perjalanan selama berada di dalam kapal air tersebut, karena anak kecil itu lebih banyak tidur lelap di pangkuan ibunda tercinta. Yang sangat ia ingat adalah ketika dengan perlahan kaki kecilnya menuruni sisi kapal yang sedang berayun pelan dan di kemudian waktu ia tahu tempat berlabuh itu adalah bernama Pangkalan, persis dekat bawah sebuah jembatan gantung yang menghubungkan kota Murung Pudak dengan kota Tanjung bagian tengah. Anak kecil tersebut ketika mengarungi perjalanan indahnya di saat ia beranjak usia sekitar 2 atau 3 tahun, tidak tahu persisnya. Sebuah perjalanan yang ternyata dapat saja direka ulang untuk saat yang tepat kini. Dan saya sendiri tidak tahu benar jalur mana untuk mengarungi rekam jejak itu, dari kota Barabai menuju kota Tanjung, tepatnya menuju Murung Pudak, salah satu kecamatan di kabupaten Tabalong.

Berkilas pada waktu yang lain, anak kecil itu sudah dewasa. Pengalaman yang terlintas hadir secara ulang dan rapi ketika subuh telah menembus kabut tipis bernama embun dari dermaga depan pelataran sebuah masjid akan menyaksikan kesibukan pagi berkabut embun, kesibukan hilir-mudik dan lalu-lalang jukung-jukung menjajakan dagangannya di sebuah Pasar Terapung. Bunyi mesin klotok, suara-suara para pedagang menawarkan berbagai jenis dagangannya seraya sama-sama merasakan nikmatnya berayun-ayun karena ternyata gelombang dari arus sungai itu tak pernah diam, tak pernah berhenti, tak pernah, ya  tak pernah.

Sungai yang begitu panjang, anak kecil telah pula melintas di atas riaknya dan ia masih sulit untuk menemukan, paling tidak menikmati pemandangan, tentu saja banyak ragam yang seharusnya dapat disaksikan sepanjang sungai, tentu ada hutan, lebatnya daun-daun di juntaian tebing-tebing, jamban-jamban pemandian, burung-burung meliuk di awan, bila malam tiba dalam perjalanan dapatlah menyaksikan gelapnya penglihatan dan berteman terangnya bintang-bintang, desau angin menerpa dinding kapal, kecipak air menghantam deru badan kapal, banyaknya orang-orang di dalam perut kapal. Sungguh, mungkin mengasyikan atau bahkan menegangkan. Entahlah. Bagaimana pula ketika berada pada suasana ramainya Pasar Terapung, sebuah arena yang bila dinikmati dengan sepenuh hati maka sewajarnyalah akan menjadikan itu sebagai inspirasi dalam tata rangkai kata-kata bersebutlah ia sebagai puisi.

Hamparan sungai luas membentang. Hawa dingin subuh bertudung tipis-tipis kabut di antara deru bunyi mesin kelotok dan tawaran-tawaran penjaja seraya duduk mengayuh jukung-jukung mereka.

Syahdan, di salah satu titik pada bentangan panjang sungai itu, jalur sungai yang dilintasi oleh anak kecil itu,  pernah berdiri sebuah kerajaan dengan tingkat kesejahteraan yang luar biasa, bahkan sudah sampai ke jelajah yang jauh, kerajaan Nan Sarunai, kerajaan Tanjung Puri, kerajaan Negara Dipa, kerajaan Negara daha, dan sampai kepada Kesultanan Banjar. Alur sungai merupakan sarana transfortasi utama mereka. Bahkan ketika datang penyerbuan dahsyat dari kerajaan Majapahit, namun serbuan pada gelombang pertama dapat dipatahkan oleh pasukan elit yang telah disiapkan oleh kerajaan Nan Sarunia. Atas kemenangan itu mereka berpesta, menari dan menyanyi. Setiap waktu mereka isi dengan berpesta; menari dan menyanyi, menyanyi dan terus menari, sampai berlupa bahwa hari telah tinggi. Namun sayang, pasukan Laksamana Nala, utusan cermerlang dari maha patih Gajah Mada, mereka tidak berpaling begitu saja, gempuran pada tahap kedua berhasil memporak-porandakan pasukan kerajaan Nan Sarunai, akibatnya pun sangat fatal, kerajaan Nan Sarunai tercerai berai.

Hatta, jauh sebelum itu, dari cerita ke bentuk lain dalam cerita yang lain pula, bentangan antara wilayah Amuntai sampai ke wilayah Tanjung adalah bentangan luas berair dan menjelmakan dirinya sebagai lautan, wilayah berteluk luas nan dalam, itulah penyebabnya orang-orang warga Dayak Maanyan dahulunya adalah sebagai kelompok pelaut hebat dan termashur sampai ke banyak negeri seberang, nun jauh sampai ke Madagaskar, konon begitulah menurut hikayat ceritanya. Pada pokok cerita, kerajaan demi kerajaan boleh saja berganti karena berbagai macam alas an, tetapi jalur sungai sebagai pilihan pertama dan utama adalah penting untuk dicatat dan diteliti secara seksama. Kemudian, adakah sungai sebagai focus inspirasi di dalam proses kreatif khususnya para sastrawan banua, sastrawan yang lahir tumbuh dan dewasa dengan resapan-resapan air sungai di tubuhnya, sungai dari sebuah kawasan berjuluk pulau seribu sungai, karena memang alangkah banyaknya nama-nama sungai terdapat di hamparan pulau Kalimantan bernama. Selain itu, masih banyak catatan sejarah, dan sungai mengambil perannya, sungai di saat yang tepat dalam daulatnya.

Sungai itukah yang telah memberi kita makna, ataukah sungai tidak untuk apa-apa. Padahal sungai itu kini, telah ….
***

Kesadaran apa yang terpampang ketika menyaksikan keadaan sungai-sungai saat ini. Kita memiliki banyak sungai memang, tetapi benarkah cara dan prilaku kita bersahabat terhadapnya, bila disimak bahwa ada sungai yang dengan penuh rasa dendam (Eko Suryadi WS; “Dendam Sungai”, Konser Kecemasan, hal. 65) : “kau ambil ruhku dari hulu hingga muara/kemerdekaanku kau rebahkan/dengan kesewenang-wenangan//kau sempitkan rongga dadaku/dengan bangunan-bangunan/jembatan yang salah konstruksi//kau usir satwa-satwa dari pangkuanku/dalam pengungsian tanpa batas/limbah dan kotoranmu menggiringnya/ke padang kepunahan//kau ambil kemerdekaanku/dengan kesewenang-wenangan//padahal aku adalah kehidupan/jika aku bukan lagi kebutuhan/kan kukirimkan dendamku/kau kutenggelamkan kesemena-menaan itu//sebab keangkuhanku Cuma sebutir pasir/yang siap kusapu dengan banjir/akan ke mana kau berdiri/aku akan menangkap kakimu///

Puisi itu hanyalah salah satu contoh yang dapat dihadirkan sebagai bentuk perlawanan kepada perilaku dari hal-hal yang mengusik keberadaan sungai sebagaimana sudah terjadi, padahal sungai dahulunya sebagai wahana riang penuh dan canda gaduh (Ahmad Fahrawi; “Sungai Masa Lalu”, Pendulang, Hutan Pinus, dan Hujan, hal. 5) : “… //dari hulu perahu-perahu dikayuh, jala dilabuh/dari hulu biji-biji para larut, bocah-bocah berebut/dari hulu berbugil mengikut alir/keriangan menghilir//sungai masa lalu/sungai rindu/bocah melempar batu ke lubuk dalam/riaknya yang terbayang adalah kenang//….

Kesadaran itu juga ada pada puisi-puisi lain yang ditulis oleh penyair-penyair lain, tentu saja kita dapat melacaknya dengan membuka nama-nama; Hijaz Yamani, Ajamuddin Tifani, Micky Hidayat, Arsyad Indradi, Hadriansyah Ismail, Muhammad Radi, Burhanuddin Soebly, Maman S. Tawie, Jamal T Suryanata, YS Agus Suseno, M. Rifani Djamhari, Hajriansyah, M. Nahdianyah Abdi, Martha Krisna. Bahkan bagi penyair luar Kalimantan Selatan, ada D. Zawawi Imron, Dimas Arika Mihardja, dan lain-lain. Mereka juga bicara tentang sungai dengan segala perspektifnya masing-masing.

Kita berdiskusi tentang puisi yang bicara masalah sungai, karena sungai teramat dekat, tetapi alangkah elok dan membahagiakan bila yang terlibat dalam diskusi ini bukan hanya di antara kita tetapi mampu berhadir pula mereka yang berada seakan di luar kita, tentu saja terbuka bagi semua sudut pandang. Puisi dan sungai adalah dari-untuk kita semua.
***

Bila saja komitmen kota Banjarmasin, sebagai fokus pandang seluruh wilayah bernama ‘Kalimantan Selatan’ atau ia mewakili seluruh pulau Kalimantan, pulau seribu sungai, maka apa yang kini sedang dilakukan oleh kota yang di tubuhnya mengalir sungai Martapura adalah bagian dari upaya kesadaran semua lapisan masyarakatnya, tanpa kecuali. Sekecil apa pun kendala atau yang menjadi ‘penghadang’ terhadap upaya besar itu maka pupuslah segala upaya. Semoga saja jalur-jalur pembebasan lahan tepian sungai mendapat respon yang positif, dan semua dilakukan secara terbuka saling memahami ‘apa yang sedang diharapkan bersama’.

Bicara sungai terkini bukan hanya masalah warna keruh saja, bicara sungai masa kini bukan hanya pendangkalan saja, bicara sungai terkini boleh jadi bicara keruhnya pikiran kita, atau bicara sungai terkini adalah cermin dari pendangkalan ilmu pengetahuan kita, karena sungai dalam puisi adalah juga perjalanan sebuah arus budaya manusia yang hidup pada zamannya.

Sebuah rangkaian kata dalam sebentuk puisi tentu saja tak akan mampu mengubah dan mewujudkan apa yang diharapkan oleh semua, tetapi sebait kata penuh gelora yang ada di dalam sebuah puisi akan mampu menjadi inspirator ‘ruang pergerakan’ untuk mendorong, memacu, membangkitkan, agar bernama kesadaran itu hadir dan bersuka-rela turut memecahkan semua persoalan sesuai dengan keahliannya masing-masing, itu akan terjadi bila pihak-pihak yang berada di luar diri puisi itu sendiri mau bersuka rela untuk berbagi terhadap kesadaran penuh bahwa ternyata sungai adalah sebuah kebesaran energy yang sebenar-benar telah kita miliki. Sejak sejarah mencatatkan prasasti di jauh-jauh waktu sebelum kita, “Lihat dan simaklah bahwa kejayaan demi kejayaan suku bangsa awal mula orang-orang Banjar (dari kerajaan Nan Sarunai, kerajaan Negara Dipa, kerajaan Negara daha, Kesultanan Banjar, dan kini Pemerintahan kita; apakah kita telah berdaulat atas tanah air dan udara yang kita pijak beratus-ratus tahun, sejak nenek moyang kita di awal mula jejak kaki mereka ada).

Bila banyak hal ternyata tak mampu berbuat untuk menjernihkannya, maka puisi harus tampil ke muka sebagai semangat mengembalikan kedaulatannya.

Posko budaya: “Akademi Bangku Panjang Banjarbaru”, 16 Januari 2013

Comments

  1. berati postingan ini bukan tulisannya pak Sawali sendiri ya?

  2. Halo Mas Sawali,
    Kisah yang menarik untuk dibaca, seperti tulisan2 anda senbelumnya.
    Senang berkunjung kembali ke blog anda setelah sekian lana saya tidak aktif ngeblog.
    Salam sukses.

  3. dalam suasana tertentu kadang saya bisa membuat puisi pak meski mungkin belum sesuai kaidah bahasa Indonesia

  4. Saya termasuk yg suka puisi pak…tetapi sama sekali tidak bisa bikin puisi, hanya sekedar penikmat saja…dan ngomong2 ttg sungai, saya menghabiskan sebagian masa kecil bermain di sungai, saat itu air msh bener2 jernih dan batu2 besar msh bnyk yg berserakan…skrg hanya tggl air yg kotor kecoklatan dan lumpur….dan wajar jika ada “dendam sungai”

  5. Kok puisinya nggak terlihat Pak…hehehe….lama nggak liat tahu-tahu dah back to old tamplate lagi, kenapa pak? kemarin juga dah bagus kok…kalau ini …ya bagusss…

  6. Berbicara tentang sungai, jadi teringat hari minggu yang lalu saat acara arung jeram di Noars Probolinggo. Airnya cukup deras.

  7. Sungai dalam balutan sastra. Aku menemukan sisi yang lebih natural di sini tatkala membicarakan tentang sungai. Di sini, sungai menjadi kekuatan yang menghidupi sebuah peradaban, menjadi jantung dan nadi dari sebuah masyarakat. Begitu perkasanya sungai, dan goretan sejarah menulisnya sebagai dewi kemakmuran. Tapi kini, sungai kehilangan kekuatannya dan diperkosa oleh anak zaman yang tak lagi mengerti tentang apa makna sesungguhnya dari eksistensi suatu sungai.

  8. Seni memang harus mampu mengemban tugas sebagai penghulu sebuah perubahan masyarakat, bangsa dan negara, tremasuk di dalamnya tentu saja puisi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *