Sungguh menyedihkan! Hanya berselang sehari pasca-tewasnya Alawy Yusanto Putra (15 tahun), siswa kelas X SMAN 6, yang menjadi korban tawuran antara pelajar SMAN 70 dan SMA 6 Jakarta (Senin, 24 September 2012), maut kembali merenggut seorang pelajar SMK Yayasan Karya 66 (Deny Yanuar alias Yadut) yang terlibat tawuran dengan siswa Kartika Zeni. Kematian tragis ini kian memperpanjang daftar hitam dunia pendidikan kita. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi “kawah candradimuka” peradaban untuk menggembleng generasi masa depan yang berkarakter dan berakhlak mulia, justru telah berubah ajang pamer otot dan kekerasan. Ironisnya, selain terjadi di ibukota Jakarta yang notabene menjadi “barometer” peradaban, peristiwa itu pecah di tengah upaya serius pemerintah membangun pilar pendidikan karakter dalam dunia persekolahan kita.
Sudah sedemikian parahkah degradasi moral yang melanda kaum remaja-pelajar kita hingga gagal menerima asupan nilai-nilai kebajikan yang disemaikan oleh dunia pendidikan? Atau, sudah demikian mandulkah dunia pendidikan kita hingga gagal menumbuhkan, mengakarkan, menyemaikan, dan menyuburkan nilai-nilai kemanusiaan kepada peserta didik?
Konflik dan kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar agaknya sudah menjadi fenomena “klasik”. Namun, kesadaran kolektif untuk membangun kedamaian di antara sesama pelajar baru tumbuh setelah peristiwa anomali pendidikan semacam itu terjadi. Ada yang terlupakan bahwa kekerasan di dunia akademik merupakan bahaya “laten” yang setiap saat bisa terjadi. Dalam situasi demikian, sikap responsif dan deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya konflik dan kekerasan perlu secepatnya dibangun. Segenap komponen bangsa jangan sampai kehilangan sikap abai dan melakukan pembiaran terhadap bibit-bibit kekerasan yang terjadi di kalangan remaja-pelajar kita. Mata rantai kekerasan yang sudah demikian menggurita di kalangan pelajar kian sulit diputus dan diretas begitu saja apabila diserahkan tanggung jawabnya kepada pemerintah dan dunia persekolahan kita.
Dinamika penduduk daerah perkotaan yang kian rumit dan kompleks dengan tensi sosial yang demikian tinggi, disadari atau tidak, telah ikut menjadi pemicu merebaknya aroma fasis dan bar-bar di kalangan pelajar. Hal itu diperparah dengan atmosfer politik di kalangan elite yang kehilangan fatsoen dan kearifan dalam memburu kepentingan dan ambisi kepartaian. Korupsi dan kongkalingkong busuk yang terus bersimarajalela yang justru dilakukan oleh orang-orang berdasi dan terpelajar, setidaknya telah ikut andil dalam mempertumpul nilai-nilai kemanusiaan di negeri ini. Hilangnya figur yang layak dijadikan anutan dan keteladanan sosial juga kian membuat generasi masa depan negeri ini bagai anak ayam kehilangan induknya. Mereka sulit mendapatkan tokoh kharismatik yang mampu dijadikan sebagai figur teladan. Imbasnya, kaum remaja-pelajar kita menjadi sosok generasi masa depan yang mengalami “kepribadian terbelah”. Nilai-nilai luhur baku yang setiap hari mereka dapatkan dari bangku sekolah seringkali “dipaksa” berhadapan dengan nilai-nilai “ketersesatan” yang secara telanjang dan kasat mata terus terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai luhur baku vis a vis nilai-nilai ketersesatan yang berimbas terhadap munculnya generasi dengan kepribadian terbelah, disadari atau tidak, telah memicu terjadinya “gegar budaya” yang membuat kaum remaja-pelajar kita gampang sekali terhasut dan terprovokasi oleh naluri agresivitas yang ada dalam dirinya. Nilai agresivitas semacam itu kian menemukan momentumnya ketika mereka berada di tengah-tengah massa yang dihinggapi oleh perasaan dan kepentingan yang sama. Jika kerumunan massa semacam itu tak terdeteksi secara dini, akibatnya bisa sangat fatal. Massa berani mengorbankan nyawanya demi mempertahankan gengsi dan solidaritas kelompok yang dianggap memiliki perasaan dan kepentingan yang sama.
Kembali kita disadarkan, betapa tidak berdayanya dunia pendidikan kita dalam mengendalikan naluri agresivitas kaum remaja-pelajar kita di tengah rumit dan kompleksnya persoalan sosial yang melanda negeri ini. Meskipun demikian, sungguh naif apabila kita terlalu gampang menuding sekolah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Di tengah berbagai keterbatasan, pihak sekolah jelas tak akan sanggup mengontrol sepenuhnya perilaku peserta didik di luar tembok sekolah. Taruhlah sekolah bertindak tegas dengan melakukan razia rutin di sela-sela jam pelajaran berlangsung, tetapi bisakah mereka mengontrol “skenario tawuran” yang dirancang di luar jam belajar? Bukankah sebagian besar kasus tawuran pelajar terjadi di luar tembok sekolah?
Dalam situasi seperti itu, yang secara maksimal bisa dilakukan oleh sekolah sebagai agen pembelajaran adalah melakukan tindakan preventif dengan terus-menerus menyemaikan nilai-nilai kearifan hidup dan keluhuran budi di kalangan pelajar. Selain itu, juga melakukan upaya-upaya perdamaian pasca-terjadinya konflik dan perseteruan disertai tindakan tegas untuk menimbulkan efek jera. Selebihnya, tawuran pelajar merupakan persoalan bangsa. Orang tua, masyarakat, dan pemerintah perlu bersinergi untuk mencegah kemungkinan terjadinya kekerasan.
Keluarga perlu dikembalikan fungsinya sebagai basis kultural yang memperkokoh nilai-nilai kemanusiaan agar bersinergi dengan nilai-nilai kearifan hidup dan keluhuran budi yang ditanamkan di bangku sekolah. Masyarakat juga perlu melakukan fungsi kontrol untuk mencegah terjadinya kekerasan di kalangan pelajar. Bekerja sama dengan aparat keamanan, masyarakat perlu melakukan “deteksi dini” terhadap kemungkinan terjadinya kasus tawuran agar tidak melebar dan meluas. Sementara itu, pemerintah perlu menyediakan fasilitas yang memungkinkan terjadinya suasana damai dan kondusif yang mampu membuat generasi masa depan negeri ini merasa nyaman belajar di sekolah. Penambahan jam belajar, khususnya untuk memperkokoh pendidikan karakter, ada baiknya perlu segera direalisasikan sebelum tawuran pelajar menjadi “wabah” yang menjangkiti anak-anak bangsa.
Semoga kematian yang merenggut Alawy Yusanto Putra dan Deny Yanuar akibat tawuran pelajar menjadi peristiwa tragedi untuk yang terakhir kalinya. Jangan sampai siklus kekerasan terus terjadi yang ujung-ujungnya hanya membuahkan penyesalan dari generasi ke generasi. ***
Mengingat aksi tawuran yang terjadi, bahkan menelan korban akhir-akhir ini rasanya miris sekalai njih Pak.. 😀
Semoga saja tidak terulang lagi
Tantangan untuk Jakarta baru dan gubernur baru nggih pak. Di Surakarta itu sepertinya ada juga tawuran tapi tidak sampai blow-up ke media massa.
Hampir tiap hari rasanya stasiun televisi memberitakan masalah tawuran pelajar. Apa hanya itu kerjaan pelajar di ibukota? Padahal mereka sebenarnya memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari rata-rata pelajar di daerah lainnya. Tapi mengapa pada kenyataanya, malah mereka yang lebih jauh merosot nilai moralnya daripada pelajar di daerah lain.
Saya berharap, kejadian demi kejadian ini memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa peranan sekolah sebagai tempat mendidik harus dibantu dengan peranan lingkungan yang kondusif dan keluarga yang suportif.
Banyak sekali yang memicu tawuran pelajar ini, terutama lingkungan pergaulan para pelajar, kalau lingkungan pergaulan di luar sekolah lebih keras dibandingkan pergaulan di dalam sekolah, maka para pelajar seperti sedang dipaksa untuk mengikuti aturan main yang ada di luar sekolah itu, dan dampaknya para pelajar ini jadi terbiasa untuk hidup seperti yang ada di luar itu.
Pendidikan sosial pelajar kita harus lebih ditingkatkan lagi, ya kan Pak? 🙂
persiapkan pendidikan indonesia untuk persaingan global. perbaiki dari dalam demi pertahanan serangan luar. ayooooo…. sadar bangsaku.. hiks
Atmosphere pendidikan di negeri ini memang sedang dalam kondisi memprihatinkan, kesulitan mencari bentuk karena terkontaminasi berbagai kepentingan politis, akibatnya kesulitan mencari arah, seperti enthung : “endi lor endi kidul”. Ada baiknya juga bila enthung dapat berubah menjadi kupu-kupu setelah mengalami metamorfosa 🙄
Tawuran di kalangan pelajar sudah menjadi ‘budaya’ turun-temurun..
Tidak hanya di kota besar, bahkan di pelosok desa pun kita juga sering menemuinya. Apa penyebabnya? PASTI! Mereka kurang beriman 🙂
Jika iman kuat – mau berada di lingkungan kayak gimana pun – mereka tak kan gampang terpengaruh.
Salam,
duh, padahal masih banyak hal positif yg bisa dilakukan eaa.. kalo sudah begini menyesal pun tiada guna
Sepertinya banyak peserta didik di negeri ini yang tak pernah ‘belajar’ sehingga mereka tak sadar akan apa yang akan mereka dapatkan dari sebuah tawuran atau perkelahian. Kebanggaan? Saya tidak menemukan satupun alasan untuk merasa bangga, malu iya.
semoga tidak ada lagi deny dan alawy yang lain
Teringat lagu kebangsaan kita”Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”.hendaknya yang dibangun dulu adalah jiwanya(nation and character building)baru kemudian badannya yang dibangun(physical building).kalau yg dibangun badannya duluan,sementara akhlaknya atau jiwanya dibiarkan akhirnya kejadiannya seperti ini.sangat ironis.dan yang terpenting generasi muda/masyarakat butuh keteladanan dari para pemimpin negeri ini.
Bener banget kata agan Hernat. Perlu sekali sebenarnya pembangunan Nation dan character building.
Sekarang character buildingnya malah disuruh gila-gilaan waktu MOS. jadi terang aja siswanya kayak gitu. hadewW
pemuda,remaja,dan pelajar kita memang telah kehilangan sosok pemimpin dan anutan saat ini. Tidak cukup Soekarno ataupun Hatta menjadi sosok tauladan pada saat ini. Kecenderungan yang ada yaitu pentingnya sosok hidup yang mampu mengejewantahkan perilakunya sehingga mampu menjadi kebanggaan.
Sejak dulu ya,.. sejak zaman Om2 saya masih sekolah, masalah tawuran kayaknya sulit dilenyapkan. Soalnya di lingkungan kita sendiri sudah dibiasakan dengan organisasi dan kelompok2 tersendiri yang satu sama lain bisa saling bertikai.
Mungkin mereka menganggap semua itu biasa, tapi sebenernya pemerintah harus membuka mata, jika perlu hukum keras diberlakukan
untunglah di tempat saya di Malang tidak ditemui tawuran pelajar.
bangsa kita memang kacau sekali pelejar bukan nyta adu kepintaran
Yang jelas pengaruh lingkungan/kelompoknya lebih besar daripada remnya pak. 😀
Banyak faktor pendukungnya pak, misalnya jumlah penduduk, ekonomi, pergaulan, minimnya ilmu agama, tayangan layar kaca, dsb.
Benar sekali apa yang ditakutkan oleh sebagian dari pengamat dengan dikuranginya jam mapel agama pak. So, mustinya jam mapel agama ditambahin.
Salah satu solusinya memang seperti itu. Tapi yang lebih penting adalah pengintegrasian nilai-nilai karakter dan etika dalam setiap mata pelajaran.
dan yang paling penting adanya kepedulian dan komitmen dari semua stakeholder untuk bersama-sama mengambil langkah preventif untuk mengatasinya.
Yang jelas pengaruh tayangan dari media elektronik juga sangat berpotensi dalam memicu terjadinya tawuran, karena siswa dalam usia yang seperti itu cenderung untuk mencontoh tanpa pernah meikirkan baik buruk dampaknya.
Setujuh dengan pak Wandi pak pengaruh lingkungan sangat luar biasa dalam membentuk prilaku seseorang
memang sekarang di tv banyak berita tentang tawuran antar pelajar, semoga nanti2 nya nggak ada lagi dan semuanya akan baik2 aja, dan untuk korban moga keluarganya diberikan hati yang tabah,
Amin. Kayaknya pemerintah harus ikut turun tangan nih atasin tawuran..
akhlak anak yg utama jika dibandingkan iptek…jika akhlak sudah bagus tentunya kesemuanya jg bagus
weleh weleh … mungkin cita citanya mau jagi jagoan kali..
😀
wah.. emank sangat menyedihkan banget dunia pendidikan kita saat ini, masih smp aja udah pintar tauran.. giamana nanti mau jadi pemimpin bangsa ini..
aku juga sudah pusing, bagaimana pemerintah bisa mengatasi hal ini…
harusnya ini menjadi renungan bagi pemerintah.. dan penegak hukum agar kedepannya lebih bisa mengatasi hal tersebut
sebenernya mereka cuma mau keren2an aja 😀
makin diberitain makin seneng dia 😀 😀
contoh pelajar yg tidak memiliki niat dan kemauan untuk belajar yaa memang seperti itu. jangan salahkan sekolah. salahkan muridnya
Lebih mencengangkan lagi saat si pelaku penusukan yang mengakibatkan tewasnya orang lain dalam “tragedi” tawuran itu mengatakan puas saat ditanya bagaimana perasaannya setelah melakukan penusukan.
Tawuran pelajar merupakan cermin buram penanaman nilai2 kemanusiaan di kalangan pelajar.
Sebenarnya kejadian ini udah pernah terjadi sebelumnya.Tapi pihak sekolah tak pernah serius untuk mengatasinya,,inilah jadinya korban pun tak terelakkan.
Temuan penelitian mengindikasikan bahwa pelajar yang narkoba umumnya telah kecanduan dengan rokok. Mereka terbiasa merokok dan amat bernai menunjukkan dirinya merokok bahkan disekitar lingkungan sekolah tanpa teguran dan larangan yang dilakukan para guru sebagai orang yang semestinya tidak saja mengajar tetapi juga mendidik. Namun sayang fungsi guru sekarang ini sudah tereduksi hanya sebatas “transfer of knowledge” belaka artinya sang guru lebih banyak bertugas mengajar dari pada menanamkan nilai-nilai edukatif kepada para anak didiknya. Fenomena interaksi sosial guru murid semacam inilah yang akhirnya membuat ‘gersang’ hubungan psikologis guru-murid dan pada akhirnya sang guru dan murid berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, sisi humanis anak didik terbengkalai, sehingga wajar bin pantas apabila tawuran, aksi kekerasan, pergaulan bebas dan sejenisnya marak terjadi dilingkungan pelajar termasuk mereka yang menjadi korban dan pencandu narkoba. Inilah potret buram dunia sekolah (pendidikan) kita.
Salam Kenal gan 🙂