Napas Cinta, Peradaban, dan Ketuhanan dalam Sayap-sayap Phoenix
(Catatan Pendek atas Kumpulan Puisi Karya Syah Sandyalelana)
Oleh Sawali Tuhusetya *)
Puisi tak pernah tercipta dalam ruang hampa. Berbagai persoalan yang menggelisahkan penyair akibat sentuhan dan pergaulannya dengan peristiwa yang mengitari dirinya akan mewarnai pesan-pesan hidup yang hendak diekspresikan ke dalam teks puisi. Dalam situasi demikian, sangat beralasan apabila puisi bersifat sangat personal. Hal-hal yang bersifat sangat personal itu, kemudian diungkapkan dalam bentuk teks dengan menggunakan bahasa sebagai medium ekspresinya. Proses semacam ini sudah menjadi bagian dari siklus penciptaan sebagai rangkaian transfigurasi total sang penyair dalam menggeluti dunia kreatifnya.
Membaca kumpulan puisi Sayap-sayap Phoenix (SSP) karya Syah Sandyalelana (SSL), saya kira tidak terlepas dari rangkaian proses kreativitas semacam itu. Pengalaman-pengalaman hidup yang mengendap dalam ruang batin yang bersumber dari hal-hal yang sangat personal tadi diekspresikan ke dalam teks-teks puisi dengan menggunakan langgam metaforis yang kadang subtil, tetapi juga “garang” dan galak.
* * *
SSP yang memuat 99 puisi yang ditulis selama satu dasawarsa (2007-2017) ini terbagi secara tematik dalam tiga bagian: (1) Hujan adalah Kekasih (34 puisi; (2) Kampung (Tanpa) Halaman (32 puisi); dan (3) Jiwa-jiwa Terlantar (33 puisi). Membaca teks-teks dalam bagian tematik ini, kita seperti menyaksikan pergulatan hidup SSL dalam menghadapi persoalan-persoalan yang menggelayuti sekaligus menggelisahkan nuraninya.
Pada bagian (1) Hujan adalah Kekasih, pembaca seperti “dipaksa” untuk mengikuti pengembaraan dan napas cinta si aku lirik tragis dan penuh luka. Pada bagian ini, sang penyair tampak sedang menghadapi persoalan cintanya yang pelik yang menggelayuti “jagat cilik” (mikrokosmos), seiring dengan perkembangan jiwanya yang (barangkali) sedang mengalami pergolakan cinta.
Teks-teks puisi semacam – untuk menyebut beberapa judul— “Sandyalelana” (hal. 19), “Elegi Mendung” (hal. 21), “Sajak Maha Gombal” (hal. 22), “Kau” (hal. 23), “Hujan adalah Kekasih” (hal. 24), “Sajak Kuyup” (hal. 25), “Kabut” (hal. 35), “Berhala” (hal. 40), “Shilin” (41), “Sayap-sayap Phoenix” (hal. 44), “Nyanyian Sungai Mutiara” (hal. 49), atau “Berita Kematian” adalah beberapa puisi yang dengan amat sadar mendedahkan pergolakan cinta yang rumit, perih, dan penuh luka.
Simak saja “Sajak Kuyup” berikut ini!
Sajakku kuyup/Dikurung hujan yang mengamuk//Jantungku mati rasa/Ditampar gerimis liar//Jiwaku menggigil/Merawi puisi-puisi sunyi/Merapal lagu-lagu bisu//Kekasih …/Merapatlah padaku/Agar aku percaya/Badai ini tak perlu ditakuti//Kekasih …/Sembunyikan wajahmu/Di dekat jantungku/Biar dia hangat kembali//Kekasih …/Apa kaudengar gerimis di hatiku?//
Diksi semacam “mengamuk”, “mati rasa”, “liar”, atau “sunyi”, dalam teks puisi ini saya kira sangat kuyup dengan nada kesunyian, keperihan, dan kepedihan, akibat dinamika hidup yang “dikurung hujan yang mengamuk”. Nada yang (nyaris) sama juga kita temukan pada teks-teks puisi lain yang secara tematis dikelompokkan pada bagian (1).
Dalam Sayap-sayap Phoenix (hal. 44) yang sekaligus menjadi title kumpulan puisi ini, dalam pandangan awam saya, bertutur tentang perjuangan menuju “keabadian cinta” setelah melalui berbagai proses “reinkarnasi” sebagaimana kisah klasik Burung Phoenix dalam berbagai versi yang menggambarkan siklus kehidupan dan kematian yang konon mampu mencapai hingga lima abad lebih itu.
Coba kita simak larik-larik Sayap-sayap Phoenix berikut ini!
Aku pernah bersalah padamu, tentu saja/Sama seperti dirimu,/dan kesalahan-kesalahanmu yang belum tentu kuampuni//Kita bertemu sebagai abu/Setelah sama-sama lebur oleh panasnya cinta masa muda/Kau dibawa angin yang putus asa/Sedang aku dipanggang api yang berkhianat/Kita bertemu di danau berwarna pinus, berisi air mata peri//Kita lalu terlahir kembali,/setetes demi setetes, sebagai titisan phoenix/Yang telurnya terbuat dari bara/Lalu tetap sebagai pelangi//Sayapmu kini mengembang sempurna/Bulu-bulumu berkobar,/Berkibar seperti surai senja di cakrawala/Suaramu melengking sempurna/Indah, sekaligus mengerikan/Tatap matamu membakar lautan/Menjadi puncak gairah yang menghanguskan//Sekejap kemudian kita kembali menjadi abu/Menunggu dibangkitkan lagi dalam percintaan yang lebih menggairahkan/Dalam siklus kehidupan tanpa penghabisan//
Larik-larik seperti “Kita lalu terlahir kembali/setetes demi setetes/sebagai titisan phoenix//Yang telurnya terbuat dari bara//Lalu tetap sebagai pelangi// saya kira cukup memberikan citraan inderawi tentang perjuangan dan penderitaan dalam siklus hidup-mati cinta seorang anak manusia yang mendambakan nilai kebajikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup.
Cinta merupakan nilai keilahian yang melekat pada setiap makhluk di muka bumi. Ia bersifat universal; tidak mengenal sekat-sekat geografis dan batas-batas primordial. Dengan cinta, setiap makhluk Tuhan mampu menggapai nilai-nilai kesejatian hidup. Untuk menggapai nilai kesejatian hidup itu, ia (baca: cinta) bisa diekspresikan dengan berbagai macam cara; mulai dari yang purba hingga yang mutakhir sekalipun. Dalam situasi demikian, sungguh beralasan apabila setiap makhluk di muka bumi ini merasa sah dan berhak untuk mengekspresikan rasa cinta dengan caranya sendiri.
Meskipun pada bagian (1) ini SSL bertutur tentang cinta, dalam beberapa puisinya muncul kesan adanya perlawanan terhadap “arus utama” sebagai bagian dari ekspresi sikap pemberontakannya. Larik //Terkutuklah kalian para pembuat puisi/Yang mengubah kata-kata menjadi berhala/yang kalian tegakkan di tengah alun-alun/lalu kalian lingkari dengan arak-arakan rindu// (“Berhala”, hal. 40). Bisa jadi idiom “pembuat puisi” dalam teks ini tak hendak dimaksudkan untuk mengutuk para penyair, tetapi diarahkan kepada mereka yang punya hobi memuja kata-kata sebagai “berhala” hingga menjadi alat retorika dan kekuatan verbal untuk melumpuhkan “lawan”.
Upaya perlawanan terhadap arus utama juga tampak pada larik “Aku ingin kaubicara di depan pengeras suara/Lalu mengabarkan ke penjuru kampung dengan penuh sukacita/Bahwa aku, kekasihmu, akan dikubur pagi itu juga//arus kau yang pertama merayakan kematianku/Karena aku ingin menjadi yang terakhir, yang mati di pelukanmu/Sesudahnya, tak boleh ada lagi kabar duka untukmu// (“Berita Kematian”, hal. 55). Sikap “pemberontakan” ini bisa jadi diarahkan untuk menyasar mereka yang bersikap pura-pura meratapi kematian, tetapi sesungguhnya bersikap sebaliknya. Bersukacita dalam kemasan duka.
Dengan segenap kemampuan stylistika-nya, SSL berupaya secara sungguh-sungguh untuk menghindari idiom-idiom cinta yang secara “common-sense” telah tercitrakan sentimentil dan cengeng. Ia agaknya punya kekayaan kosakata yang mampu berbicara soal cinta tanpa harus terjebak dalam bentangan slogan-slogan cinta yang kosong dan tanpa makna. Ia juga sanggup berkelit untuk menggunakan idiom-idiom klasik yang selama ini telanjur melekat dan mengilu-sumsum dalam imajinasi cinta banyak orang.
Selain itu, ada dorongan kuat SSL untuk melakukan semacam “pemberontakan eksistensialitas” secara subtil dari si aku lirik dalam memandang dan memahami cinta sebagai hak universal setiap anak manusia yang acapkali disalahtafsirkan dengan mengatasnamakan cinta untuk melakukan tindakan-tindakan anomali yang secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Penyair kelahiran Tuban (Jatim) pada kuartal akhir 1980 itu saya kira memiliki hak untuk bertutur tentang soal-soal cinta yang selama ini tercitrakan sebagai tema-tema sentimentil, bahkan cengeng. Sebagai anak manusia yang kebetulan memilih genre puisi untuk menuturkan kegelisahan dan pergolakan batinnya, ia memiliki hak secara penuh dan seutuhnya untuk bertutur tentang tema yang dianggap sentimentil dan cengeng itu.
* * *
Pada bagian (2) Kampung (Tanpa) Halaman, agaknya sang penyair sudah keluar dari wilayah “jagat cilik” dan mulai bersentuhan dengan peradaban “jagat gedhe” (makrokosmos) di luar dirinya. Puisi “Gelap” (hal. 73), “Rindu Tak Hent-henti” (hal. 85), “Karnaval” (hal. 87), “Mimi dan Mintuna” (hal. 89), “Ashalina” (hal. 92), “Perdebatan” (hal. 98), “Musuh Peradaban” (102), “Bumi Damai” (hal. 111), “Hidup Tanpa Tapi” (hal. 114), “Doa Millenial” (hal. 115), atau “Hidup Suatu Ketika” (hal. 121), misalnya, menyiratkan pergulatan batin sang penyair dalam merespon berbagai situasi yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Pergulatannya di dunia akademik telah mempertemukan dunia batinnya secara imajiner dengan tokoh-tokoh filsafat dunia semacam Barthes, Baudrillard, atau Derrida.
Simak saja kutipan teks “Perdebatan” (hal. 98-101) berikut ini!
//… Aku melanjutkan urusanku/Aku kembali mengalihkan pandanganku pada buku-buku yang mengancam/Telah menunggu wajah-wajah garang Barthes, Baudrillard, dan Derrida/Mereka membentak dari kiri dan kanan kupingku/Tangan mereka yang dingin dan kering mencakar-cakar mukaku …//
Puisi “Perdebatan” ini, saya kira memberikan gambaran tentang situasi “perang peradaban” di tengah gelombang informasi yang mengarus di ruang-ruang publik hingga mampu mengubah cara pandang seseorang dalam merespon berbagai peristiwa yang mencuat ke permukaan. Di tengah situasi “chaos” yang sarat anomali semacam itu, sang penyair berpandangan bahwa perdebatan bukanlah cara terbaik untuk memahami kebenaran, sebagaimana tersirat pada bait terakhir: //Bahasa adalah kesia-siaan/Jika kamu mengandalkan bahasa untuk memahami kebenaran,/maka kamu akan kecewa/Hidup bukan soal memenangkan perdebatan//
Sikap penyair yang suka “memberontak” juga tersirat pada puisi “Karnaval” (hal. 87) yang menganggap “ritual” ini sebagai sikap pemujaan terhadap kemerdekaan “semu” atau pada “Mimi dan Mintuno” (89) yang mengkritik “kecemburuan akademik” yang justru membuat orang makin kehilangan kearifan menghadapi zaman. //Cemburu membinasakan itikad persahabatan/Ruang gerak pencaharian yang sama membuat kita akhirnya bertengkar/Tidak terang-terangan, tentu saja …/Tetapi kita beralhir saling mendiamkan…//
* * *
Pada bagian (3) Jiwa-jiwa Terlantar, sang penyair mulai memasuki alam transendental yang terkait dengan nilai-nilai keilahian. Teks-teks semacam –untuk menyebut beberapa judul– “Hai” (hal. 127), “Saat Kau Rindu” (hal. 129), “Tiga Baris Malam” (hal. 130), “Tidak Pernah Cukup” (hal. 132), “Cermin Pecah” (hal. 135), “Bencana Lebih Besar” (hal. 136), “Dosa Tak Terampuni” (hal. 137), “Dzat yang Sepi” (hal. 139), “Doaku Masih Sama” (hal. 142), “Dirimu” (hal. 145), “Tuhan Maha Lebih Besar” (hal. 148), “Korban” (hal. 155), “Bicara Apa Saja” (hal. 158), atau “Sapu Jagad” (hal. 166) menunjukkan kekayaan metaforis sang penyair dalam proses pengembaraan transendental dalam menghadapi berbagai persoalan hidup yang menelikungnya.
Suasana transendental itu cukup kuat tersirat pada “Cermin Pecah” (hal. 135): //Tuhan,/Berkatilah aku kesabaran tukang kayu/Cinta berIbu Ibu/Maka, surga tak pernah jauh…// Juga pada “Tidak Pernah Cukup” (132) yang sangat kontradiktif dalam diksi “sapaan” yang digunakan dalam larik-larik yang repetitif: //Kata-kata tidak pernah cukup …/ Kata-kata tidak pernah cukup …/ Kata-kata tidak pernah cukup …//Duh Gusti, payungana ingsun…//
Teks puisi dalam kumpulan puisi SSP ini, saya kira, merupakan endapan dan sublimasi dari perjalanan hidup sang penyair yang mampu memadukan jagad-cilik, jagad-gedhe, dan nilai-nilai transendental ke dalam teks puisi yang kaya metafor. Ketika bertutur tentang cinta, teks puisi SSL tak hanya mendedahkan persoalan personal (jagad-cilik), tetapi juga telah berhasil merambah ranah kehidupan di luar dirinya ( jagad-gedhe). Bahkan, puisi telah berhasil dijadikan sebagai medium katharsis untuk menemukan kesadaran spiritual (transendetal) yang tidak setiap penyair berhasil melakukannya dengan baik.
Dalam konteks demikian, bisa juga dikatakan bahwa SSP merupakan “perlawanan eksistensialitas” SSL yang subtil sekaligus “garang” dan galak yang dikemas melalui kekayaan metaforis yang cukup kuat. Tentu, struktur batin sang penyair yang diekspresikan melalui kekayaan metaforis semacam itu tidak akan pernah lahir begitu saja dalam sebuah teks tanpa “tradisi” dan proses kreatif yang telah terbangun dengan baik. Ada semacam tradisi literer yang sudah terbangun sejak sang penyair memosisikan dirinya sebagai penyair “pemberontak”.
Dari sisi stylistika, SSL agaknya memiliki tradisi berpuisi yang baik. Ia tidak memilih jalur “budaya massa” yang cenderung populis dengan menggunakan idiom dan kosakata tentang cinta yang cengeng dan nyinyir. Namun, dengan amat sadar sang penyair lebih memilih jalur “budaya serius” dalam mengembangkan talenta kepenyairannya.
* * *
Masih banyak teks puisi lain yang mengandung kekayaan metaforis dalam antologi ini. Namun, catatan pendek ini mustahil sanggup meninting satu persatu dari 99 puisi yang terdedahkan di dalamnya.
Kekayaan metaforis inilah yang sesungguhnya menjadi modal utama seorang penyair dalam berproses kreatif. Ia (baca: kekayaan metaforis) akan menjadi jalan bagi sang penyair dalam menemukan kemudahan dan kenyamanan berekspresi. Ia bisa berbicara tentang apa saja tanpa kehilangan nilai-nilai stylistika sebagai bagian dari estetika sebuah teks. Jika ia sanggup menjaga, merawat, sekaligus mengembangkan kekayaan metaforis yang ada dalam dirinya, bukan mustahil nama SSL akan makin dikenal dalam jagat kepenyairan Indonesia mutakhir.
Labirin cinta transendental dan kekayaan metaforis dalam SSP ini setidaknya telah menjadi bukti bahwa SSL masih “istiqomah” dan setia untuk menjaga dan merawat potensi yang ada dalam dirinya.
Semoga kekuatan untuk menjaga, merawat, dan sekaligus mengembangkan kekayaan metaforis dengan muatan nilai spiritualitasnya tetap terpelihara dengan baik hingga akhirnya secara bertahap dan bekelanjutan tetap memiliki kesanggupan untuk melahir-ciptakan teks-teks sajak yang “liar”, indah, dan penuh suspensi. Hal ini menjadi catatan penting, sebab seorang penyair akan kehilangan “roh” kepengarangan apabila kekayaan metaforis itu hilang dari dirinya. Itu saja. ***